Penerimaan Suap dan Gratifikasi, Tradisi Berujung Pidana

Jurnalis | Penulis Buku 'Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi' | Tim Penulis Buku 'Serpihan Kisah Jurnalis Tiang Bendera'
Konten dari Pengguna
10 Juni 2019 12:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Korupsi Foto: Thinkstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Korupsi Foto: Thinkstock
ADVERTISEMENT
Pagi menjelang siang, Rabu, 29 Mei 2019, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Dua sidang perdana pembacaan surat dakwaan dua terdakwa pemberi suap pengurusan seleksi hingga pengangkatan dalam jabatan di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2018-2019. Perkaranya lebih dulu tenar di tahap penyidikan dengan kasus dugaan suap jual beli jabatan di lingkungan Kemenag. Sekitar pukul 11.25 WIB persidangan rampung.
ADVERTISEMENT
Duduk sebagai terdakwa dalam dua sidang terpisah, yakni; Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kemenag Jawa Timur non-aktif Haris Hasanuddin dan Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik non-aktif Muh. Muafaq Wirahadi. Meski terpisah, perkara keduanya ditangani Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan komposisi yang sama, dipimpin oleh Wawan Yunarwanto dan Abdul Basir.
JPU mendakwa Haris Hasanuddin telah memberikan suap secara berlanjut dengan total suap sebesar Rp 325 juta ke dua penyelenggara negara. Pertama, Rp 255 juta ke tersangka penerima suap Muchammad Romahurmuziy (Rommy) selaku anggota Komisi XI DPR sekaligus Ketua Umum DPP PPP (sudah mengundurkan diri). Kedua, Rp 70 juta ke Lukman Hakim Saifuddin selaku Menteri Agama.
"Karena Muchammad Romahurmuziy alias Rommy dan Lukman Hakim Saifuddin melakukan intervensi baik langsung maupun tidak langsung terhadap proses pengangkatan Terdakwa (Haris) sebagai Kepala Kanwil Jatim Provinsi Jawa Timur, yang bertentangan dengan kewajiban Rommy dan Lukman," tegas JPU Wawan Yunarwanto saat membacakan surat dakwaan atas nama Haris.
ADVERTISEMENT
Suap terhadap Rommy dan Lukman diberikan masing-masing dalam dua tahap. Untuk Rommy, sebesar Rp 5 juta diserahkan Haris di rumah Rommy, Jalan Batuampar 3 Nomor 04 Kelurahan, Batuampar, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur pada 6 Januari 2018. Uang diserahkan setelah Haris dinyatakan lolos proses seleksi administrasi.
Kemudian, Rp 250 juta diserahkan Haris ke Rommy di rumah Rommy dengan alamat yang sama untuk pengangkatan Haris dalam jabatan Kakanwil, meski ada surat dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) kepada Menag agar membatalkan dua nama yang lolos seleksi administrasi termasuk Haris karena sedang menjalani hukuman disiplin.
Untuk Lukman, Haris menyerahkan Rp 50 juta ke Lukman saat pertemuan dengan Haris di Hotel Mercure Surabaya pada 1 Maret 2019. Sesaat sebelum penyerahan uang, Lukman menyampaikan ke Haris bahwa Lukman 'pasang badan' untuk tetap mengangkat Haris sebagai Kakanwil. Delapan hari berselang atau 9 Maret 2019, Haris menyerahkan Rp 20 juta ke Lukman melalui Herry Purwanto saat Lukman mengunjungi Pesantren Tebu Ireng Jombang.
ADVERTISEMENT
Setelah uang Rp 50 juta diterima Lukman, Lukman menerbitkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: B.II/04118 tentang Pengangkatan Haris sebagai Kakanwil Kemenag Jawa Timur. Haris kemudian dilantik Lukman pada 5 Maret 2019.
JPU Wawan menggariskan, terdakwa Muafaq telah memberikan suap secara berlanjut dengan total Rp 91,4 juta ke Rommy. Uang diberikan Muafaq dan diterima Rommy karena Rommy, baik secara langsung maupun tidak langsung, melakukan intervensi terhadap proses pengangkatan Muafaq sebagai Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik, yang bertentangan dengan kewajiban Rommy.
Nilai suap yang diberikan Haris dan Muafaq bertambah dari angka yang disangkakan KPK saat penyidikan kasus keduanya dimulai. Mulanya, Haris hanya disangkakan memberikan Rp 250 juta kepada Rommy dan Muafaq hanya memberikan Rp 50 juta.
ADVERTISEMENT
Selain itu, JPU juga mengungkap adanya dugaan keterlibatan sejumlah pihak dalam pengurusan jual beli jabatan Haris dan Muafaq selain Rommy dan Lukman. Mereka di antaranya mantan Staf Ahli Muchammad Romahurmuziy (Rommy) di DPR yang sejak 2016 menjabat sebagai Staf Khusus Menag sekaligus Wakil Sekretaris Jenderal DPP PPP, Gugus Joko Waskito alias Cak Gugus; Sekretaris Jenderal Kemenag sekaligus Ketua Panitia Seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi Kemenag, Mohamad Nur Kholis Setiawan; sepupu Rommy sekaligus PNS Kanwil Kemenag Yogyakarta, Abdul Rochim; sepupu Rommy sekaligus politikus PPP Kabupaten Gresik, Abdul Wahab; dan Ketua DPW PPP Jawa Timur sekaligus anggota DPRD Provinsi Jawa Timur Musyaffa Noer.
Selepas sidang perdana ditutup majelis hakim, ada pernyataan menarik dari Syamsul Huda Yudha selaku kuasa Hukum Haris Hasanuddin. Menurut Syamsul, tidak ada kesempatan dalam bentuk jual beli jabatan hingga permintaan uang dari Rommy dan Lukman. Syamsul mengklaim, pemberian uang ke Rommy dan Lukman merupakan bentuk perwujudan dari tradisi lama di lingkungan pesantren.
ADVERTISEMENT
"Yang ada itu bentuk tradisi lama yang diambil Bahasa Arab namanya 'bisyarah'. Itu (arti bisyarah adalah) menggembirakan. Biasanya (bisyarah) kalau di pondok pesantren diberikan kepada para guru ngaji sebagai bentuk pesangon atau terima kasih. Itu betul dilakukan," ujar Syamsul.
Dia membeberkan, untuk uang Rp 50 juta yang diserahkan Haris ke Lukman pada 1 Maret 2019 bukan berasal dari kantong pribadi Haris. Uang tersebut, tutur Syamsul, berasal dari urunan seluruh kepala kantor.
"Urunan untuk hormati pak Menag yang datang dan itu sudah berlangsung lama. Kebiasan atau tradisi atau bisyarah kepada pimpinan yang hadir. Meskipun tidak baik, maka inilah PR (pekerjaan rumah) kita ke depan supaya nggak ada lagi hal itu," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Senyampang dengan itu, JPU Wawan Yunarwanto menanggapi pernyataan Syamsul ihwal bisyarah terkhusus untuk Lukman. Wawan menegaskan, poin penting yang harus digarisbawahi adalah KPK telah memiliki bukti-bukti yang kuat sejak tahap penyidikan tentang penerimaan uang Rp 70 juta oleh Lukman selaku Menag. Karena itulah pemberian dari Haris hingga penerimaan oleh Lukman dituangkan dalam dakwaan atas nama Haris.
"Bisyarah itu kan istilah, yah, bantuan atau ucapan terima kasih. Tapi kan kita tidak bisa melepaskan antara bisyarah itu dengan jabatan Menteri Agama, apalagi momennya adalah ketika Terdakwa (Haris) akan maju sebagai Kepala Kanwil. Jadi kita tidak bisa melepaskan itu bisyarah dan jabatan itu. Itu pasti ada kaitannya dengan jabatan itu," tegas Wawan.
Sehubungan dengan Rp 50 juta dari total Rp 70 juta, Wawan menegaskan, di tahap penyidikan memang penyidik telah mengindentifikasi dan menemukan bukti bahwa uang sejumlah Rp 50 juta merupakan hasil patungan dari para Kepala Kantor Kemenag di wilayah Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
"Jadi kan di sana itu ada semacam tradisi gitu, kan. Kalau ada Menteri datang itu ada semacam tarikan. Sebenarnya itu kan sifatnya tarikan itu ilegal gitu ya. Jadi kan itu enggak tahu sumber duitnya dari mana untuk operasional menteri selama di luar daerah itu. Meskipun itu dari tarikan itu, kita melihatnya itu sebagai pemberian kepada Menteri dari Haris," ujar Wawan.
Selepas memimpin sidang itsbat Idul Fitri 1440 H, Lukman Hakim Saifuddin menanggapi dakwaan JPU pada KPK terhadap terdakwa Haris Hasanuddin. Lukman membantah telah menerima uang Rp 70 juta dalam dua tahap dari Haris.
"Saya sungguh sama sekali tidak pernah menerima sebagaimana yang didakwakan itu," ujar Lukman di Auditorium HM Rasjidi, Kemenag, Jakarta pada Senin, 3 Juni 2019.
ADVERTISEMENT
Politikus PPP ini mengakui ada dan hadir di Hotel Mercure pada 1 Maret 2019. Kehadiran Lukman untuk memberi pembekalan kepada ASN Kemenag. Tapi, ketika itu tidak ada pertemuan khusus antara Lukman dengan Haris, apalagi serah-terima uang Rp 50 juta. Lukman juga membenarkan hadir dalam acara di Pondok Pesantren Tebu Ireng pada 9 Maret 2019. Di sini memang Haris turut hadir.
Tapi Lukman tidak pernah menerima uang Rp 20 juta dari Haris saat di Pondok Pesantren Tebu Ireng. Yang benar, tutur Lukman, ajudannya menerima uang sebesar Rp 10 juta dari Haris. Uang itu disebut Haris sebagai honorarium tambahan untuk Lukman. Mengetahui penerimaan itu, Lukman langsung meminta ajudannya mengembalikan uang tersebut ke Haris.
ADVERTISEMENT
Tapi, menurut Lukman, uang itu ternyata tidak sempat dikembalikan ajudan ke Haris. Alasannya rumah Haris berada di Surabaya. Untuk itu Lukman lantas berinsiatif melaporkannya ke KPK sebagai gratifikasi setelah lebih sepekan usai Rommy, Haris, dan Muafaq ditangkap KPK.
"Akhirnya, uang tersebut dilaporkan ke KPK pada 26 Maret 2019. Pelaporan uang Rp 10 juta itu sebagai bentuk komitmen saya terhadap pencegahan tindak gratifikasi," klaim Lukman.
Tradisi maupun kebiasaan lama yang ditradisikan hingga berujung pidana seperti dalam delik suap maupun gratifikasi nyatanya dan faktanya tidak semata terjadi pada suap jual beli jabatan di lingkungan Kemenag tahun 2018-2019. Ada banyak kasus atau perkara yang bisa dijadikan contoh lain guna dihadirkan kepada pembaca.
ADVERTISEMENT
Contoh berikut mencakup lebih dulu tentang tradisi dalam artian adat kebiasaan turun-temurun (warisan nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat, kemudian kebiasaan lama dan berlaku umum yang ditradisikan atau menjadi tradisi.
Tradisi Meugang, Suap Dana Otsus Aceh
Pada Senin, 3 Desember 2018, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Ahmadi selaku Bupati Bener Meriah periode 2017-2022 dengan pidana penjara selama 3 tahun, denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan, dan pencabutan hak politik selama 2 tahun. Ahmadi, kini terpidana, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum memberikan suap dengan total Rp 1,05 miliar. Uang diserahterimakan tiga tahap. Masing-masing Rp 120 juta pada 7 Juni 2018, Rp 430 juta pada 9 Juni, dan Rp 500 juta pada 3 Juli.
ADVERTISEMENT
Suap diberikan Ahmadi ke Irwandi Yusuf (divonis 7 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 3 tahun) selaku Gubernur Aceh periode 2017-2022‎, Hendri Yuzal (divonis 4 tahun) selaku Staf Khusus Gubernur Aceh, dan ‎tim sukses Irwandi saat pemilihan gubernur Aceh 2017 sekaligus Direktur PT Tamitana Teuku Saiful Bahri (divonis 5 tahun).
Uang suap disamarkan di antaranya dengan sandi 'zakat fitrah untuk lebaran' dan 'kewajiban'. Khusus untuk uang sejumlah Rp 1 miliar disandikan dengan 'satu ember'. Selain itu ada sandi guna merujuk subjek. Di antaranya 'ketua' untuk Ahmadi, 'raja preman' untuk Saiful, dan 'Bang Wandi' atau 'BW' untuk Irwandi. Selain bahasa Indonesia, para pihak juga menggunakan bahasa Aceh dan bahasa Gayo (bahasa yang digunakan suku Gayo).
ADVERTISEMENT
Majelis hakim memastikan, suap tersebut agar Irwandi mengarahkan ULP memberikan persetujuan atas usulan Ahmadi agar kontraktor atau rekanan dari Kabupaten Bener Meriah dapat mengerjakan program atau kegiatan pembangunan yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tahun anggaran 2018 di Kabupaten Bener Meriah. Total DOKA Pemprov Aceh 2018 sebesar Rp 8.022.595.617.000, sedangkan untuk Kabupaten Bener Meriah mendapat porsi Rp 108.724.375.091.
Setelah sidang ditutup, Ahmadi ke luar ruang sidang. Di hadapan para jurnalis, Ahmadi menuding Jaksa Penuntut Umum (JPU) menggunakan kacamata kuda selama proses persidangannya. Hal itu disebabkan JPU tidak memperhatikan fakta meringankan bagi Ahmadi. Ahmadi menyebutkan, uang Rp 550 juta dari total Rp 1,05 miliar yang dia berikan merupakan perwujudan dari tradisi Meugang yang sudah berlangsung lama di Aceh.
ADVERTISEMENT
"Uang Rp 550 juta yang saya berikan itu untuk kepentingan meugang. Meugang itu budaya sakral. Kalau meugang dianggap korupsi ini bencana besar bagi Aceh. Aceh dari sejak jaman dulu biasa meugang diberi antara pejabat ke rakyat, pemimpin dengan tokoh adat," ujar Ahmadi dengan suara meninggi.
Mantan ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Aceh ini mengklaim tidak mengetahui peruntukkan sisa uang Rp 500 juta. Di sisi lain, Ahmadi menyebutkan, sebagai seorang bupati maka menjadi hal biasa ketika dia merekomendasikan pengusaha untuk mendapatkan proyek ke Pemprov Aceh atau dalam hal ini rekomendasi ke Irwandi Yusuf selaku gubernur.
"Kalau saya bupati, rekomen para pengusaha untuk dapat pekerjaan ya wajarlah. Kepala daerah bukan hanya melaksanakan anggaran yang diberikan pemerintah pusat, tapi juga mengkonsolidasikan pembangunan di daerah itu sendiri," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Dari berbagai literatur dan sumber, tradisi meugang atau makmeugang sudah berlangsung lama di Negeri Serambi Makkah. Meugang pertama kali diselenggarakan pada masa Kerajaan Aceh Darussalam saat dipimpin Sultan Iskandar Muda (berkuasa tahun 1607-1636 M). Secara singkat meugang adalah tradisi menyembelih atau membeli daging (sapi atau kambing), memasak, dan memakannya bersama keluarga dan kerabat hingga bersama anak yatim maupun fakir miskin. Tradisi Meugang berlangsung tiga kali yakni menjelang bulan Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Untuk Ramadan, dihelat dua atau satu hari sebelum Ramadan. Sementara untuk Idul Fitri dan Idul Adha, dilangsungkan sehari sebelum lebaran.
Sebenarnya uang yang terbukti suap di atas yang disebut sebagai meugang, sudah terungkap saat proses persidangan dan fakta-fakta persidangan Ahmadi sebelum vonis dijatuhkan, serta kemudian diperkuat dengan fakta-fakta persidangan Irwandi, Hendri, dan Saiful.
ADVERTISEMENT
Bahkan kata 'meugang' dijadikan sebagai sandi untuk uang suap dari Ahmadi untuk Irwandi. Pada 6 Juni 2018, Saiful menghubungi Muyassir selaku ajudan Bupati Bener Meriah agar menyampaikan ke Ahmadi tentang kebutuhan 'zakat fitrah untuk lebaran' sebanyak 'satu ember'. Muyassir lantas menghubungi Hendri ihwal permintaan Saiful. Hendri meminta Muyassir untuk menyampaikannya ke Ahmadi.
Di tanggal yang sama Muyassir bertemu Hendri di Cafe Quantum guna membicarakan permintaan Rp 1 miliar yang diutarakan Saiful. Setelah pertemuan, Muyassir kembali menghubungi Hendri. Istilah 'zakat fitrah' kemudian berubah menjadi 'uang meugang'.
Masih di Juni 2018, Saiful dan Muyassir melakukan pertemuan membahas tentang proyek-proyek DOKA untuk Kabupaten Bener Meriah. Selain itu Saiful menyampaikan ke Muyassir tentang penyediaan 'uang meugang' dan uang untuk kebutuhan Aceh Marathon International 2018.
ADVERTISEMENT
Muyassir membeberkan, istilah 'zakat fitrah' mulanya disampaikan oleh Ahmadi. Ia mengatakan ke Muyassir kalau ada permintaan uang maka dibahasakan dengan 'zakat fitrah' dan untuk uang miliaran rupiah disamarkan dengan sebutan 'ember'. Selain itu hasil pembicaraan Muyassir dengan Saiful dan Hendri pun kemudian disampaikan ke Ahmadi dan disetujui Ahmadi.
Bila merujuk penanggalan tahun 2018, awal bulan Ramadan jatuh pada Kamis, 17 Mei dan Idul Fitri jatuh pada Jumat, 15 Juni. Melihat penanggalan dan waktu kejadian ini, secara langsung dapat disimpulkan penggunaan sandi 'zakat fitrah' dan 'uang meugang' mendapatkan tempatnya.
Di sisi lain, 'uang meugang' atau 'meugang' juga muncul dalam delik penerimaan gratifikasi Irwandi secara sendiri lebih dari Rp 8.717.505.494 dari sejumlah kontraktor di lingkungan Pemprov Aceh. Uang gratifikasi diterima Irwandi melalui Muklis (kontraktor), Fenny Steffy Burase alias Steffy Burase, Nizarli, dan Erdiansyah. Steffy merupakan istri kedua Irwandi sekaligus event organizer, pemilik PT. Erol Perkasa Mandiri, dan Tenaga Ahli Aceh Marathon International 2018.
ADVERTISEMENT
Fakta tentang uang 'meugang' yang masuk penerimaan gratifikasi Irwandi di antaranya dituturkan Direktur PT. Kenpura Alam Nanggroe Dedi Mulyadi. Dedi pernah menjadi karyawan Saiful di PT. Tamitana kurun tahun 2000 hingga 2012. Dedi membeberkan, PT. Kenpura Alam Nanggroe mengikuti tender tujuh paket proyek dengan total anggaran Rp 26 miliar untuk DOKA 2018. Perusahaan Dedi memenangkan dua proyek dengan total anggaran Rp 7 miliar.
Sekitar awal Juni 2018 dan Saat mengikuti proses lelang tujuh paket, Dedi bertemu dengan Saiful dan Teuku Fadhilatul Amri alias Fadil (keponakan Saiful). Dedi meminta Saiful membantu. Saiful bersedia dengan syarat Dedi menyediakan 'uang meugang'. Dedi bersedia mengucurkan dana sebesar Rp 500 juta. Saiful menyampaikan butuh 'uang meugang' lebih dari Rp 500 juta, yakni Rp 1 miliar. Akhirnya Dedi menyepakati akan memberikan Rp 1 miliar.
ADVERTISEMENT
"Pak Saiful minta uang meugang. Katanya kalau berminat ada dana partisipasi karena untuk menyambut lebaran. Uang tersebut untuk kepentingan Pak Irwandi Yusuf selaku Gubernur Aceh untuk menyambut lebaran. Jadi saya berikan Rp 1 miliar untuk Pak Irwandi. Selain itu ada Rp 1,5 miliar untuk proyek di Kabupaten Nagan Raya, bukan terkait dengan DOKA," tegas Dedi di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Uang sebesar Rp 1 miliar diserahkan Dedi melalui Hasrudin (staf keuangan Dedi) ke Fadil pada 7 Juni 2018. Fadil yang juga bersaksi dalam persidangan Irwandi membenarkan keterangan Dedi tentang pertemuan dan uang Rp 1 miliar.
Langgam Kemenpora Menyandera KONI
Pria kelahiran Manado, 23 Juni 1952 menangis di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta saat memberikan kesaksian di hadapan majelis hakim pada Senin, 29 April 2019. Suaranya kadang terputus-putus saat menceritakan proses pengurusan pengajuan hingga pencairan dua proposal dana hibah yang diajukan oleh Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) tahun kegiatan 2018.
ADVERTISEMENT
Pria tua itu menjelaskan secara rinci tentang pertemuan, permintaan, kesepakatan, hingga proses pemberian suap dalam bentuk barang dan uang untuk memperlancar dana hibah KONI tersebut. Dia merasa menjadi korban. Apalagi eksekusi penyerahan uang maupun barang ke para pejabat Kemenpora bukan atas inisiatifnya, tapi atas perintah dan sepengetahuan terdakwa pemberi suap Ending Fuad Hamidy selaku Sekretaris Jenderal KONI Pusat.
Dari total suap mencapai Rp 12,604 miliar, pria tua itu memastikan dia menyerahkan total Rp 4,408 miliar untuk dua orang. Dia menyebutkan, apa yang dia sampaikan merupakan fakta sebenarnya dan tidak ada yang ditutup-tutupi.
"Saya mengatakan yang sebenarnya, Yang Mulia. Saya tidak menambah-nambahkan karena saya sudah dihukum seperti ini. Pengabdian saya sekian puluh tahun sudah hancur lebur. Saya memberikan keterangan di bawah sumpah jadi yang saya sampaikan apa adanya," tegas pria tua tersebut di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 29 April 2019.
ADVERTISEMENT
Siapa pria tua itu? Dia adalah Jhonny E. Awuy selaku Bendahara Umum KONI Pusat.
Jhonny membeberkan, rincian Rp 4,408 miliar. Pertama, Rp 1,4 miliar termasuk kartu ATM berisi saldo sebesar Rp 100 juta ditambah satu telepon seluler Samsung Galaxy note 9 untuk tersangka (saat ini terdakwa) penerima suap Mulyana selaku Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Kemenpora sekaligus Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Kedua, Rp 3,08 miliar yang terbagi dua bagian ke Asisten Pribadi (Aspri) Menpora Imam Nahrawi, Miftahul Ulum. Masing-masing Rp 3 miliar diserahkan sekitar Juni 2018 yang diterima Ulum melalui utusan Ulum yakni staf Protokoler Menpora bernama Arief Susanto. Kemudian Rp 80 juta dalam kartu ATM yang ditransfer saat Ulum mendampingi Nahrawi menghadiri undangan Federasi Paralayang Asia di Arab Saudi disertai umroh kurun November hingga Desember 2018. Sebelum uang ditransfer, Jhonny lebih dulu menyodorkan kartu ATM yang tabungnya atas nama Jhonny dengan kertas di kartu ATM yang tertulis nama Ulum dan PIN.
ADVERTISEMENT
"Uang Rp 3 miliar itu tidak mungkin hanya untuk Aspri, pasti untuk atasannya. Itu juga penyampaian Pak Sekjen (Hamidy)," tegas Jhonny.
Jhonny dan Hamidy sebelumnya didakwa memberikan suap kepada Mulyana, Adhi Purnomo (kini terdakwa) selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sekaligus Asisten Olahraga Prestasi pada Kedeputian IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga merangkap Ketua Tim Verifikasi, dan Eko Triyanta (kini terdakwa) selaku Staf pada Kedeputian IV Olahraga Prestasi Kemenpora yang biasa menjadi penghubung antara KONI Pusat dengan Kemenpora.
Jhonny dan Hamidy disidangkan dengan berkas surat dakwaan, tuntutan, dan putusan terpisah. Tapi saat persidangan, pembacaan tuntutan dan putusan dilakukan dalam satu persidangan.
Mari kita kembali ke sidang Senin, 29 April 2019. Jhonny dihadirkan JPU pada KPK bersaksi dalam persidangan terdakwa Hamidy. Bersama Jhonny, JPU juga menghadirkan Mulyana, Adhi Purnomo, dan Eko Triyanta serta Imam Nahrawi di sesi kedua. Mulyana, Adhi, Eko, dan Imam serta Hamidy kemudian menjadi saksi dalam persidangan Jhonny di hari yang sama pada malam harinya.
ADVERTISEMENT
Dua proposal yang diurus yakni; pertama, dana hibah dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan (Wasping) Program Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional pada Multi Event 18th Asian Games 2018 dan 3rd Asian Para Games 2018 dengan usulan Rp 51.529.854.500, kemudian disetujui Kemenpora dan dicairkan Rp 30 miliar. Kedua, dana hibah dalam rangka Wasping Seleksi Calon Atlet dan Pelatih Atlet Berprestasi Tahun Kegiatan 2018 dengan usulan awal Rp 27.506.610.000 dan berubah Rp 21.062.670.000. Untuk proposal kedua, Kemenpora menyetujui dan mencairkan Rp 17.971.192.000.
Hamidy yang memberikan tanggapan sebagai terdakwa dan kesaksian dalam persidangan Jhonny memastikan ada lebih dari Rp 12,604 miliar yang dikucurkan untuk para pejabat Kemenpora, termasuk tiga terdakwa penerima, Miftahul Ulum untuk kepentingan Menpora, dan beberapa pejabat Kemenpora lainnya. Total uang yang khusus diterima Ulum mencapai Rp 11,58 miliar (termasuk Rp 80 juta yang ditransfer Jhonny ke rekening dengan ATM yang dipegang Ulum).
ADVERTISEMENT
"Semua uang dikasih (diberikan) itu dari dana hasil pencairan dana hibah KONI yang diberikan Kemenpora," tegas Hamidy.
Sebelum terjadi pemberian seluruh uang tersebut, Hamidy menceritakan, lebih dulu ada arahan dari Mulyana, Eko, Supriyono selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (P2ON) merangkap BPP untuk Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas dan P2ON Kemenpora. Intinya tiga orang tersebut menyampaikan ke Hamidy agar KONI Pusat bertemu dan berbicara dengan Ulum untuk mempermudah, mempercepat, dan memperlancar proposal dana hibah yang diajukan KONI Pusat. Akhirnya Hamidy menjumpai Ulum.
"Jadi setiap ada hambatan, saya berkoordinasi dengan Ulum termasuk untuk proposal dana hibah tahun-tahun sebelumnya," ungkap Hamidy.
Dia membeberkan, saat perjumpaan untuk awal pengurusan setiap proposal dana hibah, Ulum selalu mematok penyediaan cashback berkisar 10 hingga 15 persen dari total nilai bantuan dana hibah yang diterima oleh KONI Pusat. Fee tersebut sebagai jatah ke para pejabat Kemenpora termasuk untuk Imam Nahrawi dan Ulum. Saat pertemuan awal dengan Ulum termasuk kemudian untuk pengurusan dua proposal dana hibah tahun kegiatan 2018, Ulum selalu menulis kode nama-nama pejabat Kemenpora di atas kertas tissue kemudian diserahkan ke Hamidy.
ADVERTISEMENT
Hamidy lantas menyuruh Suradi selaku Sekretaris Bidang Perencanaan dan Anggaran KONI Pusat untuk mengetik daftar nama-nama tersebut. Daftar nama hasil ketikan Suradi sehubungan dengan proposal yang dicairkan Rp 17.971.192.000 kemudian disita KPK dan dibuka dalam persidangan Jhonny dan Hamidy.
"Kalau uang fee tidak diberikan dana bantuan (hibah) tidak diberikan, tidak dicairkan," ujar Hamidy.
Hamidy menjelaskan, semua pengurus KONI Pusat termasuk Ketua Umum KONI Pusat Mayjend TNI (purn) Tono Suratman mengetahui dan menyetujui pemberian fee ke para pejabat Kemenpora sebagaimana permintaan Ulum. Sebabnya, setiap kali setelah diminta Ulum kemudian dilakukan rapat di KONI Pusat yang dihadiri para pengurus KONI Pusat.
"Ketua Umum KONI selalu dilibatkan dalam rapat yang bahas mengenai permintaan komitmen fee yang diminta Pak Ulum untuk pejabat-pejabat Kemenpora dan Ketua Umum KONI menyetujui pemberian komitmen fee tersebut," tandasnya.
ADVERTISEMENT
Imam Nahrawi mengklaim tidak mengetahui sepak terjang Ulum dalam pengurusan proposal dana hibah yang diajukan KONI Pusat. Nahrawi juga membantah pernah memerintahkan Ulum untuk meminta atau menerima uang cashback dari KONI Pusat. Nahrawi juga mengklaim tidak pernah menerima uang dalam jumlah berapapun. Dalam persidangan sebelumnya, Ulum dan Arief Susanto juga membantah adanya permintaan dan penerimaan uang serta bantuan pengurusan dana hibah KONI Pusat.
Permintaan dan pemberian cashback untuk para pejabat Kemenpora terkait dengan proposal dana hibah KONI Pusat yang sudah berlangsung lama juga disampaikan Supriyono. Keterangan disampaikan Supriyono baik saat bersaksi dalam persidangan Hamidy dan Jhonny maupun persidangan Mulyana.
"Pemberian komitmen fee dari KONI Pusat ke pejabat Kemenpora terkait proposal dana hibah KONI sudah merupakan kebiasaan atau tradisi dan sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Karena hampir setiap tahun KONI Pusat selalu mengajukan proposal dana hibah ke Kemenpora," ujar Supriyono.
ADVERTISEMENT
Mulyana menggariskan, saat dia menjabat sebagai Deputi IV ada informasi yang diberikan Supriyono ke Mulyana. Waktu itu Supriyono mengatakan bahwa KONI Pusat merupakan 'anjungan tunai mandiri (ATM)' bagi Kemenpora.
"Supriyono pernah mengatakan ke saya bahwa ATM-nya Kemenpora adalah KONI. Ya itu dengan komitmen-komitmen fee itu," ujar Mulyana saat memberikan tanggapan sebagai terdakwa atas keterangan Supriyono, di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin, 13 Mei 2019.
Satu pekan berselang yakni Senin, 20 Mei 2019, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Hamidy dengan pidana penjara selama 2 tahun 8 bulan dan denda Rp 100 juta subsider kurungan selama 2 bulan, sedangkan Jhonny dihukum 1 tahun 8 penjara dan denda Rp 50 juta subsider 2 bulan kurungan. Majelis memastikan keduanya terbukti memberikan suap lebih Rp 12,604 miliar. Majelis juga menegaskan sebagaimana diyakini JPU pada KPK bahwa seluruh uang yang diterima Miftahul Ulum untuk Imam Nahrawi.
ADVERTISEMENT
"Telah terungkap fakta-fakta persidangan di atas berkaitan dengan pemberian uang dari KONI kepada Menpora Imam Nahrawi melalui Miftahul Ulum," ucap hakim Rustiono.
Joko Prabowo Menyingkap Pandora
Nama Joko Widodo dan Prabowo Subianto memang menjadi inspirasi bagi banyak orang. Insipirasi itu bukan sekadar bersifat positif, tapi juga negatif. Salah satu yang menjadikan dua nama tokoh tadi sebagai inspirasi, yakni Adiputra Kurniawan alias Yeyen, alias Yongkie, selaku Komisaris PT Adhiguna Keruktama. Yongkie menggabungkan dua nama tadi menjadi satu nama baru yakni Joko Prabowo.
Nama Joko Prabowo kemudian dipakai Yongkie untuk membuat KTP dan rekening. KTP atas nama Joko Prabowo dengan NIK 327305280274002 dan dengan domisili Kota Bandung, Jawa Barat. Yongkie membeberkan, alamat dalam KTP tersebut yakni Arcamanik, Sukamiskin, Kota Bandung. KTP ini dibuat Yongkie di Jalan Pramuka, Jakarta Pusat, alias bukan di tempat resmi.
ADVERTISEMENT
Nama Joko Prabowo, tutur Yongkie, terinspirasi dari dua nama calon presiden pada Pilpres 2014 yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto. "Joko Prabowo diambil pada saat pemilihan pemilu 2014. Dulu ada calonnya, Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Tujuan saya buat KTP atas nama Joko Prabowo adalah untuk membuka rekening di bank," ujar Yongkie di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dia mengungkapkan, setelah KTP tersebut jadi, kemudian Yongkie menyuruh anak buahnya untuk membuka rekening. Di antaranya di Bank Mandiri Cabang Pekalongan Alun-Alun sebanyak 21 rekening, yang dibuat bertahap sejak 2015 hingga 2017. Yongkie punya alasan khusus kenapa rekening atas nama Joko Prabowo dibuat.
"Tujuan saya membuka rekening Atas nama Joko Prab0wo dan bukan atas nama Adiputra Kurniawan adalah, karena kartu ATM-nya akan saya berikan ke macam-macam orang, ada LSM, ada preman, wartawan, teman wanita, pejabat di Perhubungan (Kementerian Perhubungan). Jadi kalau rekening tersebut dibuat atas nama yang sebenarnya Adiputra Kurniawan, saya bisa kena kalau ada masalah," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Pembuatan rekening dibenarkan Sri Utami Nunik Chairita selaku Kepala Cabang PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Cabang Pekalongan Alun-Alun kurun 2014 hingga 30 September 2017. Seingat Sri, pembuatan rekening Bank Mandiri atas nama Joko Prabowo di Bank Mandiri Cabang Pekalongan, dilakukan bendaraha perusahaan Yongkie. Rekening tersebut bisa dibuka karena Yongkie adalah nasabah lama dan nasabah prioritas Bank Mandiri Cabang Pekalongan.
Sri memastikan, total ada 21 rekening yang dibuka dengan nama Joko Prabowo dengan disertai KTP atas nama Joko Prabowo dan rekomendasi yang diteken Yongkie. Satu di antaranya, rekening nomor 1390017128988 dan kartu ATM Bank Mandiri dengan nomor kartu 4617005128520620.
Rekening dibuka pertama kali sejak Agustus 2015 hingga 20 Maret 2017. Saat pertama kali dibuka, customer service lebih dulu mengecek data. Rupanya data rekening dan KTP atas nama Joko Prabowo juga sudah ada ada datanya pada Bank Mandiri cabang lain.
ADVERTISEMENT
"Pembukaan rekening oleh nasabah atas nama Joko Prabowo yang KTP domisilinya di Arcamanik, Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat didasarkan kepada surat rekomendasi dari Adhi Putra Kurniawan," tegas Sri.
Sekitar 16 Agustus 2016, Yongkie bertandang ke gedung Kementerian Perhubungan (Kemenhub) di Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 8 Jakarta Pusat. Yongkie menemui Antonius Tonny Budiono, selaku Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) Kemenhub di ruang kerja Tonny. Tonny sebelumnya menjabat sebagai Staf Ahli Menhub Bidang Logistik, Multimoda, dan Keselamatan Perhubungan periode 2015-2016.
Dalam pertemuan, Yongkie menyodorkan ke Tonny berupa kartu ATM Bank Mandiri dengan nomor kartu 4617005128520620, beserta buku tabungan Mandiri Kantor Cabang Pekalongan Alun-alun, dengan nomor rekening 1390017128988 atas nama Joko Prabowo disertai PIN. Di dalam rekening atau kartu ATM saat itu telah berisi uang sejumlah Rp 300 juta.
ADVERTISEMENT
Belakangan, Yongkie mentransfer uang dengan total Rp 2 miliar dalam tujuh tahap ke rekening tersebut, kurun 16 September 2016 hingga Agustus 2017. Dari seluruh uang Rp 2,3 miliar, Tonny telah mempergunakan Rp 1.144.362.954 termasuk penggunaan terakhir saat terjadi operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Rabu, 23 Agustus 2017.
Kartu ATM dan buku tabungan dengan saldo Rp 1.155.637.046, beserta tiga rekening (kartu ATM dan buku tabungan) lain, dan 33 tas ransel berisi uang dengan nilai total sekitar Rp 18,9 miliar dalam berbagai bentuk mata uang, disita KPK saat Tonny diciduk di Mess Perwira Ditjen Hubla, di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat.
Yongkie kini telah menjadi terpidana. Dia sebelumnya divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta, subsider 5 bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis, 18 Januari 2018. Majelis meyakini, Yongkie terbukti telah memberikan suap Rp 2,3 miliar ke Tonny. Majelis memastikan, suap bersandi telor asin, kalender, hingga sarung ini diserahterimakan dengan modus baru, yakni dengan didahului penyerahan kartu anjungan tunai mandiri (ATM) dan buku tabungan menggunakan nama Joko Prabowo dengan saldo awal, kemudian dilakukan transfer dan penarikan uang.
ADVERTISEMENT
Majelis menegaskan, suap tersebut untuk pengurusan proyek pekerjaan pengerukan alur pelayaran Pelabuhan Pulang Pisau Kalimantan Tengah (2016) dan Pelabuhan Samarinda Kalimantan Timur (2016), serta persetujuan penerbitan surat izin kerja keruk (SIKK) untuk PT Indominco Mandiri, PT Indonesia Power Unit Jasa Pembangkit PLTU Banten, dan Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas I Tanjung Emas Semarang, yang proyek pengerukannya dilaksanakan oleh PT Adhiguna Keruktama.
Tonny juga kini telah menjadi terpidana. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum Tonny dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp 300 juta, subsider kurungan selama 3 bulan pada Kamis, 17 Mei 2018. Majelis menyatakan, Tonny terbukti melakukan dua delik korupsi. Pertama, Tonny selaku Dirjen Hubla menerima suap Rp 2,3 miliar dari Yongkie.
ADVERTISEMENT
Kedua, Tonny selaku Staf Ahli Menhub 2015-2016 dan Dirjen Hubla menerima gratifikasi dengan nilai total lebih dari Rp 21 miliar. Gratifikasi diterima dari puluhan orang baik pejabat Kemenhub, pengusaha, perusahaan, hingga asosiasi pengusaha atau perusahaan. Gratifikasi tersebut baik berupa uang tunai, uang melalui transfer rekening atau kartu ATM, maupun barang-barang bernilai ekonomis. Gratifikasi tersebut termasuk uang-uang yang ada dalam 33 tas ransel, minus Rp 370 juta yang berhasil dibuktikan Tonny sebagai uang yang sah.
Selain fakta di atas, di dalam persidangan Yongkie dan Tonny, hingga tertuang dalam pertimbangan surat tuntutan dan putusan keduanya, ada banyak fakta lain. Satu di antaranya, lebih dari 10 pejabat Kemenhub selain Tonny yang menerima uang, di antaranya menggunakan modus yang sama seperti Tonny saat menerima uang dari Yongkie.
ADVERTISEMENT
Lebih dari 10 penerima uang selain Tonny di antaranya, mantan Staf Khusus era Menhub Ignasius Jonan yang kini menjadi Staf Khusus era Menteri ESDM Ignasius Jonan, bernama Hadi Mustofa Djuraid sebesar Rp 1 miliar dari Tonny, mantan Direktur Kepelabuhan dan Pengerukan Ditjen Hubla yang kini menjabat Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas Utama Tanjung Perak Surabaya, Mauritz HM Sibarani, Kepala Subdit Pengerukan dan Reklamasi pada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Wisnoe Wihandani, Kepala KSOP Kelas I Tanjung Emas Semarang, Jawa Tengah, Captain Gajah Rooseno, dan Kepala KSOP Kelas V Pulang Pisau, Otto Patriawan Rp 800 juta.
Kemudian, Kepala Seksi Promosi Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (Ditjen Hubdat), Sapril Imanuel Ginting, mantan Kepala KSOP Kelas I Semarang yang kini menjabat Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Ditjen Perhubungan Laut, Marwansyah, dan ada beberapa PNS pada KSOP Kelas I Tanjung Emas.
ADVERTISEMENT
Di hadapan majelis hakim, Tonny menggariskan, sebenarnya dia mulai menerima pemberian-pemberian berupa barang dan uang sejak dia menjadi direktur Pelabuhan dan Pengerukan pada Ditjen Hubla. Tonny menegaskan, penerimaan uang oleh para pejabat Kemenhub dan pengalokasian lebih dulu atau kavling, untuk pemenang proyek termasuk di bawah kewenangan Ditjen Hubla sudah berlangsung sangat lama.
Tonny memastikan, dalam setiap proses tersebut ada banyak orang yang mewakili perusahaan maupun asosiasi, serta perusahaan yang memberikan setoran ke para pejabat Kemenhub dan Ditjen Hubla. Penerimaan-penerimaan berupa barang maupun uang juga berhubungan erat dengan perizinan.
"Jadi memang banyak mafia. Penerimaan dengan ATM (didahului pemberian dan penerimaan kartu ATM) sudah berlangsung lama di Kemenhub. Memang perbuatan seperti ini di perhubungan laut sudah berlangsung lama. Saya khilaf yang mulia. Makanya saya bertobat," tegas Tonny di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
ADVERTISEMENT
Ban Berjalan dan Kementerian PUPR
(a) Ban Berjalan Komisi Basah
Senin, 11 April 2016, seorang perempuan cantik duduk di bangku saksi di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Perempuan sosialita kelahiran Jakarta, 2 November 1968 ini, menjadi saksi untuk terdakwa pemberi suap dengan total Rp 42,8 miliar, Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir.
Perempuan tersebut adalah Damayanti Wisnu Putranti, selaku anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDIP. Dalam kesaksiannya, Damayanti menceritakan alokasi dan penentuan jatah aspirasi Komisi V DPR yang masuk menjadi proyek-proyek dalam APBN untuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sejumlah pertemuan, hingga penerimaan uang suap.
Damayanti menceritakan, alokasi atau ploting jatah aspirasi Komisi V DPR sudah berlangsung lama di DPR, khususnya Komisi V. Seluruh anggota dan pimpinan Komisi V mendapat bagian. Nilai masing-masing proyek variatif. Untuk pimpinan berkisar hingga Rp 450 miliar, ketua kelompok fraksi (kapoksi) sekitar Rp 100 miliar, dan anggota Komisi V mendapat jatah Rp 50 miliar.
ADVERTISEMENT
Untuk kepentingan itu dan guna mempengaruhi dan menekan pejabat-pejabat Kementerian PUPR, agar usulan aspirasi para anggota dan pimpinan Komisi V masuk dalam APBN untuk Kementerian PUPR, maka dilakukan 'rapat setengah kamar' di DPR pada pada 14 September 2015. Rapat ini dihadiri oleh pimpinan Komisi V dan Kapoksi dengan pejabat Kementerian PUPR, di antaranya Taufik Widjoyono selaku Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR saat itu.
"Dana aspirasi yang diplot nominalnya oleh pimpinan fraksi, kemudian kapoksi, dan anggota. Untuk nilai, hasil nego antara pimpinan Komisi V dengan Kementerian PUPR. Bagian jatah seperti ban berjalan, siapapun anggota DPR pasti dapat. 54 anggota Komisi V semua dapat. Jadi bukan saya sendiri. Sesuai sistem yang sudah (lama) ada di Komisi V. Mengalir saja," tegas Damayanti.
ADVERTISEMENT
Apa yang diutarakan Damayanti bukan isapan jempol belaka. Kesaksian tersebut kemudian terafirmasi dan terkonfirmasi dengan keterangan saksi-saksi lainnya, keterangan Khoir, keterangan terdakwa lain yang kemudian kini menjadi terpidana, alat bukti berupa dokumen-dokumen, hingga alat bukti petunjuk semisal sadapan percakapan dan transkip pesan singkat. Damayanti kini juga menjadi terpidana, sedangkan Khoir telah bebas setelah menjalani masa pidana 2 tahun 6 bulan.
Damayanti telah divonis dengan pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 500 juta, subsidair 3 bulan kurungan pada Senin, 26 September 2016. Damayanti terbukti bersama-sama dengan teman sosialita sekaligus ibu rumah tangga, Dessy Ariyati Edwin (divonis 4 tahun) dan teman sosialita sekaligus agen asuransi Julia Prasetyarini (divonis 4 tahun) menerima Rp 8,2 miliar dari Abdul Khoir. Suap itu terdiri atas uang SGD 328.000 (setara Rp 3,2 miliar), Rp 1 miliar dalam mata uang dolar AS, dan SGD 404.000 (setara Rp 4 miliar).‎
ADVERTISEMENT
Dari keseluruhan uang suap tersebut, sebesar SGD 305.000 untuk terpidana Budi Supriyanto (divonis 6 tahun dan denda Rp 300 juta, subsider kurungan selama 2 bulan) selaku anggota Komisi V dari Fraksi Partai Golkar. Sedangkan Dessy dan Uwi memperoleh jatah masing-masing Rp 100 juta dan sekitar SGD 84.150.
Suap yang diterima Damayanti terbukti untuk pengusulan dan pelolosan kegiatan pekerjaan ‎pelebaran jalan Tehoru-Laimu (jatah proyek Damayanti), berkode ‘1E’ dengan nilai Rp 41 miliar dan kegiatan pekerjaan rekonstruksi Jalan Werinama-Laimu (jatah proyek Supriyanto), berkode ‘2D’ dengan nilai Rp 50 miliar di Balai Pelaksana Jalan Nasional IX (BPJN IX) Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara Kementerian PUPR sebagai usulan program aspirasi anggota Komisi V DPR. Usulan tersebut masuk dalam APBN Kementerian PUPR tahun anggaran 2016‎.‎ Suap yang diterima Supriyanto untuk program aspirasi berkode ‘2D’.
ADVERTISEMENT
Selain Khoir, Damayanti, Dessy, Uwi, dan Supriyanto, ada beberapa orang yang juga menjadi terpidana baik sebagai pemberi suap atau penerima suap. Pemberi suap yakni Komisaris Utama PT Cahayamas Perkasa, So Kok Seng alias Tan Frenky Tanaya, alias Aseng (divonis 4 tahun penjara). Penerima suap ada Amran HI Mustary selaku kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) IX Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara ‎(Malut)‎ Kementerian PUPR, Andi Taufan Tiro selaku anggota sekaligus Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) PAN di Komisi V, Musa Zainuddin selaku anggota merangkap Kapoksi PKB di Komisi V, dan Yudi Widiana selaku Wakil Ketua Komisi V dari Fraksi PKS, Rudy Erawan (divonis 4 tahun 6 bulan dan pencabutan hak politik selama 5 tahun) selaku Bupati Halmahera Timur, Provinsi Malut.
ADVERTISEMENT
Taufan divonis 9 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, dan pencabutan hak politik selama 5 tahun. Taufan terbukti menerima suap Rp 6,4 miliar dari Khoir dan SGD 101.807 atau setara Rp 1 miliar dari Direktur Utama PT Martha Teknik Tunggal, Hengky Poliesar‎ (belum tersangka).
Uang suap tersebut karena Taufan menyalurkan program aspirasi yang sudah diusulkannya, dalam bentuk proyek pembangunan infrastruktur jalan senilai Rp 170 miliar di BPJN IX. Dalam APBN 2016 Kementerian PUPR serta mengarahkan Khoir dan Hengky sebagai pelaksana proyek infrastruktur berupa program aspirasi Taufan.
Musa divonis dengan pidana penjara selama 9 tahun, denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan, dan pencabutan hak politik selama 3 tahun. Musa terbukti menerima suap sekitar Rp 7 miliar dari Khoir dan Aseng. Suap terbukti karena Musa menyetujui program aspirasi berupa proyek jalan senilai Rp 108 miliar milik Musa, yang masuk dalam APBN 2016 Kementerian PUPR dikerjakan Khoir dan Aseng. Total usulan aspirasi Musa yang dialokasikan ke Maluku dan Malut sebesar Rp 140 miliar.
ADVERTISEMENT
Yudi dihukum dengan pidana penjara selama 9 tahun, denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan, dan pencabutan hak politik selama 5 tahun. Yudi terbukti menerima suap dengan total Rp 11,5 miliar dari Aseng. Suap yang diterima Yudi untuk dua kepentingan. Satu, program aspirasi dan program optimalisasi ke dalam DIPA Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam APBN Tahun Anggaran 2015. Programnya dalam bentuk lima proyek di Provinsi Maluku dengan nilai Rp 137,8 miliar. Dua, usulan program aspirasi Yudi yang kemudian disahkan dalam APBN 2016 Kementerian PUPR. Ada tiga proyek yang diusulkan dengan nilai Rp 140,5 miliar di Provinsi Maluku.
Taufan, Musa, dan Yudi ikut hadir dalam 'rapat setengah kamar' di DPR pada pada 14 September 2015. Usulan program aspirasi dalam bentuk proyek milik Taufan belum dibuatkan kode, program aspirasi milik Musa berkode ‘6B’, dan milik Yudi khusus untuk APBN 2016 berkode ‘P5’.
ADVERTISEMENT
Sebelum menerima suap, terjadi permintaan fee dan kesepakatan. Taufan 7 persen dari total nilai proyek, Musa 8 persen, Yudi 5 persen, dan Damayanti 7 persen, dan Supriyanto 6 persen.
Amran divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 800 juta, subsider 4 bulan kurungan. Khusus untuk Amran, secara sendiri terbukti menerima suap dengan total Rp 42,1 miliar. Suap diberikan oleh Khoir, Aseng, tersangka Direktur PT Shaleen Raya (Jeco Group) Hong Artha John Alfred, Komisaris PT Papua Putra Mandiri Henock Setiawan alias Rino (belum tersangka), dan Direktur CV Putra Mandiri Charles Fransz alias Carlos (belum tersangka), Direktur Labrosco Yal Djonny Laos (belum tersangka), Direktur PT Reza Multi Sarana Rizal (belum tersangka), Direktur PT Intimkara Budi Liem (belum tersangka), Direktur PT Abinabi Hasanudin (belum tersangka), Direktur CV Gema Hamahera Anfiqurahman (belum tersangka), dan Direktur PT Hijrah Nusatama Hadiruddin (belum tersangka).
ADVERTISEMENT
Aseng secara sendiri terbukti memberikan suap dengan total Rp 18,7 miliar. Rudy Erawan divonis 4 tahun 6 bulan, denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan, dan pencabutan hak politik selama 5 tahun. Mantan ketua DPD PDIP Provinsi Malut ini terbukti menerima suap dengan total Rp 6,3 miliar melalui Amran dari Khoir, Aseng, dan Alfred.
Uang suap yang diterima Rudy terbukti karena Rudy telah menjembatani kepentingan Amran menjadi Kepala BPJN IX. Amran dilantik menjadi Kepala BPJN IX pada 10 Juli 2015. Dalam proses upaya pengurusan tersebut, Rudy bertemu dan melobi Sekretaris Fraksi PDIP di DPR sekaligus Wakil Ketua Komisi I DPR dan Ketua DPD PDIP Jawa Tengah, Bambang Wuryanto alias Bambang Pancul dan Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto.
ADVERTISEMENT
Dari fakta di atas, bisa dilihat bahwa ada jatah program aspirasi dan kodenya. Secara umum kode dibuat berupa angka dan huruf. Angka untuk anggota Komisi V berdasarkan fraksi atau partai. Misalnya ‘1’ untuk PDIP, ‘2’ untuk Partai Golkar, ‘3’ untuk Partai Gerindra, ‘4’ untuk Partai Demokrat, ‘5’ untuk PAN, atau ‘6’ untuk PKB. Huruf dimulai dari a, b, c, dan seterusnya.
Khusus untuk pimpinan Komisi V berjumlah lima orang, jatahnya lebih dulu didahului kode huruf 'P' disertai angka yaitu ‘P1’, ‘P2’, ‘P3’, ‘P4’, dan ‘P5’. Seluruh kode dibuat dan disusun oleh pejabat Kementerian PUPR dengan didasarkan pada nama dan daftar berdasarkan fraksinya yang didapat dari Sekretariat Komisi V.
Masih berdasarkan fakta-fakta persidangan hingga tertuang dalam pertimbangan surat tuntutan dan pertimbangan putusan para terpidana, terungkap total usulan program aspirasi Komisi V dalam bentuk proyek dengan anggaran sebesar Rp 7,735 triliun, yang awalnya diusulkan pertama kali berkisar Rp 14 triliun hingga Rp 17 triliun.
ADVERTISEMENT
Atas usulan ini kemudian masuk dalam DIPA Kementerian PUPR dan disahkan dalam APBN 2016 sebesar Rp 2,86 triliun. Sedangkan sebelumnya pada 2015, usulan program aspirasi yang masuk dan disetujui dalam APBN Kementerian PUPR sebesar Rp 1,19 triliun.
Fakta tentang 'rapat setengah kamar' di DPR dipastikan juga oleh Taufik Widjoyono selaku Sekjen Kementerian PUPR dan A Hasanudin selaku kepala Biro Perencanaan Anggaran dan Kerja Sama Luar Negeri. Taufik saat itu hadir bersama Hasanudin, Soebagiono selaku direktur pengembangan jaringan jalan Ditjen Bina Marga, Miftachul Munir selaku kasubdit pemrograman dan penganggaran Direktorat Pengembangan Jaringan Jalan Ditjen Bina Marga, dan Reza selaku kepala seksi di Ditjen Bina Marga.
Dalam pertemuan lima pimpinan Komisi V yang hadir. Mereka adalah Ketua Komisi V dari Fraksi Partai Gerindra Fary Djemi Francis, bersama empat wakil ketua yakni Lasarus dari Fraksi PDIP, Muhidin Mohamad Said dari Fraksi Partai Golkar, Michael Wattimena dari Fraksi Partai Demokrat, dan Yudi Widiana Adia dari Fraksi PKS. Para kapoksi yang sering mondar-mandir masuk ke dalam ruang rapat pimpinan, tempat rapat setengah kamar, di antaranya Andi Taufan Tiro, Fauzi H Amro (Fraksi Partai Hanura), Mohammad Nizar Zahro (Fraksi Partai Gerindra), dan Epyardi Asda (Fraksi PPP).
ADVERTISEMENT
"Pimpinan Komisi V, Fary Djemi Francis sampaikan kalau usulan program aspirasi tidak diakomodasi, maka persetujuan RAPBN 2016 PUPR ditunda atau diundur, tidak disetujui (Komisi V). Pak Fary juga sampaikan, pembagian besaran per anggota Komisi V. Untuk anggota biasa dapat program aspirasi sebesar Rp 50 miliar sampai Rp 60 miliar, sedangkan untuk kapoksi sekitar Rp 70 miliar sampai Rp 80 miliar, dan pimpinan Komisi V mendapatkan sekitar Rp 400 miliar sampai Rp 450 miliar," tegas Taufik di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Baik kita kembali ke total uang 42,1 miliar yang diterima Amran. Uang tersebut ternyata tidak dinikmati Amran sendiri. Amran menyetorkan belasan miliar ke puluhan pejabat Kementerian PUPR untuk tunjangan hari raya (THR) hari raya Idul Fitri dan Idul Adha 2015, THR Natal 2015, dan tunjangan tahun baru 2016.
ADVERTISEMENT
Mereka yang menerima dari Amran di antaranya Taufik Widjoyono (USD 20.000), Hediyanto W Husaini (USD 60.000) selaku Dirjen Bina Marga, A Hasanudin (USD 10.000), Soebagiono (USD10.000), dan Hedy Rahadian (USD 10.000) selaku Direktur Jembatan Ditjen Bina Marga, dan Rp 750 juta kepada 22 kasubdit di Kementerian PUPR dengan nominal masing-masing Rp 30 juta.
Perkara ini bermula dari OTT yang dilakukan KPK pada Rabu, 13 Januari 2016 malam. Saat itu KPK menciduk Damayanti, Khoir, Dessy, Uwi, dan beberapa orang lainnya.
Fakta yang nyata di atas telah menunjukkan bersatu-padunya kepentingan pengusaha, pejabat kementerian, dan politikus (anggota DPR). Fakta tersebut pun menunjukkan juga bahwa betapa tidak adanya proses cek and balances legislatif terhadap eksekutif secara benar, hingga tidak adanya pencegahan sejak awal dan pengawasan dari level inspektorat jenderal dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Kementerian PUPR.
ADVERTISEMENT
Bahkan harus diakui DPR tidak mampu melakukan pengawasan terhadap dirinya sendiri, lebih khusus para anggotanya sebelum terjadi pertemuan, kesepakatan, hingga perbuatan pidana (penerimaan suap). Andaipun ada Inspektorat Utama dan APIP pada Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR, mereka hanya bertugas pada ruang lingkup Setjen dan Badan Keahlian (BK). Jadi siapa yang sebaiknya mengawasi DPR agar tidak lagi terjadi tindak pidana korupsi?
Pertanyaan hampir serupa dengan konteks yang hampir sama pula pernah diutarakan Wakil Presiden M Jusuf Kalla (JK) pada Juni 2015. JK mempertanyakan usulan dana aspirasi atau Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) DPR sebesar Rp 11,2 triliun dengan pengawasan atas penggunaannya nanti. Dari dana sebesar itu, diproyeksikan masing-masing anggota sejumlah Rp 20 miliar.
ADVERTISEMENT
"Kan DPR (sebagai lembaga) yang awasi pemerintah. Kalau DPR sendiri punya anggaran, siapa yang awasi DPR dong," ujar JK di Kantor Wakil Presiden pada Rabu, 17 Juni 2015.
(b) Suap Air Mengalir Sampai Jauh
Apa yang terjadi dalam perkara di atas ternyata tidak menjadi perhatian serius dan iktibar penting bagi Kementerian PUPR dan pengusaha yang menggarap proyek-proyek di lingkungan Kementerian PUPR.
Bertepatan dengan 'Jumat Keramat' atau Jumat, 28 Desember 2018, KPK menghentak. KPK menciduk 21 orang sesaat setelah terjadinya transaksi dugaan suap pengurusan proyek-proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) dan pengadaan pipa High Density Polyethylene (HDPE), yang masuk bagian proyek SPAM pada Kementerian PUPR Tahun Anggaran 2017-2018‎. Dari 21 orang, KPK kemudian menetapkan empat orang tersangka pemberi suap dan empat orang tersangka penerima.
ADVERTISEMENT
Empat orang pemberi suap yakni pertama, Direktur Utama PT Wijaya Kusuma Emindo (WKE) sekaligus pengendali PT Tashida Sejahtera Perkasa (TSP) Budi Suharto. Kedua, Direktur Keuangan PT WKE merangkap Bagian Keuangan PT TSP Lily Sundarsih W (istri Budi). Ketiga, Direktur Utama PT TSP merangkap Project Manager PT WKE Irene Irma (anak Budi dan Lily). Keempat, Direktur PT WKE sekaligus Project Manager PT TSP Yuliana Enganita Dibyo.
Mereka telah divonis oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dengan pidana penjara masing-masing selama 3 tahun dan pidana denda sebesar Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan pada Kamis, 23 Mei 2019. Mereka telah menjadi terpidana setelah putusan inkracht dan kemudian dieksekusi oleh jaksa eksekutor KPK pada Kamis, 30 Mei.
ADVERTISEMENT
Empat penerima suap yakni pertama, Anggiat Partunggul Nahot Simaremare selaku Kepala Satuan Kerja (Kasatker) merangkap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pembinaan Teknis Pengembangan Air Minum dan Sanitasi Provinsi Maluku Utara 2015 serta selaku Kasatker merangkap PPK Pembinaan Teknis Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (PSPAM) Strategis 2017-2018 Kementerian PUPR.
Kedua, Teuku Mochamad Nazar selaku Kasatker Pengembangan Kinerja Pengelolaan Air Minum Nanggroe Aceh Darussalam 2014, Kasatker dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pembinaan Teknis Provinsi Aceh 2015-2016, dan Kasatker dan PPK Pembinaan Teknis Tanggap Darurat Permukiman Pusat 2018. Ketiga, Meina Woro Kustinah selaku PPK Wilayah 1B pada Satker PSPAM Strategis dan PPK SPAM Katulampa Kota Bogor 2018. Keempat, Donny Sofyan Arifin selaku PPK SPAM untuk Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur 2014-2017 merangkap PPK SPAM Toba 1 2018.
ADVERTISEMENT
Sidang perdana pembacaan surat dakwaan atas nama Anggiat, Nazar, Meina, dan Donny sudah berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Rabu, 15 Mei 2019.
Majelis hakim menilai, Budi, Lily, Irene, dan Yuliana telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum memberikan suap lebih Rp 30,683 miliar, kurun 2014 hingga 2018, ke sejumlah pejabat Kementerian PUPR.
Dari angka tersebut, sebagiannya yakni Rp 4.131.605.000, USD 38.000 (setara saat itu Rp 537 juta), dan SGD 23.000 (setara saat itu Rp 255 juta) diberikan pada 2018 ke empat orang terdakwa penerima suap. Masing-masing Anggiat sebesar Rp 1,35 miliar dan USD 5.000 atau setara Rp 73 juta, Meina sejumlah Rp 1,42 miliar dan SGD 23.000 atau setara Rp 255 juta, Donny sebesar Rp 150 juta, dan Nazar sejumlah Rp 1.211.605.000 dan USD 33.000 atau setara saat itu Rp 500 juta.
ADVERTISEMENT
Uang suap terbukti agar Anggiat, Meina, Donny, dan Nazar tidak mempersulit pengawasan atas 11 proyek di 12 kabupaten atau kota dan provinsi sehingga dapat memperlancar pencairan anggaran kegiatan proyek di lingkungan Satuan Kerja Pengembangan SPAM Strategis dan Satuan Kerja Tanggap Darurat Permukiman Pusat Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR yang dikerjakan oleh PT WKE dan PT TSP. Nilai 11 proyek tersebut lebih dari Rp 431,168 miliar.
Satu, Pekerjaan Konstruksi Pembangunan SPAM Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung 2018-2019. Dua, Pekerjaan Konstruksi Pembangunan SPAM Regional Umbulan-Offtake Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik Provinsi, Jawa Timur 2017-2019. Tiga, Pembangunan SPAM PDAM Binaan (Katulampa) Kota Bogor 2017-2018. Empat, Pekerjaan Konstruksi Pembangunan IPA Kapasitas 5 L per detik untuk Kawasan Perbatasan Pulau Laut Kabupaten Natuna. Lima, Pembangunan IPLT Kota Tomohon, Sulawesi Utara 2018. Enam, Pembangunan proyek IPA Peusangan Selatan Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh 2018.
ADVERTISEMENT
Tujuh, Pekerjaan Pembangunan IPA Krayan Barat Kapasitas 10 L per detik untuk Kawasan Perbatasan Krayan Barat Kabupaten Nunukan 2018. Delapan, Konstruksi Pembangunan SPAM Paket 1 Kawasan KSPN Danau Toba, Provinsi Sumatera Utara 2017-2018. Sembilan, Peningkatan Infrastuktur air limbah terpusat IPAL Sewon Kabupaten Bantul, Provinsi DI Yogyakarta 2018. Sepuluh, Pekerjaan Penanganan Tanggap Darurat SPAM Sulawesi Tengah 2018. Terakhir, Pekerjaan Pembangunan IPLT Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara 2017.
Menukil surat dakwaan Anggiat, Nazar, Meina, dan Donny, mereka didakwa menerima uang dengan total mencapai lebih Rp 32,77 miliar untuk ratusan proyek SPAM, dengan nilai triliunan rupiah di seluruh Indonesia. Angka ini terpecah dua bagian yakni suap senilai Rp 14,853 miliar dan gratifikasi Rp 17,923 miliar. Sebagian besar suap, gratifikasi, proyek-proyek termaktub dalam surat dakwaan Anggiat.
ADVERTISEMENT
Anggiat didakwa menerima Rp 3,733 miliar dan USD 5.000 (setara saat itu Rp73 juta) dari empat terpidana pemberi suap, serta suap sejumlah Rp 1,25 miliar dari Komisaris Utama PT Minarta Dutahutama Leonardo Jusminarta Prasetyo (belum tersangka), melalui Direktur Teknis dan Pemasaran PT Minarta Dutahutama Misnan Misky.
Selain itu Anggiat selaku selaku PPK di Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR kurun 2009-2018 telah gratifikasi Rp 10.058.491.705,64, USD 348.500 (saat 15 Mei setara Rp 5.060.220.000), SGD 77.212 (setara Rp 818.872.638,12), AUSD 20.500 (setara Rp 206.159.275), HKD 147.240, EUR 30.825 (setara Rp 501.601.662), GBP 4.000 (setara Rp 74.998.720), RM 345.712 (setara Rp 1.203.340.501,1) CNY85.100, KRW 6.775.000, THB 158.470, YJP 901.000, VND 38.000.000, ILS 1.800, dan TRY 330. Gratifikasi ini berasal dari sejumlah pengusaha dan kontraktor terkait dengan hampir 80 proyek SPAM.
ADVERTISEMENT
Objek gratifikasi Anggiat di antaranya Pembuatan Resevoir Kap. 400 M3 PDAM Kabupaten Sambas dengan kontraktor pelaksana PT Alam Karya Katulistiwa (2009), Pembangunan SPAM IPA Kapasitas 20 l per detik Lengkap serta Bangunan Pendukung Lainnya IKK Sanana Kabupaten Kepulauan Sula dengan kontraktor pelaksana PT Mufen Tirta Indonesia (2013), Pekerjaan Pembangunan SPAM Mendukung AKPOL Semarang dan AAU Jogjakarta yang dilaksanakan oleh PT Bayu Surya Bakti Konstruksi (2018), dan Pembangunan SPAM Kawasan Istana Merdeka Jakarta dan Istana Cipanas Kabupaten Cianjur yang dilaksanakan oleh PT Bayu Surya Bakti Konstruksi (2018).
Nazar didakwa menerima Rp 6.711.605.000 dan USD 33.000 (setara saat itu Rp 500 juta) dari empat terpidana pemberi suap. Suap ini karena Nazar telah melakukan penunjukkan langsung serta memperlancar pencairan anggaran kegiatan proyek yang dikerjakan oleh PT WKE dan PT TSP di lingkungan Satker pada Direktorat Cipta Karya.
ADVERTISEMENT
Di antaranya proyek Pekerjaan Penanganan Tanggap Darurat SPAM Sulawesi Tengah 2018 yang berlokasi di Donggala Sulawesi Tengah dengan anggaran Rp 16,48 miliar serta Pekerjaan Pengadaan Pipa dan Accessories Kebutuhan Keadaan Darurat 2018 yang berlokasi di Kota Bekasi Jawa Barat dengan anggaran Rp 5.900.125.000.
Meina menerima suap Rp 1,42 miliar dan SGD 23.000 (setara saat itu Rp 245.468.880) dan Donny menerima Rp 920 juta. Uang yang diterima Meina dan Donny juga berasal dari empat terpidana pemberi suap.
Dari fakta-fakta persidangan hingga pertimbangan surat tuntutan dan pertimbangan putusan empat terpidana pemberi suap hingga hasil penyidikan empat tersangka penerima, terungkap ada sekitar 88 pejabat Kementerian PUPR yang (diduga) menerima uang. Level pejabat tersebut baik unsur Kasatker merangkap PPK, PPK, Direktur Jenderal, Direktur, dan pejabat lainnya.
ADVERTISEMENT
Hingga pekan terakhir April 2019, KPK telah menyita total mencapai Rp 53 miliar dari 88 orang itu. Bahkan KPK meyakini masih ada sejumlah pejabat lain di lingkungan Kementerian PUPR yang diduga menerima selain 88 orang tersebut.
Berdasarkan fakta-fakta persidangan empat terpidana pemberi suap, para pejabat Kementerian PUPR yang menerima selain empat terdakwa di antaranya Agus Ahyar selaku Direktur ‎PSPAM Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR sekitar Rp 398 juta, Sri Hartoyo selaku Dirjen Cipta Karya sebesar Rp 500 juta, Indra Kartasasmita selaku PPK SPAM Wilayah IA sebesar Rp 110 juta dan USD 20.000, Kasatker SPAM Provinsi Sulawesi Barat A Ibrahim Nawawi Rp 1,24 miliar, dan Kasatker SPAM Provinsi NTB Indra Juliraf Rp 1 miliar.
ADVERTISEMENT
Kemudian Kasatker SPAM Provinsi Kalimantan Timur sekaligus PPK Gandung Pujo Purnomo Rp 800 juta, Kasatker SPAM Sulawesi Tenggara 2015-2016 Ditjen Cipta Karya yang sekarang Kepala Bidang Cipta Karya Provinsi Sulawesi Tenggara Panca W Tolla Rp 1,05 miliar, dan staf Satuan Kerja SPAM Darurat Direktorat Jenderal Cipta Karya Dwi Wardana Rp 1,211 miliar dan USD 33.000 (setara saat itu Rp500 juta).
Selain itu, ada fakta tentang keterlibatan Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian PUPR. Di antaranya ada pengeluaran dari kas dua perusahaan Budi Suharto mencapai sekitar Rp 500 juta untuk Itjen dan pejabat Itjen guna mengamankan hasil temuan pemeriksaan Itjen.
Itjen mengetahui bahwa Kementerian PUPR sedang diawasi KPK. Atas dasar itu, Anggiat menyampaikan ke Donny bahwa ada informasi dan peringatan dari Dirjen agar 'kebiasaan-kebiasaan lama' ditinggalkan. Karenanya Donny menolak saat anak buah Budi yang bernama Jemi Paundanan mengirimkan pesan singkat via WhatsApp ke Donny pada 27 Desember 2018, bahwa Jemi ingin membawa 'rampasan perang' sebesar Rp 100 juta ke Donny.
ADVERTISEMENT
Uang Ketok Lintas DPRD
Kebiasaan lama yang kemudian ditradisikan pula yakni menyangkut permintaan dan penerimaan 'uang ketok' atau 'uang ketok palu'. Kebiasaan ini terjadi di berbagai DPRD baik tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota. Pertautannya sangat kuat dengan pemerintah daerah dan pengusaha, serta (mantan) tim sukses dan orang kepercayaan kepala daerah.
Ujung-ujungnya pelaku yang terlibat dan kemudian dijebloskan ke dalam bui mencapai belasan hingga puluhan orang, atau yang belum ditersangkakan di setiap perkara atau satu daerah. Dengan kata lain, korupsi seperti ini terjadi secara masal. Kadang kala satu perkara terhubung dengan perkara lain.
Ada banyak perkara dan pelaku yang telah terbuka ke hadapan publik. Lihat saja misalnya yang terjadi di Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Jambi, Kabupaten Lampung Tengah (Lamteng), Provinsi Lampung, Kota Malang, Provinsi Jawa Timur, dan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Dari sekian banyak perkara suap DPRD dan pemerintah daerah, Provinsi Riau boleh dibilang sebagai pembukanya. Perkaranya yakni suap pengurusan revisi peraturan daerah (perda) dua venue PON XVIII di Riau tahun 2012 serta peningkatan dan penambahan anggaran PON sebesar Rp 290 miliar dari APBN. Dalam perkara ini ada puluhan anggota DPRD Riau periode 2009-2014 yang dikirim KPK ke jeruji besi ditambah juga M Rusli Zainal selaku Gubernur Provinsi Riau periode 2008-2013 sekaligus Ketua DPP Partai Golkar Bidang Hubungan Eksekutif dan Yudikatif DPP Partai Golkar saat itu.
Istilah 'uang ketok' atau 'uang ketok palu' yang kemudian menjadi sandi bermakna uang suap untuk pengurusan pembahasan hingga pengesahan keputusan DPRD atas rancangan APBD menjadi APBD atau rancangan APBD Perubahan menjadi APBD Perubahan, pengesahan rancangan perda menjadi perda, pengesahan laporan pertanggungjawaban keuangan, dan beberapa aspek lain sehubungan dengan kewenangan DPRD.
ADVERTISEMENT
Untuk subjudul ini, penulis menghadirkan tiga contoh. Masing-masing di Provinsi Sumatera Utara (Sumut), Provinsi Jambi, dan Kabupaten Bekasi.
(a) Tujuh Objek Provinsi Sumut
Perkara suap yang melibatkan para anggota dan pimpinan DPRD di Provinsi Sumatera Utara (Sumut) memang bukan perkara pertama yang melibatkan anggota dan pimpinan DPRD yang banyak. Tapi perkara di Sumut ini merupakan perkara yang menjadi jalan pembuka informasi ke publik atas adanya istilah atau sandi 'uang ketok palu' di lingkungan DPRD.
Yang tidak boleh dilupakan adalah uang suap yang beredar dan ditransaksikan sebesar Rp 61,835 miliar kepada para anggota dan pimpinan DPRD Provinsi Sumut periode 2009-2014 dan 2014-2019. Anggota dan pimpinan periode 2014-2019 sebagiannya menjabat sebagai anggota atau pimpinan periode 2009-2014. Bahkan ada dua orang mantan anggota DPRD periode 2009-2014 yang lolos dan menjadi anggota DPR periode 2014-2019 serta satu menjadi anggota DPD periode 2014-2019.
ADVERTISEMENT
Dari unsur DPRD sudah ada 50 orang yang dijebloskan ke penjara dengan sebagiannya sudah berstatus terpidana. Uang suap tadi diterima dan berikan oleh terpidana Gatot Pujo Nugroho (divonis 4 tahun penjara) selaku plt Gubernur Sumut 2011-2013 dan Gubernur Sumut 2013-2015.
Suap yang ditransaksikan tersebut untuk tujuh objek. Masing-masing pengesahan atau persetujuan atas Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan (LPJP) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sumut Tahun Anggaran (TA) 2012, pengesahan Perubahan APBD 2012, pengesahan Perubahan APBD 2013, pengesahan APBD 2014, pengesahan Perubahan APBD 2014, pengesahan LPJP APBD Sumut TA 2014, dan pengesahan APBD 2015.
Berdasarkan fakta-fakta persidangan hingga tertuang dalam pertimbangan surat tuntutan dan pertimbangan putusan para terdakwa dan terpidana, seluruh anggota dan pimpinan DPRD atau 99 anggota DPRD menerima uang suap dari Gatot Pujo Nugroho. Jika menggunakan kalkulasi 50 orang yang sudah diproses KPK, maka ada 49 yang belum menjadi tersangka.
ADVERTISEMENT
Para saksi dari unsur pejabat dan pegawai Pemerintah Provinsi Sumut maupun DPRD, serta terdakwa maupun terpidana, memastikan permintaan 'uang ketok palu' dari DPRD kemudian diterima para personilnya memang sudah berlangsung sangat lama di DPRD Provinsi Sumut. Bahkan dari perkara ini diketahui pula bahwa 'uang ketok palu' berlaku di hampir semua DPRD di seluruh Indonesia.
"Uang ketok hal biasanya di DPRD Sumut, bahkan di seluruh Indonesia juga ada," ujar Ajib Shah. "Uang ketok adalah istilah lama," ungkap Chaidir Ritonga.
Ajib Shah merupakan ketua DPRD Sumut 2014-2015 dan ketua DPD Partai Golkar Sumut saat itu. Chaidir Ritonga merupakan wakil ketua DPRD Sumut 2009-2014 dari Fraksi Partai Golkar. Ajib dan Chaidir adalah dua terpidana penerima suap dari Gatot.
ADVERTISEMENT
Rp 8,678 Triliun Setara Rp 16,34 Miliar
Provinsi Jambi, lebih khusus DPRD tingkat provinsi dan Pemprov, rupanya tidak belajar dari pengalaman dan kejadian di Provinsi Riau dan Sumut. Bahkan, khususnya para anggota dan pimpinan DPRD Provinsi Jambi cenderung terlalu rakus.
Alasannya sederhana. Pada 2017, KPK gencar melakukan kegiatan dan sosialisasi pencegahan korupsi. Bahkan KPK melalui Tim Koordinasi Supervisi Pencegahan (Korsupgah) pada Wilayah II turun ke Provinsi Jambi. Saat pencegahan dilakukan dan Tim Korsupgah masih di Provinsi Jambi pada 2017, ternyata sudah ada permintaan dan penerimaan 'uang ketok' serta permintaan lagi.
Sebagai contoh, pada 21 November 2017 saat pelaksanaan Rapat Koordinasi dan Supervisi Pencegahan dan Penindakan Korupsi Terintegrasi yang dilakukan KPK bersama Polda Jambi, Pemprov Jambi, Kejaksaan Tinggi Jambi, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kantor Perwakilan Provinsi Jambi. Kegiatan itu berlangsung di Auditorium Rumah Dinas Gubernur Jambi.
ADVERTISEMENT
Saat itu, yang menjabat sebagai gubernur adalah Zumi Zola Zulkifli. Dalam acara hadir perwakilan DPRD, di antaranya Ketua DPRD Provinsi Jambi dari Fraksi Partai Demokrat merangkap Ketua Badan Anggaran DPRD, Cornelis Buston.
Dari KPK, hadir juga Wakil Ketua KPK, Laode Muhamad Syarif. Saat memberikan sambutan, Syarif menyampaikan dan mengingatkan agar permintaan 'uang ketok' atau uang pokok pikiran oleh DPRD harus dihentikan. Apalagi Tim Korsupgah KPK telah menerima informasi serupa sebelumnya. Nyatanya para anggota DPRD tetap ngotot. Selepas tim KPK termasuk Syarif pulang ke Jakarta, anggota dan pimpinan DPRD tetap meminta ke Zumi Zola Zulkifli agar disediakan uang ketok.
"Yang kembali ke Jambi tim penindakan akhirnya, bukan tim pencegahan lagi," tegas Syarif.
ADVERTISEMENT
Apa yang dikatakan Syarif tidak sembarang. Tim penindakan KPK memang menggelar OTT pada Selasa, 28 November 2017, di Jambi dan Jakarta. Saat operasi, tim KPK menciduk di antaranya Erwan Malik (kini terpidana, divonis 4 tahun penjara), Arfan (kini terpidana, divonis 3 tahun 6 bulan) selaku Plt Kepala Dinas PUPR Pemprov Jambi, dan Saifudin (kini terpidana, divonis 3 tahun 6 bulan) selaku Asisten Daerah III Pemprov Jambi dan Supriono (kini terpidana, divonis 6 tahun) selaku Ketua Fraksi PAN di DPRD Provinsi Jambi.
Saat itu, tim KPK menyita uang tunai Rp 4,7 miliar dalam tiga bagian. Dari tangan Supriyono sebesar Rp 400 juta yang bersandi 'undangan', dari rumah Saifudin sejumlah Rp 1,3 miliar, dan dari rumah Arfan sebesar Rp 3 miliar.
ADVERTISEMENT
Kemudian, KPK juga menjerat Zola, yang saat itu Ketua DPW PAN Provinsi Jambi, sebagai tersangka dan dibawa ke Pengadilan Tipikor Jakarta dengan delik pemberian suap dan penerimaan gratifikasi. Pemberian suap dilakukan Zola bersama Erwan, Arfan, dan Saifudin. Penerimaan gratifikasi Zola bersama Arfan dalam kapasitas jabatan Arfan selaku Kabid Bina Marga sekaligus Plt Kepala Dinas PUPR.
Kamis, 6 Desember 2018, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Zola dengan pidana penjara selama 6 tahun, pidana denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan, dan pencabutan hak politik selama 5 tahun. Majelis meyakini Zola terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan dua delik tipikor.
Pertama, menerima gratifikasi dari para kontraktor di lingkungan Pemprov Jambi kurun Februari 2016 hingga November 2017 sebesar Rp 37,477 miliar, USD 173.300 (setara saat itu Rp 2.521.994.000), SGD 100.000 (setara Rp 1.061.995.000), dan satu mobil Alphard nomor polisi D 1043 VBM.
ADVERTISEMENT
Perbuatan gratifikasi Zola terbukti dilakukan bersama dengan Firmansyah selaku bendahara Tim Sukses Pemilihan Gubernur Jambi pada 2015 merangkap asisten pribadi Zola, Asrul Pandapotan Sihotang selaku teman dekat Zola, dan Arfan.
Kedua, ‎Zola terbukti memberikan suap 'uang ketok palu' dengan total Rp 16,34 miliar ke lebih 53 anggota dan pimpinan DPRD Provinsi Jambi yang terbagi dua bagian. Pertama, Zola bersama Apif memberikan Rp 12,94 miliar untuk persetujuan APBD Tahun Anggaran 2017 sebesar Rp 4,163 triliun. Kedua, Zola bersama Erwan, Arfan, dan Saifudin memberikan lebih dari Rp 3,4 miliar untuk persetujuan APBD Tahun Anggaran 2018 sebesar Rp 4,515 triliun. Uang suap yang diberikan Zola berasal dari sebagian hasil penerimaan gratifikasi Zola.
Para penerima uang suap dari Zola dkk, di antaranya Ketua DPRD Provinsi Jambi dari Fraksi Partai Demokrat, Cornelius Buston; Wakil Ketua DPRD sekaligus Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Jambi, (alm) Zoerman Hanap; Wakil Ketua DPRD sekaligus Sekretaris DPD PDIP Provinsi Jambi, Chumadi Zaidi; Wakil Ketua DPRD sekaligus Wakil Ketua DPD Partai Gerindra Provinsi Jambi, AR Syahbandar; Wakil Ketua DPRD Fraksi Partai Demokrat sekaligus Ketua Komisi III, Zainal Abidin; dan Sekretaris Komisi III sekaligus Wakil Ketua Fraksi PDIP di DPRD Jambi, Elhelwi.
ADVERTISEMENT
Berikutnya adalah Ketua Komisi IV, Nasri Umar; anggota DPRD Fraksi Partai Demokrat, Hasani Hamid; terpidana Supriyono (divonis 6 tahun perkara sudah inkracht) selaku anggota DPRD Jambi Fraksi PAN; Nurhayati (Fraksi Partai Demokrat), Effendi Hatta (Fraksi Partai Demokrat); Rahimah (Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat); Suliyanti (Sekretaris Komisi I Fraksi Partai Demokrat); Sufardi Nurzain (Ketua Fraksi Partai Golkar); M Juber (Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar); Cekman (Ketua Fraksi Restorasi Nurani); Tadjudin Hasan (Ketua Fraksi PKB); Parlagutan Nasution (Ketua Fraksi PPP); Muhammadiyah (Ketua Fraksi Gerindra); dan anggota DPRD dari Fraksi Partai Golkar sekaligus Plt Ketua DPD Partai Golkar Kota Sungai Penuh, Gusrizal.
Zola dan KPK tidak mengajukan banding atas putusan karenanya putusannya berkekuatan hukum tetap dan Zola menjadi terpidana. KPK mengeksekusi Zola ke Lapas Sukamiskin, Bandung, pada Jumat, 14 Desember.
ADVERTISEMENT
Dua pekan dari eksekusi Zola, yakni Jumat, 28 Desember, KPK mengumumkan penetapan 12 orang anggota dan pimpinan DPRD Provinsi Jambi sebagai tersangka penerima suap. Mereka yakni Cornelis, Chumadi, Syahbandar, Zainal, Elhelwi, Sufardi, Cekman, Effendi, Tadjudin, Parlagutan, Muhammadiyah, dan Gusrizal. Selain itu, KPK juga menetapkan Direktur Utama PT Sumber Swarnusa Joe Fandy Yoesman alias Asiang sebagai tersangka pemberi suap.
Berdasarkan fakta-fakta persidangan, ada sedikit perbedaan perbuatan yang dilakukan para pimpinan DPRD, fraksi/komisi, dan anggota. Para pimpinan DPRD meminta 'uang ketok palu', menagih, melakukan pertemuan untuk membicarakan hal tersebut hingga meminta jatah proyek dan/atau menerima uang berkisar Rp 100 juta-600 juta.
Pimpinan fraksi dan komisi di DPRD mengumpulkan para anggota fraksi masing-masing untuk menentukan sikap terkait dengan pengesahan Rancangan APBD Provinsi Jambi, membahas dan menagih 'uang ketok palu', menerima uang untuk jatah fraksi berkisar Rp 400 juta-700 juta setiap fraksi dan/atau menerima uang untuk perorangan dalam kisaran Rp 100 juta, Rp 140 juta, hingga Rp 200 juta.
ADVERTISEMENT
Para anggota DPRD aktif mempertanyakan tentang 'uang ketok palu', mengikuti rapat pembahasan di fraksi masing-masing, dan/atau menerima uang dalam kisaran Rp 100 juta atau Rp 200 juta per orang.
(c) Rezeki, Wisata ke Thailand, dan RDTR Meikarta
Pada 2016, para pejabat dan personel PT Lippo Cikarang Tbk bergerak secara simultan untuk memuluskan proyek prestisius berupa kota mandiri terpadu di Kabupaten Bekasi milik PT Lippo Cikarang Tbk yang digarap anak perusahaannya PT Mahkota Sentosa Utama (MSU). PT Lippo Cikarang Tbk merupakan anak perusahaan Lippo Group.
Luas area proyek yang kemudian masyhur dengan nama proyek Meikarta mencapai 438 hektare dan berlokasi di Desa Cibatu, Kecamatan Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi. Pembangunannya dibagi menjadi 3 tahap. Tahap I dengan luas lahan 143 hektare, tahap II seluas 193,5 hektare, dan tahap III seluas 101,5 hektare.
ADVERTISEMENT
Dua di antara pejabat yang bergerak, yakni Edi Dwi Soesianto selaku Kepala Divisi Land Acquisition and Permit PT Lippo Cikarang Tbk dan Satriadi selaku karyawan PT Lippo Cikarang Tbk. Edi dan Satriadi melobi Jamaludin selaku Kepala Dinas Tata Ruang dan Pemukiman (Tarkim) Kabupaten Bekasi agar memasukkan area pembangunan proyek Meikarta ke dalam rancangan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi.
Edi dan Satriadi bertindak karena mengetahui ada rencana Pemkab melalui Dinas Tarkim sedang menyusun program terkait RDTR. Jamaludin sempat meminta saran Neneng Rahmi Nurlaili selaku Kepala Bidang Tata Ruang apakah lokasi proyek Meikarta yang tergolong kawasan industri bisa diubah menjadi lokasi permukiman dan dimasukkan dalam rancangan perubahan RDTR. Neneng Rahmi mengiyakan.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, akhir 2016, Pemkab Bekasi mengajukan usulan perubahan RDTR ke DPRD Kabupaten Bekasi untuk dilakukan pembahasan. Berikutnya, Jamaludin menerima Rp 1 miliar dari Edi dan Satriadi pada akhir 2016 dan Rp 1 miliar pada awal 2017. Dari uang tersebut, Jamaludin menyodorkan Rp 800 juta masing-masing Rp 400 juta ke Neneng Rahmi. Dari Rp 800 juta, Neneng Rahmi menyerahkan setengahnya ke Neneng Hasanah Yasin selaku Bupati Bekasi periode 2012-2017.
Belakangan, Dinas Tarkim berubah menjadi Dinas PUPR dan Jamaludin diangkat dan ditetapkan menjadi Kepala Dinas PUPR definitif sejak 5 Januari 2018. Sebelum itu, Jamaludin sempat menjabat pelaksana tugas.
Saat proses pengajuan rancangan perubahan RDTR ke DPRD masih berlangsung, Neneng Hasanah ternyata turun gelanggang dalam Pilkada Serentak 2017 sebagai calon petahana Bupati Bekasi. Dia akhirnya terpilih kembali dan ditetapkan sebagai Bupati Bekasi periode 2017-2022 pada Maret 2017.
ADVERTISEMENT
Sekitar awal tahun 2017, empat pimpinan DPRD Kabupaten Bekasi periode 2014-2019 menggelar pertemuan dengan Neneng Rahmi di Kafe Lip Kitchen di Hotel Horizon Jababeka. Pimpinan DPRD yang hadir, yakni Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bekasi dari Fraksi Partai Demokrat, Mustakim; Wakil Ketua DPRD sekaligus Plt Ketua DPRD kurun November 2016 hingga Januari 2017 dari Fraksi PDIP, Jejen Sayuti; Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bekasi dari Fraksi Partai Golkar yang kemudian menjadi Ketua DPRD sejak Januari 2017, Sunandar; dan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bekasi dari Fraksi Partai Gerindra, Daris.
Para pimpinan DPRD hadir setelah dihubungi Mustakim untuk makan malam bersama Neneng Rahmi. Neneng datang bersama Henri Lincoln selaku Sekretaris Dinas PUPR Pemkab Bekasi. Neneng datang karena diperintahkan Henri. Sejak 23 Februari 2018, Henri menjabat Sekretaris Dinas Pariwisata, Budaya, Pemuda dan Olahraga Pemkab Bekasi.
ADVERTISEMENT
Pertemuan berlangsung sebelum adanya paripurna untuk pengesahan dilakukannya pembahasan atas rancangan revisi RDTR. Karenanya saat pertemuan, para pihak membahas tentang RDTR tersebut. Dalam pertemuan, Mustakim lantas mengutarakan ke Neneng Rahmi untuk penyediaan 'rezeki' untuk empat pimpinan DPRD dan memperhatikan teman-teman Pansus guna pemulusan pembahasan dan pengesahan RDTR.
Setelah bulan berganti atau April 2017, DPRD Kabupaten Bekasi membentuk dua Panitia Khusus (Pansus) Pembahasan Draf Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) RDTR. Pansus I menangani Wilayah 1 dan 4. Pansus II menggarap Wilayah 2 dan 3. Lokasi proyek Meikarta yang ada di Cikarang Selatan masuk dalam Wilayah 1 dan 4. Jumlah personil Pansus ada 25 orang. Pansus I dan II yang berada di bawah koordinir Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bekasi, Mustakim.
ADVERTISEMENT
Pansus I (dikenal dengan nama Pansus XIX) diketuai Taih Minarno (saat itu dari Fraksi Partai Demokrat). Taih didampingi Wakil Ketua Pansus I Haryanto (Fraksi Partai Gerindra) dan Sekretaris Yudhi Darmansyah (Fraksi PDIP sekaligus Ketua Komisi I). Pansus II menggarap Wilayah 2 dan 3 dengan dipimpin Cecep Noor (Fraksi PPP). Para anggota Pansus di antaranya Khairan, Namat Hidayat, Edi Kurtubi, Suganda, Abdul Rosyid, Sarim, Nyumarno, dan Saefullah.
Masa tugas Pansus berlangsung April hungga Mei 2017. Saat masih proses pembahasan di DPRD, terjadi eksekusi penyerahan uang Rp 1 miliar dalam beberapa tahap. Masing-masing Rp 200 juta, Rp 300 juta, Rp 200 juta, dan Rp 300 juta, baik diserahkan Neneng Rahmi dan Henri maupun secara terpisah sendiri-sendiri. Seluruh uang tersebut lebih dulu bersumber dari PT Lippo Cikarang Tbk.
ADVERTISEMENT
Peruntukkannya berbeda-beda. Rp 150 juta menurut Henri diserahkan ke Jejen, sedangkan Jejen hanya mengaku menerima Rp 50 juta dari Henri. Uang Rp 50 juta ini kemudian dibagi tiga: Rp 20 juta untuk Jejen, Rp 20 juta ke Mustakim, dan Rp 10 juta ke Nyumarno. Nyumarno mengakui menerima bagian dari Jejen, sedangkan Mustakim membantah.
Kemudian sebesar Rp 50 juta untuk 'uang makan' Pansus saat kunjungan kerja ke DPRD Kota Surabaya pada 26 hingga 27 April 2017 guna studi banding membahas Perda RDTR yang sudah dimiliki Kota Surabaya. Berikutnya hampir mencapai Rp 250 juta dipergunakan untuk biaya perjalanan wisata ke Thailand selama 3 hari 2 malam kurun 29 April hingga 1 Mei 2017 yang mencakup tiket pesawat, hotel di Pattaya, dan uang saku.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Rp 200 juta pada Mei 2017 diterima Taih karena diperintahkan Mustakim. Taih kemudian meminta Yudhi Darmansyah membagikan uang tadi ke anggota, sekretaris, dan pimpinan Pansus serta sejumlah anggota DPRD yang tidak masuk Pansus, ketua fraksi, dan pimpinan DPRD.
Sedangkan, Rp 300 juta (pemberian keempat) diterima Mustakim dari Neneng Rahmi yang disebut Neneng Rahmi sebagai 'titipan'. Mustakim kemudian membagikan masing-masing Rp 75 juta ke empat pimpinan DPRD. Saat menyodorkan uang Mustakim menyebutkan ada 'titipan'. Tapi Daris mengaku hanya menerima Rp 70 juta dari Mustakim.
Cerita kunker ke Surabaya dan wisata ke Thailand punya korelasi. Taih menyebutkan ide permintaan wisata ke Thailand berasal dari Mustakim dan beberapa anggota DPRD lain. Mustakim menyebutkan bahwa biaya wisata berasal dari Henri Lincoln. Karenanya, ketika rombongan Pansus berada dalam bis menuju ke atau sepulang dari DPRD Kota Surabaya, Taih bertanya siapa yang mau ikut jalan-jalan ke Thailand.
ADVERTISEMENT
Para anggota Pansus yang ada dalam bis malah balik bertanya ke Taih, berapa biaya per orang. Taih menjawab dan minta agar dilengkapi saja paspor masing-masing. Untuk biaya, perhitungannya belakangan. Singkat cerita sepulang dari Surabaya, para anggota Pansus yang belum punya paspor atau paspornya kedaluwarsa kemudian mengurus ke Kantor Imigrasi Bekasi pada 28 April 2017.
Sehari berselang atau 29 April pagi, para pihak terbang ke Thailand untuk memulai perjalanan wisata, hingga kemudian balik ke Indonesia pada 1 Mei. Mereka yang ikut, yakni Mustakim (membawa istri dan 1 anak), Taih Minarno (membawa istri dan 3 anak), Nyumarno (membawa istri dan 2 anak), Edi Kurtubi (membawa istri dan anak), Abdul Rosid (berangkat sendiri), Suganda, Sarim Saefudin,
ADVERTISEMENT
Namat Hidayat (berangkat sendiri), Anden (berangkat sendiri), Saefullah (berangkat sendiri), Khairan, dan Haryanto (berangkat sendiri). Dalam rombongan tamasya ini, ikut serta juga lima staf dan pejabat Sekretariat DPRD.
Para pimpinan dan anggota DPRD yang ikut ada yang menerima uang saku masing-masing Rp 1 juta atau Rp 2 juta, ada juga yang tidak memperoleh uang saku. Sepulang dari Thailand, ada anggota Pansus yang ingin mengganti pembayaran harga tiket pesawat dan hotel. Ternyata, Taih menyebutkan sudah ada yang mengurusi semua biayanya.
Seluruh pimpinan DPRD di atas hingga pimpinan Pansus, sekretaris, dan anggota Pansus telah mengembalikan uang-uang yang diterima maupun uang setara harga tiket pesawat dan hotel di Thailand ke KPK. Lima staf dan pejabat Sekretariat DPRD juga telah mengembalikan uang setara harga tiket pesawat dan hotel di Thailand ke KPK.
ADVERTISEMENT
"Maksud pemberian uang dan paket wisata ke Thailand kepada anggota DPRD Kabupaten Bekasi agar pembahasan Raperda RDTR diselesaikan dalam waktu 1 bulan dan tidak ada hambatan," tegas Taih Winarno.
DPRD Kabupaten Bekasi akhirnya menggelar rapat paripurna pengesahan Rancangan Perda RDTR dan Peraturan Zona Wilayah I dan IV menjadi Perda pada Rabu, 10 Mei 2017. Bersamaan dengan itu di ruang sidang paripurna juga ditandatangani Berita Acara Persetujuan Bersama Bupati Bekasi dan DPRD Kabupaten Bekasi terhadap Raperda tentang RDTR dan Peraturan Zonasi nomor: 25/BA/172.2-DPRD/2017 disertai lampirannya. Sedangkan Perda RDTR dan Peraturan Zona Wilayah II dan III disahkan pada 14 Juli 2017.
Di April dan Mei 2017 yang sama, Edi Dwi Soesianto dan Satriadi membantu Billy Sindoro selaku Direktur Operasional Lippo Group dan Bartholomeus Toto selaku Presiden Direktur PT Lippo Cikarang, Tbk untuk mengurusi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) proyek Meikarta. IPPT merupakan salah satu syarat kelengkapan untuk pengurusan dan penerbitan IMB.
ADVERTISEMENT
Edi dan Satriadi melobi Kepala Bidang Tata Ruang Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bekasi, E. Yusup Taupik, untuk membantu pengurusan IPPT termasuk melobi Bupati Bekasi. PT Lippo Cikarang, Tbk kemudian mengajukan 143 hektare untuk pembangunan Meikarta tahap I ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) Kabupaten Bekasi. Edi dan Satriadi diantar Taupik bertemu Neneng Hasanah guna membahas pengajuan permohonan IPPT dan komitmen fee sejumlah Rp 20 miliar untuk IPPT saja.
Setelah pertemuan, PT Lippo Cikarang Tbk mengubah permohonan IPPT menjadi seluas 86,4 hektare. Neneng Hasanah selaku Bupati meneken Keputusan Bupati Bekasi Nomor: 503.2/Kep.468-DPMPTSP/2017 tentang IPPT seluas ± 846.356 M2 untuk pembangunan Komersial Area (Apartemen, Pusat Perbelanjaan, Rumah Sakit, Sekolah, Hotel, Perumahan dan Perkantoran) terletak di Desa Cibatu, Kecamatan Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi kepada PT Lippo Cikarang, Tbk.
ADVERTISEMENT
Kemudian, PT Lippo Cikarang Tbk mengeluarkan Rp 10,5 miliar. Sebesar Rp 10 miliar kemudian diserahkan Edi ke Neneng Hasanah melalui Taupik dalam lima tahap kurun Juni hingga November 2017. Sejumlah Rp 500 juta diserahkan Edi untuk Taupik pada Januari 2018.
Setelah Perda RDTR Kabupaten Bekasi disahkan dan PT Lippo Cikarang Tbk mengantongi Keputusan Bupati tentang IPPT seluas 86,4 hektare, PT MSU langsung melakukan kegiatan pembangunan gedung hingga perataan tanah dan pembuatan taman serta iklan secara masif. Padahal, sejumlah izin lain belum rampung pengurusannya oleh PT Lippo Cikarang Tbk alias belum dikantongi perusahaan.
Yang patut diingat, Perda RDTR Kabupaten Bekasi tidak bisa dilaksanakan secara serta-merta. Musababnya perlu persetujuan substantif dari Gubernur Jawa Barat. Pemkab Bekasi lantas menyurati Gubernur Jawa Barat saat itu, Ahmad Heryawan, disertai RDTR Kabupaten Bekasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Neneng Hasanah memerintahkan Henri Lincoln yang juga keponakan dari Presiden Komisaris Lippo Group saat itu, Theo L. Sambuaga, untuk membantu Neneng Rahmi mengawal pengurusan RDTR. Henri membuka jalan dengan meminta bantuan anggota DPRD Bekasi dari Fraksi PDIP, Sulaiman; dan Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Barat sekaligus Bendahara DPD PDI Jawa Barat, Waras Wasisto; guna dipertemukan dengan Iwa Karniwa selaku Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat. Belakangan, terjadi tiga kali pertemuan dengan Iwa dan disusul pemberian uang Rp 1 miliar ke Iwa melalui Sulaiman dalam tiga tahap dari Henri.
Hingga 2018, persetujuan substantif dari Gubernur Jawa Barat belum juga turun. Senyampang dengan itu, Neneng Hasanah, Billy Sindoro selaku Direktur Operasional Lippo Group dan yang bertugas mengurusi seluruh perizinan proyek Meikarta, dan Fitradjaja Purnama (konsultan perizinan proyek Meikarta) menggelar pertemuan.
ADVERTISEMENT
Pertemuan berlangsung di restoran Apartemen Axia, Cikarang pada April 2018. Salah satu isi pembicaraan, yaitu rencana pembangunan tahap II Meikarta terkait dengan RDTR untuk pengembangan 380 hektare, di luar tahap I yang sudah mengantongi IPPT 84,6 hektare.
Selain itu, Neneng Hasanah sempat ditemui Billy Sindoro; pemilik sekaligus CEO Lippo Group, James Tjahaja Riady; dan Bartholomeus Toto di rumah Neneng setelah Neneng melahirkan pada Januari 2018. Para pihak membacakan hal-hal umum tentang Bekasi dan keluarga. Selain itu, Billy juga menunjukkan gambar-gambar proyek Meikarta yang ada di telepon selulernya ke Neneng.
Kedatangan itu terjadi setelah Toto meminta Edi Dwi Soesianto agar memfasilitasi perjumpaan dengan Neneng. Edi lantas meminta bantuan E Yusup Taupik. Taupik lantas mengirimkan nomor ponsel Marfuah, sekretaris pribadi Neneng agar dihubungi Edi.
ADVERTISEMENT
Pertemuan selanjutnya antara Neneng dan Billy terjadi di rumah Jaksa Agung Muda Intelijen Kejaksaan Agung (Jamintel Kejagung) saat itu Jan S Maringka. Neneng hadir karena diajak Billy untuk makan malam.
Sebenarnya, awal yang diungkap dan dibongkar KPK bukan terkait dengan pengajuan dan pengurusan pembahasan hingga pengesahan RDTR. Saat pengumuman penetapan 9 tersangka hasil OTT yang dilakukan di Bekasi dan Surabaya pada Minggu, 14 Oktober 2018, KPK menyebutkan transaksi suap terkait dengan pengurusan izin-izin proyek Meikarta.
KPK telah membawa 9 pengadilan dan disidangkan di Pengadilan Tipikor Bandung. Jumlah ini terbagi dua bagian. Empat pemberi suap, yakni Direktur Operasional Lippo Group, Billy Sindoro (divonis 3 tahun 6 bulan penjara); serta tiga konsultan perizinan proyek Meikarta, Fitradjaja Purnama (divonis 3 tahun), Henry Jasmen P. Sitohang (divonis 3 tahun), dan Taryudi (divonis 3 tahun).
ADVERTISEMENT
Lima penerima suap adalah Neneng Hasanah Yasin (divonis 6 tahun dan pencabutan hak politik selama 5 tahun), Jamaludin (divonis 4 tahun 6 bulan), Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi Sahat Maju Banjarnahor (divonis 4 tahun 6 bulan), Kepala DPM-PTSP Pemkab Bekasi Dewi Tisnawati (divonis 4 tahun 6 bulan), dan Neneng Rahmi (divonis 4 tahun 6 bulan).
Billy, Fitra, Henry Jasmen, dan Taryudi terbukti bersama-sama Bartholomeus Toto (belum tersangka), Edi Dwi Soesianto (belum tersangka), Satriadi (belum tersangka), dan PT Lippo Cikarang Tbk (belum tersangka) melalui PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) terbukti memberikan suap dengan total Rp 16.182.020.000. Neneng Hasanah terbukti menerima Rp 10,83 miliar dan SGD 90.000, Jamaludin Rp 1,2 miliar, Dewi Rp 1 miliar dan SGD 90.000, Sahat Rp 952,02 juta, dan Neneng Rahmi Rp 700 juta.
ADVERTISEMENT
Dari total suap yang diberikan tadi, juga diterima Daryanto (belum tersangka) selaku Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemkab Bekasi sejumlah Rp 500 Juta, Tina Karini Suciati Santoso (belum tersangka) selaku Kepala Bidang Bangunan Umum Dinas PUPR Pemkab Bekasi Rp 700 juta, E. Yusup Taupik (belum tersangka) Rp 500 juta, Iwa Karniwa (belum tersangka) Rp 1 miliar, dan Yani Firman (belum tersangka) selaku Kepala Seksi Pemanfaatan Ruang pada Bidang Penataan Ruang Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang (BMPR) Provinsi Jawa Barat SGD 90.000.
Total suap yang diserahkan itu belum termasuk hitungan angka total Rp 1 miliar yang diserahkan ke DPRD termasuk yang terpakai untuk biaya wisata ke Thailand.
Seluruh uang suap yang ditransaksikan terbukti untuk pemulusan dan pengurusan IPPT; RDTR; rekomendasi berupa site plan, block plan, dan saran teknis Izin Mendirikan Bangunan (IMB); rekomendasi pemasangan alat proteksi pemadam kebakaran; rekomendasi lingkungan hidup; dan penerbitan IMB proyek Meikarta.
ADVERTISEMENT
Hadiah Ulang Tahun hingga Persentase Fee
Kalau kita melihat dan menyimak tulisan di atas, ada uang suap yang diberikan atau diteruskan sebagai tunjangan hari raya (THR). Pemberian suap untuk THR memang sudah sering terjadi dan selalu berulang setiap tahunnya, dengan melihat berbagai perkara yang ditangani penegak hukum khususnya KPK.
THR dan/atau tunjangan tahun baru bahkan dibalut sedemikian rupa menjadi modus transaksi suap-menyuap atau pemerasan dalam jabatan, atau juga gratifikasi. Penulis pernah membuat tulisan yang sama di user story Kumparancom dengan judul 'Tersungkur Suap Modus THR‎'.
Kebiasaan lama lainnya yang berlaku umum kemudian juga menjadi tradisi adalah pemberian hadiah ulang tahun. Pemberian seperti ini terkoneksi pada delik suap atau gratifikasi maupun delik penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri dengan berujung kerugian negara. Ada satu contoh terbaru bisa dihadirkan ke pembaca.
ADVERTISEMENT
Bupati Kepulauan Talaud, Sulawesi Tengah (Sulut), sekaligus Ketua DPC Partai Hanura Kabupaten Talaud (kini dipecat), Sri Wahyumi Maria Manalip. Perempuan yang karib disapa Yumi ini ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka penerima suap lebih Rp 513 juta dalam bentuk barang mewah dan uang tunai dari pengusaha bernama Bernard Hanafi Kalalo. Penerimaan suap Yumi dilakukan bersama tersangka penerima Benhur Lalenoh (tim sukses Yumi saat pilkada yang juga seorang pengusaha).
Suap diduga terkait dengan dua proyek rehabilitasi dan revitalisasi Pasar Lirung dan Pasar Beo di Kabupaten Talaud tahun anggaran 2019. Barang mewah yang diterima Yumi yakni tas Chanel senilai Rpp 97,3 juta, tas Balenciaga senilai Rp 32,9 juta, jam Rolex senilai Rp 224,5 juta, anting berlian Adelle seharga Rp 32,07 juta, dan cincin berlian Adelle senilai Rp 76,9 juta.
ADVERTISEMENT
Barang-barang mewah tersebut diperuntukkan sebagai hadiah ulang tahun Yumi yang jatuh pada 8 Mei. Yumi, Benhur, dan Bernard lebih dulu dicokok KPK lewat OTT pada Senin, 29 April hingga Selasa, 30 April 2019.
Kebiasaan lama yang berlangsung lama dan masih terus terjadi pula yakni permintaan dan penyediaan persentase fee di lingkungan perusahaan swasta dan perusahaan BUMN serta yang diberlakukan para kepala daerah. Persentase fee secara khusus lebih banyak berlaku pada pengadaan barang dan/atau jasa.
Dalam proyek pengadaan dengan nilai proyek ratusan miliar hingga triliunan rupiah yang juga berujung kerugian negara, jatah fee yang harus disediakan mencapai 18 persen dari nilai proyek untuk BUMN dan mencapai 20 persen untuk swasta. Contoh ini ada dalam perkara suap dan korupsi dengan kerugian negara terkait pengurusan anggaran dan proyek pengadaan Wisma Atlet Sea Games XXVI‎, Jakabaring Palembang, Sumatera Selatan 2011, serta proyek pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan dan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor, Jawa Barat tahun anggaran 2010-2012.
ADVERTISEMENT
Ada juga permintaan dan/atau penerimaan fee berkisar 5 hingga 7 persen serta 1 persen jika terkait dengan pembahasan anggaran di DPR. Salah satu contoh yang bisa dilihat, yaitu dalam perkara suap pengurusan pemenangan proyek pengadaan drone dan satelit monitoring Bakamla yang bersumber dari APBN Perubahan 2016 serta pengajuan, pembahasan, dan pengesahan anggaran dua proyek tersebut di DPR.
Berikutnya terkait persentase marketing fee atau fee agency. Salah satu contohnya, perkara suap pembayaran agency penjualan dua kapal perang PT PAL Indonesia jenis Stategic Sealift Vessel (SSV) ke The Department of National Defense of The Philippines atau Kementerian Pertahanan Filipina. Penjualan dua kapal perang tersebut dengan nilai kontrak USD 86,96 juta (setara Rp 1,16 triliun). Fee agency sebagai cashback dipatok sebesar sebesar 1,25 persen atau USD 1,087 juta (setara Rp 14,51 miliar).
ADVERTISEMENT
Persentase fee yang sering kali diberlakukan para kepala daerah untuk pengadaan barang dan/jasa di lingkungan pemerintah daerah dan berasal dari para pengusaha atau kontraktor sangat variatif. Fakta ini bisa dilihat dari berbagai perkara (kasus) yang ditangani KPK.
Para kepala daerah yang sudah menjadi tersangka, terdakwa, terpidana maupun mantan terpidana mematok dan menerima fee di antaranya 2,5 persen, 5 persen, 7 persen, 7,5 persen, 10 persen, 11 persen, 13 persen, 15 persen, 17 persen, hingga 20 persen. Penentuan besaran persentase fee tergantung proyek apa yang ditender dan dimenangkan kontraktor serta nilai anggarannya.
Contoh pelaku kepala daerah di antaranya Sri Wahyumi Maria Manalip; Zainudin Hasan selaku Bupati Lampung Selatan, Provinsi Lampung; Sunjaya Purwadi Sastra selaku Bupati Cirebon, Provinsi Jawa Barat; Mustafa selaku Bupati Lampung Tengah, Provinsi Lampung; Pangonal Harahap selaku Bupati Labuhanbatu, Sumatera Utara; Rita Widyasari selaku Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur; Eddy Rumpoko selaku Wali Kota Batu, Provinsi Jawa Timur; dan M. Samanhudi Anwar selaku Wali Kota Blitar, Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Zumi Zola Zulkifli selaku Gubernur Jambi; Ridwan Mukti selaku Gubernur Bengkulu; Abdul Latif selaku Bupati Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan; Marianus Sae selaku Bupati Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sekaligus calon gubernur NTT dalam Pilkada Serentak 2018; Adriatma Dwi Putra selaku Wali Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dan Asrun selaku Wali Kota Kendari dan calon gubernur Sultra dalam Pilkada Serentak 2018; Ratu Atut Chosiyah selaku Gubernur Banten; dan Yan Anton Ferdian selaku Bupati Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.
Dari semua persentase tersebut, KPK menemukan dan menyimpulkan bahwa 10 persen menjadi norma umum yang berlaku dan diberlakukan kepala daerah dan disepakati bersama kontraktor dalam setiap proyek di lingkungan pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
"10 persen sepertinya norma umum yang disepakati dari setiap proyek-proyek anggaran pemerintah (daerah)," tegas Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta pada Minggu, 17 September 2017.
Tradisi dan Uang Suap di Negara Lain
Sebenarnya uang suap dan pemberiannya dengan melandaskan pada tradisi atau kebiasaan yang berlangsung lama tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Belakangan, tradisi atau kebiasaan tersebut di negara masing-masing menjadi sandi komunikasi korupsi. Ihwal ini pernah diungkap dan dibahas oleh David Henig (University of Kent) dan Nicolette Makovicky (University of Oxford) pada 2013 dalam dua kesempatan.
Satu, Henig dan Makovicky membuat tulisan dengan judul 'Stinking Fish and Coffee: The Language of Corruption' dan diulas di BBC Magazine London pada 11 Juli 2013. Silakan akses laman Carp and coffee: The language of bribes. Dua, materi tersebut kemudian disampaikan Henig dan Makovicky dengan judul 'Stinking Fish and 'Small' Coffees 2.0' dalam "Languages of Informality" Workshop III pada 26 Oktober 2013 di Canterbury, University of Kent, Inggris.
ADVERTISEMENT
Tulisan Henig dan Makovicky juga diungkap KPK saat wawancara khusus dengan penulis yang kemudian tertuang dalam buku karya penulis 'Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi'.
Beberapa contoh berikut penulis hadirkan. Di Turki, ada tradisi menyantap sup (çorba) setelah acara minum-minum. Karenanya, 'çorba' dipergunakan untuk meminta uang suap dengan sandi 'çorba parasi' yang bermakna uang untuk sup.
Di Kenya, Afghanistan, dan Iran ada tradisi minum teh. Minum teh adalah bagian dari kegiatan sosial di Afghanistan dan Iran. Uang suap kemudian di Kenya disebut dengan 'chai ya wazee’ atau teh untuk orang tua, di Afghanistan dan Iran dipakai 'poul-e-chai' yang berarti uang untuk teh.
Di Inggris, ada sandi 'cash for question' atau uang untuk pertanyaan dan 'under the table' atau di bawah meja untuk kebiasaan transaksi ilegal. Istilah di bawah meja juga ada di Prancis 'dessous de table' dan Swedia 'pengar under bordet'.
ADVERTISEMENT
Di Hongaria ada 'kenepenz' yang berarti meminyaki uang. 'Kenepenz' diberikan ke para pejabat untuk melumasi atau memuluskan roda birokrasi. Di negara ini juga ada kebiasaan sejak 2010 untuk penggunaan 'kotak Nokia' sebagai ukuran untuk uang suap. Satu 'kotak Nokia' berarti 15 juta Forint yang setara USD 65.000.
Di Azerbaijan, para pejabat akan minta uang suap dengan kata 'hurmat' atau 'hurmatimi ela' yang bermakna hormati saya. Di China (Tiongkok), pejabat pemerintah dan petugas kesehatan mengharapkan 'yidian xinyi' atau ungkapan syukur kecil-kecilan' atas layanan yang mereka berikan.
Membendung Tradisi Jadi Pidana
Berbagai contoh kasus atau perkara dan pelaku yang terlibat menunjukkan betapa tradisi atau kebiasaan lama yang berlaku di masyarakat khususnya masyarakat Indonesia menjadi pintu masuk terjadi tindak pidana korupsi. Padahal, tradisi dan kebiasaan lama mestinya dijalankan dalam aspek yang positif, bukan malah dipergunakan sebagai upaya atau sarana atau modus memuluskan aksi. Karenanya, membendung tradisi atau kebiasaan lama menjadi pidana menjadi pilihan yang harus diambil dan dilakukan.
ADVERTISEMENT
Tradisi atau kebiasaan lama yang ada di masyarakat Indonesia dan ditambah potensi terjadinya korupsi lebih khusus suap atau gratifikasi pun menjadi perhatian KPK. Setiap tahun, KPK mengeluarkan surat imbauan (edaran) pencegahan gratifikasi menjelang hari raya keagamaan maupun tahun baru.
Salah satu isi dari surat tersebut tentang larangan PNS/Aparat Sipil Negara (ASN) dan penyelenggara negara meminta dan menerima parcel atau tunjangan hari raya (THR) atau sebutan lainnya dari masyarakat, perusahaan, dan/atau PNS/ASN dan penyelenggara negara lainnya. Alasannya sederhana, hal tersebut merupakan perbuatan terlarang dan berimplikasi pada tindak pidana korupsi.
Bahkan KPK membuat panduan penerimaan gratifikasi yang di dalamnya termaktub ihwal kebiasaan lama atau tradisi di masyarakat Indonesia semisal perkawinan atau acara keagamaan lainnya. Batas tolelir yang bisa diterima sesuai kebiasaan dan tradisi yang berlaku yang jika diuangkan nominalnya kurang dari Rp 1 juta.
ADVERTISEMENT
Jika masih ada PNS/ASN dan penyelenggara negara yang menerima gratifikasi dalam konteks tersebut, maka berlaku ketentuan umum sebagaimana penerimaan gratifikasi lainnya. Ketentuan tersebut yakni menyampaikan laporan ke KPK atau melalui Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) di instansi/kementerian/lembaga masing-masing selama 30 hari terhitung gratifikasi diterima. Jika tidak dilaporkan, maka penerimanya bisa dikenakan pidana.
Selain upaya yang dilakukan KPK tersebut, maka pihak swasta atau pengusaha serta PNS/ASN dan penyelenggara negara harus mengingat beberapa hal. Satu, masyarakat dan pihak swasta atau pengusaha harus menghindarkan niat dan keinginan memberikan sesuatu baik barang maupun uang atau janji ke PNS/ASN dan penyelenggara negara.
Dua, PNS/ASN dan penyelenggara negara berhenti meminta dan menolak pemberian dalam bentuk apapun masyarakat dan pihak swasta atau pengusaha.
ADVERTISEMENT
Tiga, masyarakat dan pihak swasta atau pengusaha serta PNS/ASN dan penyelenggara negara harus mengetahui dan memahami apakah ada atau tidak kaitan atau hubungan permintaan dan pemberian tersebut dengan kewenangan yang ada atau melekat pada jabatan atau bertentangan dengan kewajiban PNS/ASN dan penyelenggara negara.
Empat, andai pun PNS/ASN dan penyelenggara negara masih menerima atau mengetahui tidak ada kaitan atau hubungan permintaan dan pemberian tersebut dengan kewenangan yang ada atau melekat pada jabatan atau tidak bertentangan dengan kewajibannya, maka sesegera mungkin melaporkannya ke KPK maupun melalui UPG.
"Gratifikasi merupakan akar dari korupsi. Gratifikasi bisa jadi permulaan dari korupsi oleh pejabat negara yang lebih besar," tegas Wakil Ketua KPK periode 2011-2015 Zulkarnain pada Rabu, 1 Oktober 2014.
ADVERTISEMENT
Aspek lain yang perlu diperhatikan untuk membendung tradisi dan kebiasaan lama menjadi korupsi adalah penguatan dan memaksimalkan kapasitas serta peningkatan independensi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah serta personil Sistem Pengawasan Internal (SPI) di perusahaan swasta dan BUMN.
Kemudian Kementerian, lembaga, pemerintah daerah, perusahaan swasta, dan BUMN perlu membuat pedoman internal tentang pencegahan korupsi dan menjalankannya secara konsisten serta menerapkan sistem anti-fraud (fraud prevention) dan manajemen anti-suap. Jika perusahaan swasta dan BUMN tidak menjalankan pencegahan korupsi dan korupsi masih terjadi, maka pidana korporasi telah menanti.
Khusus juga untuk legislatif, maka upaya membendung tradisi dan kebiasaan lama menjadi korupsi perlu kiranya dibentuk badan pengawas khusus yang independen. Badan ini bertugas untuk mengawasi DPR dan DPRD serta mencakup MPR dan DPD.
ADVERTISEMENT
Apalagi 'pasien' KPK paling banyak nomor dua adalah politisi atau DPR dan DPRD. Untuk pembentukan badan ini kiranya MPR, DPR, DPD, dan DPD mesti terbuka dan legowo.
Mekanisme pembentukannya diserahkan sepenuhnya kepada legislatif. Tapi legislatif pun harus terbuka dengan tetap melibatkan pemerintah atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau lembaga penegak hukum terkait.
Pencegahan korupsi di level legislatif memang keniscayaan. Apalagi Indonesia melalui salah satu pimpinan DPR periode 2014-2019 pernah menjadi Presiden Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC) periode 2015-2018. Bukankah semestinya lembaga legislatif di Indonesia memberikan contoh terbaik bagi parlemen-parlemen dunia?
Secara umum yang harus diingat dan digarisbawahi adalah semua pihak harus bergandengan tangan dengan KPK melakukan segala upaya pencegahan korupsi tidak semata terbatas pada potensi adanya delik suap atau gratifikasi.
ADVERTISEMENT
Segala saran, masukan, dan rekomendasi dari KPK serta rencana aksi yang telah disusun bersama harus konsisten dijalankan secara menyeluruh dan simultan. Musababnya jika mengharapkan pada KPK semata, maka upaya membendung korupsi hingga meminimalisir dan membumihanguskan korupsi di negeri ini mungkin akan sia-sia.[]