Konten dari Pengguna

Runtuhnya Argumentasi Konspirasi Perkara Siti Fadilah

Jurnalis | Penulis Buku 'Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi' | Tim Penulis Buku 'Serpihan Kisah Jurnalis Tiang Bendera'
31 Mei 2020 6:22 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
80
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari User Dinonaktifkan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Siti Fadilah usai diperiksa KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Siti Fadilah usai diperiksa KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Penyebaran pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dan belum ditemukan vaksinnya memunculkan satu nama di Indonesia. Nama itu adalah Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan periode 2004-2009 era Kabinet Indonesia Bersatu. Nama Fadilah muncul setelah pernyataannya dari balik Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Pondok Bambu, Jakarta Timur diberitakan berbagai media massa. Sejumlah tokoh pun mendorong pemerintah agar membebaskannya dari dalam penjara. Petisi pun digalang untuk upaya itu.
ADVERTISEMENT
Suara Fadilah dari balik jeruji saat masa pandemi Covid-19 termasuk surat terbuka ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) digambarkan secara umum oleh Bisnis.com melalui artikel 'Teori Konspirasi Siti Fadilah, Bill Gates, dan Surat pada Jokowi' yang dilansir pada Senin malam, 27 April 2020.
Lihat tautan: https://m.bisnis.com/kabar24/read/20200427/15/1233498/teori-konspirasi-siti-fadilah-bill-gates-dan-surat-pada-jokowi#.
Ada beberapa alasan yang disodorkan sejumlah pihak untuk pembebasan Fadilah. Di antaranya yakni Fadilah telah berusia lanjut, memiliki jasa luar biasa saat penanganan wabah virus flu burung (avian influenza) tahun 2005 hingga sekitar tahun 2008, dapat membantu pemerintah dalam penanganan dan penanggulangan Covid-19, hingga perkara yang membawa Fadilah ke jeruji besi sebagai konspirasi.
Tudingan persekongkolan disodorkan dengan menggunakan argumentasi, Fadilah vs World Health Organization (WHO) serta didasarkan buku yang pernah dirilis Fadilah. Buku tersebut berjudul 'Saatnya Dunia Berubah: Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung' dalam versi bahasa Inggris (2007) dan bahasa Indonesia (2008). Dalam bukunya, Fadilah membongkar konspirasi Barat tentang sampel virus flu burung dan komersialisasi vaksin. Menurut Fadilah, pihak Barat sengaja membuat virus flu burung sebagai senjata biologi. Buku berbahasa Inggris berhasil ditarik dari pasar, tapi versi bahasa Indonesia masih tetap bertahan bahkan hingga kini. Karena Fadilah tidak mau berkompromi dengan pihak Barat - WHO - maka Fadilah diperkarakan hingga berujung narapidana di dalam lapas.
ADVERTISEMENT
Tidak sampai di situ. Mentalis sekaligus YouTuber dan influencer Deddy Corbuzier pun ikut turun gelanggang dengan menemui dan mewawancarai Fadilah di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, di sela Fadilah menjalani pembantaran perawatan. Wawancara bisa terjadi atas permintaan Fadilah. Hasil perbincangan Fadilah bersama Deddy kemudian diunggah Deddy di akun Youtube ‘Deddy Corbuzier’ pada Kamis, 21 Mei 2020.
Wawancara dengan durasi 25 menit 47 detik diberi judul 'SITI FADILAH, SEBUAH KONSPIRASI - SAYA DIKORBANKAN (EXCLUSIVE)'. Deddy menuliskan narasi singkat untuk video tersebut. Di antara isinya, "Beliau dituduh korupsi (tidak terbukti) dan dijebloskan dalam penjara hingga saat ini."
Penulis menyaksikan video tersebut pada Selasa malam, 26 Mei 2020. Potongan video dengan caption serupa juga diunggah Deddy di tanggal yang sama lewat akun Instagram miliknya ‘@mastercorbuzier’.
ADVERTISEMENT
Wawancara Deddy dengan Fadilah mencakup beragam isu. Di antaranya keberhasilan penanganan virus flu burung di masa Fadilah menjabat sebagai menkes, perlawanan Fadilah terhadap WHO, polemik buku 'Saatnya Dunia Berubah: Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung' yang diterbitkan Fadilah, konspirasi komersialisasi vaksin, pandangan Fadilah tentang Covid-19 dan penanganannya, kondisi kesehatan Fadilah, hingga penegakan hukum yang dijalankan oleh penegak hukum di Indonesia, perkara korupsi yang membawa Fadilah menjadi narapidana, pengalamannya di balik jeruji besi, dan masa pidana yang dijalani.
Di awal wawancara, Deddy memperkenalkan Fadilah sebagai mantan menkes yang pernah berjuang melawan virus flu burung. Deddy juga mengatakan, dia telah membaca informasi (Deddy tidak menyebutkan informasi dari mana). Dari informasi itu, Deddy menarik kesimpulan bahwa Fadilah 'sebagai seorang pahlawan yang berhasil menghilangkan flu burung di Indonesia dan dunia. Itu benar Bu?'
ADVERTISEMENT
Menjawab pertanyaan Deddy berdasarkan kesimpulan Deddy, Fadilah mengatakan, "jadi membatalkan penetapan pandemi flu burung oleh WHO.'
Materi awal yang disodorkan Deddy sebagai bahan pertanyaan yakni Fadilah dipenjara karena dituduh melakukan korupsi sebesar Rp 6 miliar atau menerima sekitar Rp 1,3 miliar.
Karenanya dalam tulisan ini, penulis menukilkan ihwal perkara korupsi yang membawa Fadilah menjadi narapidana disertai irisannya dengan 'perlawanan' Fadilah terhadap WHO sebagaimana diceritakan Fadilah kepada Deddy. Fadilah menuturkan, dia tidak melakukan korupsi seperti yang divonis oleh majelis hakim maupun disangkakan atau didakwakan atau dituntut sebelumnya. Fadilah mengklaim, dia dituduh melakukan korupsi tapi tidak menerima sepeserpun uang hasil korupsi. Fadilah menyebutkan, ada mantan bawahannya yang merupakan eselon II di Departemen Kesehatan (sekarang Kementerian Kesehatan) telah mengembalikan uang kerugian negara sekitar Rp 6 miliar tapi tidak dihukum.
ADVERTISEMENT
"Saya itu tidak menerima sepeser pun. Ya dituduh. Yang Rp 6 miliar itu adalah kerugian negara yang dilakukan oleh eselon II saya. Dan eselon II saya sudah membayarlah dan dia tidak dihukum. Saya dituduh membantu dia, saya dihukum. Dan itu nggak ada bukti, nggak ada saksi," kilah Fadilah.
Deddy menyela pernyataan Fadilah dengan menanyakan ihwal saat di pengadilan. Fadilah mengklaim, saat perkara bergulir di pengadilan ternyata Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menangani perkaranya menyatakan JPU mengabaikan fakta persidangan. Hakim pun, menurut Fadilah, menyebutkan bahwa hakim memutuskan perkara Fadilah tanpa bukti dan hakim tidak perlu bukti.
"Dan ibu akhirnya harus dipenjara?," tanya Deddy. "Hu um," jawab Fadilah sambil mengangguk. "Menurut Ibu?," tanya Deddy lagi. "Sangat tidak fair," kata Fadilah.
Siti Fadilah Supari dan Deddy Corbuzier saat wawancara di RSAPD Gatot Soebroto. Foto: YouTube/Deddy Corbuzier.
Deddy melanjutkan, kalau memang menurut Fadilah tidak terbukti maka kenapa Fadilah bisa dipenjara? Fadilah lantas menyinggung kedaulatan hukum di Indonesia. Menurut Fadilah, penegak hukum dipakai oleh pihak tertentu untuk memperkarakan Fadilah karena Fadilah tidak bisa diatur.
ADVERTISEMENT
"Ya itu, negara kita ini nampaknya tidak berdaulat full, tidak full berdaulat. Nyatanya, saya yang rasain sendiri ya, bahwa lembaga hukum kadang-kadang masih dipakai untuk suatu kekuatan tertentu. Bisa untuk mengatur orang. Orang yang tidak mau diatur kemudian dicari-cari salahnya. Enggak ada salahnya dibikinin perkara. Mungkin karena saya dikatakan enggak bisa diatur. Oleh siapa saya enggak tahu," tuding Fadilah.
Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Kesehatan dan Kesejahteraan Rakyat ini melanjutkan, ada faktor lain dia dipenjara. Faktor itu yakni sikap Fadilah membela rakyat Indonesia saat terjadi wabah virus flu burung. WHO menyebut akan menetapkan virus flu burung sebagai pandemi tapi penetapan itu gagal pada tahun 2006 karena upaya Fadilah. Di masa Fadilah menjadi menkes, WHO berani menyebutkan virus flu burung menular dari manusia ke manusia. Tapi Fadilah mengklaim, dia berhasil membuktikan secara virologi bahwa virus flu burung tidak menular dari manusia ke manusia.
ADVERTISEMENT
Fadilah juga mengatakan, dia berhasil membongkar konspirasi WHO termasuk komersialisasi vaksin virus, Indonesia bisa menang, hingga Fadilah berhasil mereformasi WHO. Reformasi itu sehubungan dengan beberapa hal. Di antaranya, sebelumnya ada ketidakadilan antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang seperti Indonesia kemudian Fadilah mereformasi menjadi negara-negara maju memiliki kedudukan yang sama dengan negara-negara berkembang. Berikutnya reformasi WHO pada aspek transparansi pengambilan sampel virus dan vaksin.
Menurut dia, penolakannya atas vaksin virus flu burung yang digembar-gemborkan WHO karena Fadilah berhasil membuktikan penanganan virus flu burung tidak perlu vaksin dan virus ini dengan sampel dari Indonesia tidak menular dari manusia ke manusia. Fadilah juga menyampaikan protes ke PBB. Setelah itu, virus flu burung berhenti. Karenanya Fadilah menyebutkan, keberhasilannya menghentikan virus flu burung bukan dengan vaksin tapi dengan langkah atau kebijakan atau keputusan politik.
ADVERTISEMENT
Deddy menimpali, dengan langkah politik Fadilah berarti virus flu burung bisa diatur kapan berhentinya. Fadilah membantah, tidak. WHO, ujar Fadilah, merencanakan ada pandemi virus flu burung. Padahal salah satu ukuran pandemi adalah penularan dari manusia ke manusia. Ketika ditetapkan sebagai pandemi maka ada vaksin yang dibuat, diproduksi, dan didistribusikan ke berbagai negara termasuk Indonesia untuk dibeli. Kalau Indonesia membeli vaksin flu burung, harganya akan mahal dan Indonesia akan mengutang lagi dari luar negeri untuk membeli vaksin.
Sekali lagi, Fadilah berhasil membuktikan virus flu burung tidak ditularkan dari manusia ke manusia, menggagalkan rencana WHO menetapkan virus flu burung sebagai pandemi, penghentian penyebaran virus tanpa vaksin, dan akhirnya tidak ada lagi virus flu burung hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Fadilah mengatakan, sikapnya membela rakyat Indonesia terkait dengan virus flu burung hingga 'perlawanan' terhadap WHO membuat Fadilah dipenjara. Tapi Fadilah bilang tidak menyesal dengan sikapnya melindungi "rakyat saya." Apalagi Fadilah berbuat tidak mendapatkan apa-apa. Menurut dia bukan rakyat Indonesia saja yang terlindungi, karena ternyata pandemi virus flu burung gagal pada tahun 2006 dan seluruh dunia terlindungi.
"Kalau dihitung berapa ribu triliun. Sekarang hitung aja dengan Corona berapa ribu triliun seluruh dunia, apalagi virus flu burung. Lah yang saya terkesan sampai sekarang, lah (virus flu burung) tidak menular kok WHO kok berani bilang menular," kata Fadilah.
"Pada saat itu Bu. Dan ibu membongkar," kata Deddy. "Membongkar," timpal Fadilah. "Hasilnya?," tanya Deddy. "Menang kita. Karena saya membuktikan secara virologi, WHO mendiagnosis secara public air atau epidemiologi," jawab Fadilah.
ADVERTISEMENT
"Hasilnya menang kita?" tanya Deddy mencari jawaban penegasan. "Iya," jawab Fadilah. "Tapi ibunya?" tanya Deddy lagi. "Dipenjara. Ironis ya? Ironis. Yah itulah dunia. Yang penting adalah niat kita dan apa yang terjadi itu ya tidak pernah lepas dari kehendak Allah," tutur Fadilah.
Deddy sempat menyampaikan pertanyaan kenapa Fadilah masih bicara tentang banyak hal mulai dari perkaranya, tindakannya Fadilah saat menangani virus flu burung, perlawanannya terhadap WHO sebelumnya, hingga pandangan Fadilah tentang pandemi Covid-19. Ditambah lagi ujar Deddy, dia sempat membaca berita yang dirilis sebuah media bahwa Fadilah saat ini dilindungi sniper a.k.a penembak jitu. Informasi yang disampaikan Deddy sempat membuat Fadilah tertegun baru sembari mengutarakan keheranannya. Dia lantas menjawab pertanyaan Deddy.
ADVERTISEMENT
"Saya nggak ngomong tentang itu. Saya ngomong tentang ilmu yang orang banyak harus tahu. Jangan sampai rakyat ini nggak tahu sama sekali. Jadi saya hanya menyampaikan suatu ilmu pengetahuan dan itu menurut saya wajib," ucap Fadilah.
Dia mengklaim, keberhasilannya mengalahkan sebuah 'negara adidaya' saat terjadinya virus flu burung sebenarnya merupakan hal yang mustahil. Sembari tertawa kecil Fadilah berujar, sampai saat ini tidak ada seseorang pun yang berhasil menggagalkan pandemi selain Fadilah.
"Pada saat Ibu pertama kali dijebloskan ke penjara apa Ibu tidak marah, tidak emosi, kalau Ibu merasa tidak bersalah pada saat itu?" tanya Deddy.
"Ya pastilah itu. Itu manusiawi. Tapi saya tahu, musuh saya besar jadi saya kalah. Saya bukan salah, tapi saya kalah. Tapi saya pernah menang," tegas Fadilah.
ADVERTISEMENT
Deddy lantas tersenyum sembari bertepuk tangan. Fadilah lantas menyampaikan kembali pernyataannya kepada jurnalis senior Karni Ilyas saat wawancara seperti yang dilakukan Deddy, jauh sebelum ada program talk show Indonesia Lawyers Club (ILC).
"Eeeh, lebih baik jadi harimau sehari daripada jadi kambing seumur hidup," tutur Fadilah. "Dan Ibu pernah jadi harimau," seloroh Deddy. "He e," kata Fadilah.
Deddy mengonfirmasi Fadilah berapa lama lagi Fadilah menjalani masa pidana penjara. Fadilah menyampaikan, masa pidananya akan selesai pada Oktober 2020 atau empat bulan lagi. Nah, di Lapas Pondok Bambu yang ditempati Fadilah ada narapidana yang positif Covid-19. Fadilah lantas menyinggung usianya yang sudah berisiko tinggi, mengidap banyak penyakit, dan pembebasan narapidana korupsi seperti Fadilah saat pandemi Covid-19 yang terhalang pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
ADVERTISEMENT
"Saya ini kan high risk (beresiko tinggi), umur sudah 70 tahun, mau 71. Saya punya penyakit yang bermacam-macam, ada asma, ada hipertensi yang terkontrol kan obat-obatan, ada jantung yang iramanya nggak benar. Kok saya tidak dirumahkan? Si embah-embah yang, saya bilang embah padahal dia lebih muda dari saya, itu semua dipulangkan, dirumahkan," keluh Fadilah.
Fadilah menuding, PP Nomor 99 Tahun 2012 berlawanan dengan hak asasi manusia. Berdasarkan PP ini, narapidana perkara luar biasa seperti korupsi, narkoba, dan terorisme tidak mendapatkan remisi sehari pun. Padahal di seluruh dunia, setiap narapidana apapun perkaranya bisa mendapatkan remisi. Dengan pertimbangan usia, penyakit yang diderita, penyebaran Covid-19 di Lapas Pondok Bambu, dan masa pidana Fadilah yang tinggal empat bulan lagi, menurut Fadilah, harusnya dia dibebaskan atau dirumahkan.
ADVERTISEMENT
"Nah sekarang kan tinggal empat bulan. PP 99 kan tidak dibuat pada keadaan pandemi. PP 99 dibuat dalam keadaan normal kenapa juga diberlakukan saat pandemi? Seharusnya nggak dong. Pandemi itu adalah darurat, kegawatan kesehatan masyarakat. Nggak boleh menaruh orang yang high risk di dalam zona, di dalam rutan atau lapas ada orang setua saya dengan high risk begini dibiarkan saja di dalam. Melanggar HAM itu. Dan, saya heran takutnya kok takut banget sih sama PP 99, lebih takut PP 99 daripada (dengan) Tuhan," ungkapnya.
Fadilah menuding PP Nomor 99 Tahun 2012 dibuat oleh orang yang pernah menjadi tersangka atau orang yang pernah kabur ke Australia atau ke negara mana yang tidak diketahui Fadilah. Sayangnya Fadilah tidak menyebutkan nama orang/tersangka tersebut, kasusnya apa, ditangani oleh penegak hukum mana, dan kapan waktu si orang itu buron. Menurut penulis, sebaiknya Fadilah memberikan bukti atau informasi atau data nyata ihwal tudingannya ini.
ADVERTISEMENT
Baik kita lanjut. Fadilah kemudian kembali bersoloh kenapa ada pihak yang takut dengan PP Nomor 99 Tahun 2012 sehingga tidak membebaskan narapidana korupsi seperti Fadilah. Bahkan Fadilah menyebutkan, orang 'paling tinggi' bahkan takut dengan PP untuk membebaskan narapidana seperti Fadilah guna mencegah penyebaran Covid-19.
"Aku nggak ngerti. Ini, dunia ini aneh juga saya bilang," ucapnya.
Lapas Perempuan Kelas IIA Pondok Bambu, Jakarta Timur. Foto: Kementerian Hukum dan HAM.
Para pembaca yang budiman, saya tidak ingin masuk membahas terlalu jauh tentang ada tidaknya konspirasi pihak tertentu yang menciptakan Covid-19 yang berujung penetapan pandemi oleh WHO hingga dugaan komersialisasi vaksin Covid-19. Bahasanya dalam tulisan ini akan fokus pada perkara Fadilah, ada atau tidaknya konspirasi memperkarakan Fadilah akibat dari perlawanannya terhadap WHO, dan upaya pembebasan Fadilah.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya dilanjutkan, penulis ingin menyitat pernyataan Deddy melalui akun YouTube dan Instagram pada Kamis, 21 Mei 2020 sebelum wawancara terjadi, sebagaimana diberitakan Suara.com dengan judul 'Siti Fadilah Jatuh Sakit di Penjara: Saya Ingin Bertemu Deddy Corbuzier' dan dilansir pada Kamis, 21 Mei 2020 pukul 13:31 WIB.
Lihat tautan: https://www.suara.com/news/2020/05/21/133122/siti-fadilah-jatuh-sakit-di-penjara-saya-ingin-bertemu-deddy-corbuzier.
Kurang lebih isi pernyataan Deddy, Deddy ditelepon oleh Fadilah yang sedang dirawat di rumah sakit. Fadilah menyebutkan, dia adalah orang yang dituduh korupsi tapi tidak ada bukti dan pernah melawan dunia untuk Indonesia. Dalam sambungan telepon, Fadilah menyampaikan ke Deddy, bahwa entah sampai kapan usia Fadilah, empat bulan lagi Fadilah bebas, dan ketakutan Fadilah kalau usianya tidak sampai hingga waktu dia bebas.
ADVERTISEMENT
"Bolehkah Pak Deddy jenguk saya dan saya ingin membagi cerita saya Pak. Boleh ya Pak. Tolong saya ceritakan kisah sebenarnya pada rakyat kita..Saya hanya percaya pada pak Deddy tuk ini," tutur Fadilah seperti dikisahkan ulang oleh Deddy.
Perjalanan Singkat Perkara Siti Fadilah
Secara spesifik, perkara Siti Fadilah Supari ada dua. Satu, menyalahgunakan kewenangannya selaku menkes periode 2004-2009 dan/atau dengan memberikan kesempatan sengaja menganjurkan dengan memberi arahan agar kegiatan pengadaan alat kesehatan (alkes) guna mengantisipasi kejadian luar biasa (KLB) atau flu burung tahun 2005 pada Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan (PPMK) Depkes, melalui surat rekomendasi untuk dilakukan penunjukan langsung (PL) serta meminta agar Mulya A Hasjmy untuk melakukan penunjukan langsung PT Indofarma Tbk sebagai penyedia alkes. Dengan tujuan menguntungkan pihak lain atau korporasi sehingga merugikan negara Rp 6.148.638.000 dari proyek alkes dengan nilai kontrak Rp 15.548.280.000.
ADVERTISEMENT
Mulanya proyek alkes dianggarkan pada DIPA APBN Depkes tahun anggaran 2005 tapi kemudian dialihkan ke DIPA 2006. Jabatan Mulya selaku kuasa pengguna anggaran (KPA) dan pejabat pembuat komitmen (PPK) merangkap Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik.
Penulis akan menggunakan singkatan terkini yakni Kemenkes untuk berikutnya.
Dua, Fadilah menerima suap Rp 1,9 miliar dari Rustam Syarifuddin Pakaya selaku kuasa pengguna anggaran (KPA) merangkap pejabat pembuat komitmen (PPK) serta selaku Kepala Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan (PPMK) Kemenkes dan Sri Rahayu Wahyuningsih selaku Direktur PT Graha Ismaya. Suap terkait dengan pemulusan PT Indofarma Global Medika (didukung PT Graha Ismaya) saat lelang pengadaan alkes tahap I untuk penanggulangan wabah flu burung pada tahun anggaran 2007 dengan nilai kontrak Rp 38.806.962.400.
ADVERTISEMENT
Hakikatnya perkara Fadilah beririsan kuat dengan perkara mantan terpidana atau terpidana lain serta pihak yang diduga terlibat tapi belum ditetapkan sebagai tersangka. Mereka di antaranya perkara atas nama terpidana Mulya A Hasjmy (masih terpidana karena menjalani masa pidana untuk empat perkara berbeda) dan eks terpidana Rustam Syarifuddin Pakaya (korupsi alkes flu burung tahap I tahun anggaran 2007 dengan kerugian negara mencapai Rp 22 miliar).
Berikutnya terkait dengan eks terpidana Ratna Dewi Umar selaku Direktur Bina Pelayanan Medik Dasar pada Jenderal Bina Pelayanan Medik Kemenkes merangkap KPA dan PPK (korupsi alkes flu burung tahun anggaran 2006 dan 2007 dengan kerugian negara sebesar Rp 50,477 miliar) dan terdakwa Direktur Utama PT Cahaya Prima Cemerlang (CPC) Freddy Lumban Tobing (korupsi pengadaan alkes flu burung tahun anggaran 2007 dengan kerugian negara Rp 12.331.470.909).
ADVERTISEMENT
Proyek pengadaan alkes flu burung, lebih khusus perkara Rustam dan Ratna juga beririsan dengan pengadaaan vaksin flu burung. Dalam perkara Rustam, mulanya pada DIPA APBN Kemenkes tahun anggaran 2007 terdapat anggaran sebesar Rp 80 miliar untuk proyek pengadaan vaksin flu burung dan anggaran pengadaan alkes medis dan non medis untuk 9 regional dengan anggaran Rp 35 miliar. Alokasi dana Rp 80 miliar kemudian diubah untuk proyek pengadaan alkes tahap I tahun 2007.
Perkara Fadilah ditangani KPK mulai tahap penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan dan pembuktian di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Tapi sebenarnya Fadilah lebih dulu ditersangkakan oleh Bareskrim Mabes Polri. Berikut gambaran umum perjalanan kasus/perkara Fadilah.
• Mei 2010, KPK menetapkan Ratna sebagai tersangka.
ADVERTISEMENT
• Juli 2010, KPK menetapkan Mulya sebagai tersangka dalam dua kasus dugaan korupsi pengadaan alkes flu burung tahun anggaran 2006 dengan kerugian negara (Rp 28.406.752.312 dan Rp 53.247.776.947 (APBN Perubahan), sesuai putusan pengadilan).
• September 2011, KPK menetapkan Rustam sebagai tersangka.
• Maret 2012, Bareskrim Mabes Polri menetapkan Fadilah sebagai tersangka pengadaaan alkes flu burung tahun anggaran 2005 dengan kerugian negara Rp 6.148.638.000.
• Maret 2014, KPK mengambil alih kasus Fadilah dari Bareskrim setelah dilimpahkan Bareskrim. Pengambilalihan terjadi setelah dilakukan koordinasi dan supervisi antara KPK dengan Polri.
• April 2014, KPK menetapkan Fadilah sebagai tersangka pengadaaan alkes flu burung DIPA tahun anggaran 2005 yang berubah menjadi DIPA 2006 dengan kerugian negara Rp 6.148.638.000.
ADVERTISEMENT
• Mei 2015, KPK menetapkan Fadilah sebagai tersangka penerima suap terkait pengadaan alkes tahun anggaran 2007.
• 9 September 2016, Fadilah melakukan perlawanan terhadap KPK dengan mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
• 18 Oktober 2016, hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Ahmad Rivai memutuskan menolak praperadilan Fadilah. Hakim Rivai memastikan, langkah KPK menetapkan Fadilah sebagai tersangka adalah sah menurut hukum, tidak bertentangan dengan hukum, dan telah ada alat bukti yang cukup atau minimal dua alat bukti.
• Senin, 24 Oktober 2016, KPK menahan Fadilah setelah menjalani pemeriksaan sebagai tersangka.
Siti Fadilah Supari usai pemeriksaan sebagai tersangka dan pertama kali ditahan KPK. Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir.
Sesaat sebelum memasuki mobil tahanan, Fadilah menuding kasus yang disangkakan kepadanya merupakan bentuk kriminalisasi. Dia mengklaim diperlakukan tidak adil selama lima tahun penanganan kasusnya. Fadilah kukuh tidak menerima suap dan tidak ada buktinya.
ADVERTISEMENT
"Ini betul-betul kriminalisasi. Padahal, saya tidak menerima. Tidak ada yang disebut sebagai pemberi dan tidak ada bukti saya menerima. Kalau saya menerima, siapa yang memberi, kapan, dan sebagainya? Kasus ini dari 2007, kasus Pak Rustam," kata Fadilah dengan suara lirih.
Fadilah pun meminta kepada Presiden Joko Widodo agar menegakan hukum dengan adil. Fadilah kemudian mengkritik kinerja pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Dia menuding, banyak kasus-kasus yang berat alias kasus-kasus kakap malah dibiarkan KPK.
"Sedangkan, saya yang sebetulnya tidak bersalah, harus ditahan. Saya merasa dikriminalisasi. Ini tidak adil," ucapnya.
• Januari 2017, berkas perkara beserta barang bukti, dakwaan, dan Fadilah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta.
• 6 Februari 2017, Fadilah menjalani sidang perdana pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
ADVERTISEMENT
• 31 Mei 2017, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK membacakan surat tuntutan atas nama Siti Fadilah. JPU menilai Fadilah terbukti melakukan dua delik korupsi. Pertama, terbukti korupsi dalam pengadaan alkes flu burung DIPA tahun 2005 yang berubah menjadi DIPA 2006 dengan kerugian negara sebesar Rp 6.148.638.000, di mana Fadilah tidak memperoleh keuntungan atau tidak diperkaya tapi memperkaya pihak lain dan korporasi. Kedua, terbukti menerima suap dengan total Rp 1,9 miliar dalam bentuk Mandiri Traveller Cheque (MTC) dari Rustam Syarifuddin Pakaya dan Sri Rahayu Wahyuningsih.
JPU menuntut Fadilah dengan pidana penjara selama 6 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, pidana denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, dan uang pengganti dari hasil suap yang diterima Rp 1,9 miliar subsider 1 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Menariknya, perkara Fadilah ditangani oleh JPU pada KPK yang dipimpin Ali Fikri. Sejak 27 Desember 2019 hingga kini paling tidak hingga tulisan ini rampung, Ali bertugas sebagai pelaksana tugas Juru Bicara Bidang Penindakan KPK setelah ditunjuk oleh pimpinan KPK.
• 6 Juni 2017, Fadilah mengembalikan uang Rp 1,35 miliar ke KPK meski sebelum-sebelumnya Fadilah membantah menerima suap.
• 7 Juni 2017, Fadilah membacakan nota pembelaan (pleidoi) sembari menangis dalam persidangan. Ada banyak materi yang diulas Fadilah. Fadilah sampai bersumpah atas nama Allah s.w.t bahwa dia tidak melakukan korupsi, surat tuntutan yang disusun JPU tidak berdasarkan fakta-fakta persidangan yang jelas, serta dia merasa terzalimi sejak perkaranya ditangani Bareskrim hingga ditangani KPK dan berujung di pengadilan. Pleidoi Fadilah juga disertai lampiran bukti pengembalian uang Rp 1,35 miliar ke KPK.
ADVERTISEMENT
Dokter sekaligus ahli jantung ini mengungkapkan, tuntutan pidana penjara hingga pidana tambahan membayar uang pengganti sangat tidak wajar. Ada beberapa alasan. Pertama, pelaku lain yang merupakan mantan anak buah Fadilah yakni Mulya A Hasjmy hanya divonis dengan pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan.
Kedua, adanya keanehan tata cara proses pembuatan dakwaan sampai penuntutan, bahkan sejak dari penetapannya sebagai tersangka pun banyak yang janggal. Hal ini menurut Fadilah, sangat melukai rasa keadilan dalam penegakan hukum. Sekali lagi kata dia, terasa ada sesuatu yang dipaksakan dan ada yang diskenariokan.
"Tujuannya saya harus bersalah, saya harus dipenjara dan dengan cara dan alasan apa pun juga. Tersurat kepentingan hancurkan martabat mantan menteri seperti saya. Ada kelompok kepentingan yang tidak rela saya hidup tenang. Kenapa saya membahayakan, apa saya ganggu kepentingan kelompok mereka, siapa mereka? Saya bisa merasakan keberadaan mereka, tidak berdaya menghindar, mereka sangat berkuasa, berupaya keras agar saya salah dan kalah," tudingnya.
ADVERTISEMENT
Fadilah menilai, jelas sekali untuk mencapai tujuan tersebut, maka banyak fakta persidangan penting yang sengaja diabaikan agar asumsi JPU seolah-olah menjadi alat bukti yang sah. Karenanya dia meyakini majelis hakim lebih objektif dari pada JPU.
"Saya yakin kecermatan hakim mampu membedakan asumsi, opini atau alat bukti," kata Fadilah.
Menurut Fadilah, dakwaan atau tuntutan pertama sengaja direkayasa dengan alat bukti yang disembunyikan. Sedangkan untuk dakwaan atau tuntutan kedua ihwal penerimaan suap sengaja dibangun dari putusan atas nama Rustam Syarifuddin Pakaya bahwa Fadilah sebagai saksi harus mengembalikan uang Rp 1,275 miliar, meskipun tidak ada data atau fakta hukum yang mendukung bahwa Fadilah menerima MTC senilai Rp 1,275 miliar. Karenanya dakwaan atau tuntutan JPU bahwa Fadilah menerima MTC dengan total Rp 1,9 miliar adalah cerita fiktif dan penerimaan itu tidak ditemukan bukti apapun atau JPU tidak memiliki bukti yang cukup.
ADVERTISEMENT
"Cerita fiktif diciptakan oleh saksi yang di siapkan secara sistematis, sehingga membentuk opini bahwa saya menerima TC, dengan melibatkan keluarga saya. Saya sebenarnya tahu dan KPK tahu siapa yang bermain dalam kasus ini. Tetapi sekali lagi saya tidak salah, tetapi Kalah. Menang atau kalah adalah opsi yang pasti dari sebuah perjuangan dan saya sedang dalam posisi kalah walaupun saya benar," ujar Fadilah.
Fadilah meminta majelis hakim agar memutuskan, membebaskannya dari semua tuntutan JPU, segera mengeluarkannya dari tahanan, dan mengembalikan nama baiknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Berikutnya Fadilah mengulas mengapa rekayasa kasus atau kriminalisasi secara hukum ini harus terjadi pada dirinya. Dia menyebut, sebenarnya kriminalisasi hanya sebagian kecil dari fenomena gunung es yang menggambarkan tekanan tekanan politis yang Fadilah alami dari waktu ke waktu, serta juga ada ancaman dan teror yang langsung maupun tidak langsung hingga caracter assazination yang sistematis.
ADVERTISEMENT
Di antaranya ihwal wabah virus flu burung yang melanda Indonesia di akhir tahun 2015, penyebaran virus flu burung yang menggemparkan dunia, WHO mendeklarasikan virus itu sebagai penyakit baru yang mematikan terutama menjangkit manusia Indonesia dengan angka kematian 90 persen dan keganasannya bisa mematikan dalam waktu 24 jam, WHO menetapkan keadaan darurat yang mungkin akan terjadi di dunia dan Indonesia menjadi focal point, hingga WHO menyalahgunakan virus-virus korban-korban flu burung di Indonesia untuk tujuan komersialisasi virus dan dijadikan vaksin yang harus dibeli oleh seluruh negara di dunia dengan harga mahal.
Padahal bahan baku vaksin adalah virus dari Indonesia yang diperoleh dengan cara gratis. Kemudian vaksin itu akan dijual sangat mahal ke seantero dunia. Ironisnya Indonesia yang merupakan negara yang paling besar jumlah korban flu burungnya dan paling banyak mengirim virus flu burungnya malah tidak mendapatkan jatah karena kita tidak mempunyai dana yang instan. Akibatnya Indonesia harus memesan dengan utang dari bank dunia yang dipersiapkan oleh si penjual vaksin dari negara maju.
ADVERTISEMENT
"Saya berfikir ini adalah suatu konspirasi yang berbahaya memperdagangkan nyawa manusia, melukai rasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Alangkah berbahayanya kalau hal ini saya diamkan saja. Maka dengan segala perhitungan politik diplomatik yang matang, saya memutuskan untuk melawan policy organisasi kesehatan dunia," ungkap Fadilah.
Ternyata perlawanan yang dilakukan Fadilah mendapatkan dukungan yang luar biasa dari seluruh dunia, bahkan dari beberapa negara besar dunia. Perlawanan ini kata Fadilah, berlangsung untuk melawan konspirasi di belakang kebijakan WHO dalam mengatasi wabah flu burung. Dalam perjuangan ini, Indonesia mengambil peran dengan memimpin agar WHO merevisi aturan-aturan dalam menghadapi wabah yang ternyata hanya menguntungkan negara-negara industri yang menguasai pasar vaksin dunia.
Selama perjuangan berlangsung, Indonesia sempat menghidupkan kembali persaudaraan negara-negara non-blok yang juga menjadi anggota WHO. Perlawanan Fadilah dan Indonesia dibantu negara-negara non-blok terhadap WHO bertujuan untuk melindungi umat manusia terutama di negara-negara miskin dan negara yang sedang berkembang dalam menghadapi kejahatan kemanusiaan melalui penyebaran virus ganas yang mematikan, yang ternyata bisa di-create oleh negara-negara besar untuk mengeruk keuntungan finansial maupun politik untuk menguasai perekonomian dunia.
ADVERTISEMENT
"Perjuangan yang mengharumkan nama saya dan nama Indonesia di dunia internasional, tidak mendapatkan apresiasi di dalam negeri bahkan cenderung dibungkam. Tidak boleh seorangpun mendengar kesuksesan perjuangan diplomatik di WHO. Saya heran, kaget, dan marah kenapa harus di bungkam. Ini kan kemenangan bangsa Indonesia yang memperjuangkan kedaulatan kemanusiaan di dunia," tuturnya.
Siti Fadilah Supari saat membacakan pledoi di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.
Akhirnya kata Fadilah, dia memutuskan, menulis buku 'Saatnya Dunia Berubah: Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung'. Buku ini Fadilah susun berdasarkan catatan hariannya. Buku kemudian diluncurkan, diberitakan salah satu media internasional berbasis di Sydney, Australia, buku Fadilah meledak ke seluruh dunia, hingga Fadilah pun mendapat apresiasi langsung dari pemimpin-pemimpin dunia yang menelepon langsung ke ponsel pribadi Fadilah. Setelah itu, buku Fadilah mulai dikenal di Indonesia dan Fadilah sering diundang sebagai pembicara di berbagai perguruan tinggi di seluruh tanah air untuk bedah buku.
ADVERTISEMENT
"Saya surprise dan bangga ternyata bangsa kita masih mempunyai kebanggaan sebagai bangsa yang berdaulat," imbuhnya.
Sebenarnya cerita Fadilah dalam pleidoi tentang wabah flu burung, penanganan yang dilakukan Fadilah selaku Menkes, hingga perjuangannya melawan WHO lebih panjang daripada yang dituturkan Fadilah kepada Deddy Corbuzier saat wawancara.
Baik kita kembali sedikit ke materi pleidoi Fadilah. Kesuksesan perjuangan kemanusiaan di dunia internasional tersebut, kata Fadilah, justru membuatnya tidak terpilih kembali menjadi menteri kesehatan pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono periode kedua.
"Yang Mulia, perjuangan saya yang lugu menjunjung tinggi kemanusiaan, tanpa niat menyakiti siapapun telah menuai kebencian dan kedendaman suatu kelompok. Maka tidak heran bila begitu saya lengser, proyek-proyek Depkes dieksplorasi terutama yang berkaitan dengan flu burung. Tujuannya agar anak-cucu saya, generasi bangsa saya, dan para pengamat dunia menertawakan saya, 'ternyata pejuang itu koruptor, maka jangan kalian hargai perjuangannya, jangan kalian ingat jasanya, lebih baik kalian tetap terjajah seperti dulu'," cerita Fadilah sesenggukan.
ADVERTISEMENT
Masih dalam pleidoi, Fadilah mengatakan, yang juga menyakitkan baginya adalah ikut terbawanya buku 'Saatnya Dunia Berubah' sebagai bagian caracter assazination terhadap Fadilah. Upaya pembunuhan karakter tersebut dibawa masuk melalui melalui peran Cardiyan Hendiana Imik Suparmo selaku pemilik penerbit PT Sulaksana Watinsa Indonesia yang menerima pembelian buku dengan MTC.
"Sampai detik ini saya tidak mengerti bagaimana MTC itu sampai ke tangan Cardiyan. Dan, tanpa bukti penerimaan, Cardiyan mengatakan MTC itu berasal dari orang dekat saya," ucapnya
• 16 Juni 2017, majelis hakim Pengadilan Tipikor yang dipimpin Ibnu Basuki Widodo membacakan putusan atas nama Fadilah. Majelis menilai, Fadilah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan dua delik korupsi sebagaimana yang telah didakwakan dan dituntut JPU pada KPK. Tapi untuk korupsi pengadaan, majelis menilai kerugian negara bukan sebesar Rp 6.148.638.000. Kerugian negara 'hanya' sebesar lebih dari Rp 5,783 miliar yang merupakan hasil keuntungan PT Mitra Medidua (suplier) yang diperkaya. Sedangkan angka lebih Rp 364,678 juta yang diperoleh PT Indofarma Tbk tidak masuk kategori kerugian negara. Pasalnya PT Indofarma Tbk adalah perusahaan negara dan keuntungannya untuk negara.
ADVERTISEMENT
Majelis lantas menghukum Fadilah dengan pidana penjara selama 4 tahun, pidana denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan, dan pidana tambahan membayar uang pengganti Rp 1,9 miliar dikurangi Rp 1,35 miliar ke negara melalui KPK atau uang pengganti hanya tersisa Rp 550 juta subsider pidana penjara selama 6 bulan.
Sesaat sebelum sidang putusan ditutup majelis, Fadilah berserta tim penasihat hukumnya maupun JPU mengatakan akan pikir-pikir selama tujuh hari apakah menerima putusan atau akan mengajukan banding. Selepas sidang ditutup, Fadilah menyampaikan uneg-unegnya ke para jurnalis. Dia mengatakan, kemungkinan tidak akan mengajukan banding. Fadilah mengklaim ada keanehan atas fakta-fakta persidangan dan tuntutan.
Dia sebenarnya berharap hakim akan memilih salah satu dakwaan yang terbukti. Tapi Fadilah sangat kaget ketika hakim memutuskan Fadilah terbukti dua dakwaan. Dia juga menyesalkan vonis pidana yang dijatuhkan kepadanya. Meski begitu Fadilah berjanji akan membayar, karena kalau tidak pidananya akan ditambah.
ADVERTISEMENT
"Ini Indonesia, biasanya begitu tuntutan, vonisnya dua perempat atau dua pertiga, saya sudah menduga dari awal. Saya sangat shock dan kecewa, fakta persidangan kok nggak dipakai. Kalau fakta persidangan dipakai tidak begini. Apa gunanya sidang berkali-kali dengan biaya negara, fakta persidangan tidak dipakai sama sekali," ucap Siti.
• 22 Juni 2017, jaksa eksekutor pada KPK melakukan eksekusi badan terhadap Fadilah ke Lapas Perempuan Kelas II Pondok Bambu untuk menjalani masa pidana penjara setelah perkaranya berkekuatan hukum tetap (inkracht). Perkara inkracht dan eksekusi dilakukan karena Fadilah dan tim penasihat hukumnya menyatakan menerima putusan, Fadilah berjanji melunasi uang pengganti, dan karenanya JPU pun menerima putusan.
• 15 Mei 2018, Fadilah mendaftarkan/mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Sidang pemeriksaan pendahuluan PK digelar pertama kali di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis, 31 Mei 2018. Ada beberapa materi yang disodorkan Fadilah dan tim penasihat hukumnya sebagai novum baru dalam memori PK.
ADVERTISEMENT
Saat proses persidangan pendahuluan PK berlangsung, Fadilah juga menyinggung putusan perkara Mulya A Hasjmy (Mr. M). Dalam putusan itu, tidak tertuang Mulya melakukan perbuatan bersama-sama dengan Fadilah. Tapi saat penyelidikan dan penyidikan hingga vonis tingkat pertama terhadap Fadilah, Fadilah malah disebut melakukan perbuatan bersama-sama Mulya.
• 27 November 2018, majelis hakim agung PK pada Mahkamah Agung memutuskan menolak PK yang diajukan Fadilah.
Penulis memang sengaja menghadirkan sejumlah pernyataan Fadilah pada beberapa kesempatan di subjudul ini. Bagi penulis, pernyataan-pernyataan itu dengan sendirinya menunjukkan, bahwa narasi yang dibangun oleh sejumlah pihak saat pandemi Covid-19, tentang perkara korupsi yang divonis terbukti hingga tahap PK dan Fadilah menjalani hukumannya sebagai bentuk konspirasi, atau Fadilah korban konspirasi global dan otoritas Indonesia (termasuk penegak hukum), atau perkaranya sebagai bentuk kriminialisasi, atau Fadilah dizalimi, atau Fadilah diperkarakan untuk membunuh karakter Fadilah, atau Fadilah dituduh tanpa bukti, atau Fadilah tidak menerima suap, atau Fadilah dibungkam karena tidak bisa berkompromi dengan pihak Barat, atau dengan deskripsi lain serta pernyataan Fadilah saat diwawancarai Deddy Corbuzier yang juga diafirmasi Deddy, merupakan narasi usang. Bahasa sederhananya, kaset baru lagu lama.
ADVERTISEMENT
Objektivitas Fakta Persidangan
Dari berbagai komentar dan pandangan sejumlah pihak yang muncul beberapa bulan belakangan serta penuturan Siti Fadilah Supari saat diwawancarai Deddy Corbuzier maupun pernyataan Deddy dalam deskripsi video, yang menjadi perhatian utama adalah klaim bahwa Fadilah tidak melakukan korupsi, tidak terbukti korupsi, dan tidak ada saksi yang bisa memastikan adanya perbuatan korupsi Fadilah. Atau dengan frasa lain, Fadilah diperkarakan dan menjadi korban kezaliman atau konspirasi akibat tidak bisa diatur dan melawan pihak Barat cum WHO. Tapi benarkah demikian?
Klaim-klaim seperti itu hakikatnya bisa dibantah dan terbantahkan dengan sendirinya jika kita mau kembali menengok ke belakang dan melihat fakta-fakta yang muncul saat proses persidangan Fadilah selama lebih tiga bulan, Februari hingga Juni 2017, di Pengadilan Tipikor Jakarta. Serta, ditambah juga dengan fakta-fakta persidangan saat persiapan Mulya A Hasjmy, Rustam Syarifuddin Pakaya, Ratna Dewi Umar maupun Freddy Lumban Tobing.
ADVERTISEMENT
Bagi penulis, jika para pihak selain Fadilah dan tim penasihat hukum hadir selama proses persidangan Fadilah, maka pasti pandangan dan pernyataan mereka lebih objektif. Mereka akan melihat, mendengar, dan merasakan sendiri perjalanan persidangan; mendengar keterangan para saksi; mendengar keterangan ahli baik yang dihadirkan JPU maupun ahli yang dihadirkan pihak Fadilah untuk meringankan; melihat bagaimana cara JPU pada KPK melakukan pembuktian dan mengajukan pertanyaan ke para saksi maupun Fadilah; melihat lebih 300 barang bukti (alat bukti) yang ditunjukkan JPU; mendengarkan secara utuh isi surat dakwaan dan tuntutan yang dibacakan JPU; melihat bagaimana cara majelis hakim menggali fakta kebenaran materiil, memeriksa atau mengajukan pertanyaan ke para saksi dan Fadilah, mendengar secara utuh putusan beserta pertimbangannya yang dibacakan majelis hakim; hingga upaya pembuktian yang dilakukan Fadilah beserta tim penasihat hukumnya.
ADVERTISEMENT
Bukti-bukti sejumlah lebih 300 itu mencakup di antaranya dokumen DIPA Kemenkes, surat perihal revisi anggaran DIPA, disposisi permohonan penunjukkan langsung, surat menkes yang diteken Fadilah perihal rekomendasi penunjukkan langsung alkes flu burung, perjanjian kontrak pengadaan alkes dan addendum kontrak, invoice pengadaaan alkes, faktur pembelian alkes, pemberitahuan impor barang, surat perjanjian jual beli antar-penyedia alkes, rekening koran bank, dokumen transaksi rekening bank, formulir penjualan Mandiri Travellers Cheque (MTC), lembar-lembar asli/fotokopi MTC terregalisir, lembar-lembar pencairan dan fotokopi KTP orang-orang yang mencairkan MTC, surat perjanjian pengelolaan dana dan kontrak jasa penasihat investasi, kwitansi tanda penerimaan uang, akta jual beli tanah dan bangunan, hingga satu eksemplar buku berjudul 'Saatnya Dunia Berubah: Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung'.
ADVERTISEMENT
Selama proses persidangan, JPU pada KPK menghadirkan 40 orang saksi dari berbagai latar belakang dan tiga orang ahli. Sedangkan Fadilah bersama tim penasihat hukumnya menghadirkan dua saksi meringankan dan dua orang ahli meringankan. Dari 40 saksi tersebut, ada nama Cardiyan Hendiana Imik Suparmo (pemilik penerbit PT Sulaksana Watinsa Indonesia) yang namanya disinggung Fadilah dalam pleidoi.
Sebagai catatan, penulis hadir pada hampir seluruh proses persidangan Fadilah selama berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta serta beberapa kali persidangan Ratna, Rustam, Mulya, dan Freddy Lumban Tobing. Selain itu, penulis juga memiliki salinan lengkap surat dakwaan nomor: DAK-07/24/01/2017, surat tuntutan nomor: TUT-35/24/05/2017, putusan nomor: 30/PID.Sus/Tpk/2017/PN.JKT.PST atas nama ‘Dr. dr. SITI FADILAH SUPARI, Sp JP (K)'. Salinan putusan atas nama Fadilah dapat diunduh melalui tautan
ADVERTISEMENT
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/ec4f01f015b7302311b30ee8ed84c704.html.
Dengan jumlah saksi, ahli, dan barang bukti yang ada maka dengan jelas, klaim tidak ada bukti Fadilah melakukan korupsi atau tidak ada bukti Fadilah menerima dan menikmati suap dan tidak ada saksi yang bisa memastikan adanya perbuatan korupsi Fadilah dengan sendirinya runtuh. Klaim itu gugur, ibarat daun tua yang gugur dari pohon.
Berikutnya bagaimana dengan tudingan Fadilah bahwa (mantan) anak buahnya dengan pangkat eselon II yang telah membayar uang Rp 6 miliar tapi tidak diproses hukum?
Pernyataan Fadilah hakikatnya adalah asumsi. Bila melihat penjelasan pada subjudul 'Perjalanan Singkat Perkara Siti Fadilah', maka pernyataan Fadilah tidak berdasarkan fakta nyata alias nirkala. Mulya A Hasjmy, Rustam Syarifuddin Pakaya, dan Ratna Dewi Umar merupakan eselon II dan anak buah Fadilah saat itu. Mereka semua diproses secara hukum bahkan berujung dalam kungkungan penjara.
ADVERTISEMENT
Selama proses penyidikan hingga putusan berkekuatan hukum tetap, tidak ada satupun mantan anak buah Fadilah termasuk Mulya, Rustam, dan Ratna yang membayar uang sebesar Rp 6 miliar ke penegak hukum maupun membayar atau menyetorkan sebagai pengganti kerugian negara. Untuk Ratna, tidak diputus majelis hakim untuk mengembalikan uang kerugian negara. Pasalnya Ratna tidak menerima dan menikmati keuntungan dari kerugian negara yang terjadi.
Kolase halaman depan salinan surat tuntutan dan putusan atas nama Siti Fadilah Supari. Foto: Sabir Laluhu.
Dalam putusan Mulya, Mulya diperintahkan majelis hakim membayar uang pengganti Rp 160,04 juta yang merupakan pembayaran mobil Toyota Rush seharga Rp 178,05 juta. Mobil itu berasal dari Singgih Wibisono selaku Direktur PT Bhineka Usada Raya (BUR). Perusahaan ini adalah pemasok alkes yang dipakai rumah sakit rujukan penanganan flu burung dan pengadaan reagen consumable penanganan virus flu burung. Alkes lebih dulu dipasok PT BUR ke PT Kimia Farma Trading & Distribution (KFTD), anak perusahaan BUMN PT. Kimia Farma (Persero) Tbk.
ADVERTISEMENT
Terhadap Rustam, majelis memerintahkan agar Rustam membayar uang pengganti Rp 2,57 miliar. Uang ini bagian dari total Rp 4,97 miliar yang diterima Rustam dari Masrizal Achmad Syarif selaku Direktur Utama PT Graha Ismaya terkait dengan pengadaan alkes flu burung tahun anggaran 2007.
Sebagai pengingat, sejak Juli 2019, Masrizal telah menjabat sebagai Komisaris PT Phapros, Tbk. Perusahaan ini adalah perusahaan farmasi dan merupakan anak usaha PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI, Persero), perusahaan BUMN.
Dalam putusan Rustam, majelis memutuskan merampas uang Rp 1,275 miliar yang ada di Siti Fadilah Supari. Majelis juga memerintahkan beberapa pihak mengembalikan uang di antaranya pengembalian uang oleh Els Mangundap selaku Kepala Bagian Tata Usaha PPMK Kemenkes sejumlah Rp 850 juta, PT Graha Ismaya sebesar Rp 15,16 miliar, dan PT Indofarma Global Medika (IGM) sebanyak Rp 1,76 miliar.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu jika menggunakan argumentasi Rp 6 miliar seperti pernyataan Fadilah, maka angka ini cocok dengan jumlah kerugian negara dalam perkara korupsi dengan terpidana Fadilah yakni pengadaan alkes flu burung dari DIPA tahun 2005 yang diubah menjadi DIPA 2006 dengan metode penunjukan langsung PT Indofarma Tbk sebagai penyedia alkes. Dalam proyek alkes dengan nilai kontrak Rp 15.548.280.000, negara mengalami kerugian Rp 6.148.638.000. Pihak yang diuntungkan dalam proyek ini yakni PT Indofarma (Persero) Tbk sejumlah Rp 1.597.232.400 dan PT Mitra Medidua sebesar Rp 4.551.405.600.
Dalam putusan terhadap Fadilah, majelis hakim memastikan, Fadilah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan korupsi dalam dua delik perbuatan, seperti penulis cantumkan di atas sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan keterangan 40 orang saksi dengan didukung lebih 300 ratusan barang bukti serta keterangan ahli dalam persidangan, terungkap bahwa ada niat jahat yang erat dan dilakukan dengan sadar oleh Fadilah dengan Mulya dan Hasnawati selaku Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa untuk pengadaan alkes flu burung dari DIPA tahun 2005 yang diubah menjadi DIPA 2006 dengan metode penunjukan langsung PT Indofarma Tbk.
Sebelum semua proses pengadaan terjadi, Fadilah beberapa kali bertemu dengan Ary Gunawan selaku Direktur Utama PT Indofarma Global Medika (IGM) dan Nuki Syahrun selaku Ketua Soetrisno Bachir Foundation (SBF) dan adik ipar dari Soetrisno Bachir. Nuki juga selaku Direktur PT Panorama Persada dan merupakan teman dari anak Fadilah. Soetrisno Bachir adalah Ketua Umum DPP PAN periode 2005-2010. Pertemuan Fadilah dengan Ary dan Nuki terjadi di kantor maupun rumah dinas Menkes yang ditempati Fadilah. Kepada Ary dan Nuki, Fadilah memastikan menunjuk langsung PT Indofarma Tbk sebagai pelaksana pengadaan alkes. PT Indofarma Global Medika (IGM) adalah anak perusahaan PT Indofarma Tbk.
ADVERTISEMENT
Nuki pun memiliki kedekatan dengan Andri Krisnamurti selaku Direktur Utama PT Mitra Medidua. Di kalangan perusahaan ini, beberapa pejabatnya seperti Munadi Subrata pernah mendengar Andri menyebut nama Nuki. Muhammad Naguib selaku Direktur Pemasaran PT Indofarma Tbk mengungkapkan, Nuki dan Ary Gunawan selaku Direktur Utama PT IGM memang memiliki kedekatan dengan Fadilah. PT Indofarma Tbk sangat mengandalkan Ary guna mendapatkan proyek alkes. Nuki, kata Naguib, juga memiliki kedekatan dengan PT Mitra Medidua dan Andri.
Saat bertemu Mulya, Fadilah juga menyampaikan hal serupa. Fadilah meminta Mulya agar membantu PT Indofarma Tbk/Nuki karena Nuki adalah adik ipar petinggi PAN. Fadilah meminta Mulya segera mengajukan permohonan penunjukkan langsung ke Fadilah agar segera disahkan Fadilah. Singkat cerita, Fadilah meneken persetujuan permohonan dengan surat tertanggal 22 November 2005 perihal Rekomendasi Penunjukan Langsung Alat Kesehatan Guna Antisipasi KLB Masalah Kesehatan Akibat Bencana.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanannya, PT Indofarma Tbk menggandeng PT Mitra Medidua sebagai pemasok alkes. Kemudian terjadi penandatanganan 'Kontrak Jual Beli Pengadaan Alkes Guna Antisipasi KLB Masalah Kesehatan Akibat Bencana Tahun 2005 Nomor: PL.01.01.02795.17' antara Mulya dan Muhammad Naguib selaku Direktur Pemasaran PT Indofarma Tbk. Kontrak ditandatangani pada 30 November 2005 menerbitkan dengan anggaran Rp 15.548.280.000.
Angka kontrak itu dipotong pajak penghasilan dan PPN sebesar Rp 1.625.502.000, sehingga yang mesti dibayarkan ke PT Indofarma Tbk sebesar Rp 13.922.778.000. Pembayaran lunas dilakukan Depkes ke PT Indofarma Tbk pada 4 April 2006. Berikutnya PT Indofarma Tbk mentransfer Rp 13.558.099.060 untuk pembayaran alkes ke PT Mitra Medidua pada 26 April 2006. Rinciannya, harga subtotal Rp 12.325.544.600 ditambah PPN 10 persen sejumlah Rp 1.232.554.460 sehingga total pembayaran Rp 13.558.099.060.
ADVERTISEMENT
Rupanya PT Mitra Medidua berkongsi dengan PT Bhineka Usada Raya (BUR) untuk pembelian alkes dengan Purchase Order tertanggal 17 Januari 2006. PT Mitra Medidua lantas membayar harga pembelian alkes dengan total Rp 7.774.140.000 dalam tiga tahap kirim April hingga Mei 2006.
Selain itu, setelah mendapat Pembayaran dari PT Indofarma Tbk, kemudian PT Mitra Medidua pun mentransfer Rp 741,5 juta pada 2 Mei 2006 dan Rp 50 juta pada 13 November 2006 ke rekening milik Yurida Adlani selaku Sekretaris Yayasan Soetrisno Bachir Foundation (SBF).
Yurida mengatakan, Yayasan SBF tidak memiliki rekening sendiri. Karenanya uang dalam rekeningnya bercampur dengan uang Yayasan SBF. Uang untuk yayasan, ketika masuk dalam rekening diberitahukan oleh Nuki ke Yurida tapi tidak disebutkan sumbernya. Setelah uang untuk yayasan masuk, Nuki memerintahkan Yurida untuk mentransfer lagi untuk beberapa kebutuhan termasuk ke sejumlah orang.
ADVERTISEMENT
Yurida memastikan, berdasarkan dokumen rekening koran yang disita KPK dan telah ditunjukkan ke Yuri, memang ada transfer uang masuk dari PT Mitra Medidua. Yurida mengungkapkan, dari print out rekening bank miliknya ada empat kali uang masuk dari pengirim PT Mitra Medidua. Masing-masing Rp 50 juta pada 24 November 2005, Rp 650 juta pada 12 Januari 2006, Rp 119.260.700 pada 16 Maret 2006, dan Rp 741,5 juta pada 2 Mei 2006. Yurida menegaskan, dia pernah diperintahkan oleh Nuki dan Soetrisno Bachir untuk mentransfer uang rekening M Amien Rais. Yurida pun beberapa kali mentransfer dengan jumlah masing-masing Rp 100 juta ke M Amien Rais. Berdasarkan rekening koran, terdata ada enam kali transfer ke Amien kurun 15 Januari hingga 2 November 2007.
ADVERTISEMENT
Nuki Syahrun membenarkan, ada empat kali transfer uang masuk dari PT Mitra Medidua. Tapi dia tidak mengetahui apakah uang yang ditransfer dari PT Mitra Medidua ke rekening Yurida itu terkait dengan pengadaan alkes flu burung atau tidak. Nuki lantas menceritakan bagaimana uang dari PT Mitra Medidua bisa masuk. Mulanya Nuki meminta suaminya yakni Rizaganti Syahrun mentransfer uang Rp 1 miliar. Rizaganti kemudian meminta tolong Andri Krisnamurti. Akhirnya Rizaganti mentransfer melalui rekening PT Mitra Medidua. Nuki menggunakan rekening Yurida sebagai penampung.
Nuki mengungkapkan, uang yang ditransfer melalui rekening PT Mitra Medidua kemudian dipakai untuk beberapa kebutuhan. Di antaranya kebutuhan sehari-hari Nuki dan untuk pembelian saham. Nuki pun membenarkan pernah memerintahkan Yurida mentransfer uang ke M Amien Rais. Seingat Nuki, transfer dilakukan kurun tahun 2005-2007. Setiap kali selesai ditransfer, Yurida selalu melaporkan ke Nuki.
ADVERTISEMENT
Fakta lainnya, Nuki pun berhubungan kuat dengan perkara alkes flu burung tahun anggaran 2006 Ratna Dewi Umar. Nuki pernah menerima honor berupa cek senilai Rp 1,7 miliar dan Rp 273 juta dari PT Airindo Sentra Medika. Uang itu adalah pembayaran atas jasa Nuki membawa produk alkes mobile x-ray merek Siemens milik PT Airindo Sentra Medika ke PT Prasasti Mitra. PT Prasasti Mitra juga adalah pelaksana pengadaan alkes flu burung 2006.
Nama Nuki dan perkara Ratna pun berisian kuat dengan seorang pengusaha besar dengan insial BRT alias RT selaku Direktur Utama PT Prasasti Mitra sekaligus selaku pemilik PT Agis Electronic Indonesia. BRT alias RT menawarkan Nuki untuk menjadi event organizer (EO). Kemudian BRT alias RT memperkenalkan Nuki dengan Sutikno selaku Direktur PT Prasasti Mitra. Sutikno kemudian meminta Nuki untuk membantu mencarikan produk alkes berupa mobile x-ray merek Siemens.
ADVERTISEMENT
Dalam persidangan perkara Ratna, majelis hakim yang menangani perkaranya memerintahkan KPK segera menetapkan Sutikno sebagai tersangka lantaran terlalu berbelit-belit dalam memberikan kesaksian. Lantas siapa ketua majelis hakim yang menangani perkara Ratna? Dia adalah Nawawi Pomolango. Nawawi kini merupakan Wakil Ketua KPK periode 2019-2023. Menarik bukan?
Mantan Direktur Bina Pelayanan Medik Kemenkes Ratna Dewi Umar. Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir.
Baik kita kembali ke fakta persidangan perkara Fadilah. Berdasarkan bukti transaksi/rekening koran milik Yurida yang ditunjukkan di persidangan, ada 10 kali transfer kurun Desember 2006 hingga April 2008. Di antaranya Rp 250 juta ditransfer ke rekening milik Soetrisno Bachir pada 26 Desember 2006 dan Rp 50 juta ke rekening Nuki pada 15 Januari 2007. JPU pada KPK meyakini bahwa uang-uang yang ditransfer Yurida ke rekening Soetrisno dan Amien adalah terkait dengan pengadaaan alkes flu burung.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana pertimbangan majelis hakim? Majelis menilai, memang ada andil Nuki dalam proses penunjukan langsung PT Indofarma Tbk. Majelis memastikan, berdasarkan fakta persidangan baik keterangan saksi-saksi maupun barang bukti yang dihadirkan di persidangan memang ada transfer dari PT Mitra Medidua ke rekening Yuri dan ada transfer dari rekening Yurida ke beberapa pihak setelah diperintah Nuki. Tapi bagi majelis hakim, uang-uang yang diterima Soetrisno Bachir dan M Amien Rais belum bisa dipastikan terkait dengan proyek alkes.
"Bahwa uang ke Soetrisno Bachir dan M Amien Rais belum dapat dipastikan dari proyek alkes atau bukan. Sehingga majelis tidak akan mempertimbangkan lebih lanjut karena tidak relevan," tegas anggota majelis hakim Diah Siti Basariah saat membacakan pertimbangan putusan atas nama Fadilah pada Jumat, 16 Juni 2017.
ADVERTISEMENT
Baik kita berpindah ke fakta-fakta persidangan ihwal penerimaan suap Fadilah. Sekali lagi, ingat bahwa fakta-fakta persidangan tersebut berasal dari keterangan para saksi, ratusan barang bukti, keterangan ahli, hingga keterangan Fadilah sebagai terdakwa.
Semua bermula ketika Masrizal Achmad Syarief selaku Direktur Utama PT Graha Ismaya datang menemui Fadilah di ruang kerja Fadilah di Gedung Kemenkes pada akhir 2006. Dalam pertemuan, Masrizal dan Fadilah berbincang ihwal permasalahan PT Graha Ismaya yang di-black list oleh pihak Kemenkes. Masuk perusahaan dalam daftar black list mengakibatkan perusahaan tidak bisa ikut dalam lelang pengadaan barang dan jasa di Kemenkes. Saat itu Masrizal pun meminta Fadilah agar Fadilah mencabut PT Graha Ismaya dari daftar black list.
Selain itu Masrizal bersama istrinya, Sri Rahayu Wahyuningsih selaku Direktur Keuangan PT Graha Ismaya pun telah menemui Rustam Syarifudin Pakaya pada September 2007. Masrizal menyampaikan bersedia ikut lelang pengadaan. Rustam menyetujui. Masrizal pun memberikan daftar alkes yang diproduksi dan diageni oleh PT Graha Ismaya. Rustam memerintahkan panitia pengadaan untuk menyusun spesifikasi alkes tahap I tahun anggaran 2007 yang akan ditender sesuai dengan yang diproduksi dan diageni oleh PT Graha Ismaya.
ADVERTISEMENT
Sebelum lelang pengadaan alkes tahap I untuk penanggulangan flu burung dilakukan, Masrizal turut menemui Ary Gunawan selaku Direktur Utama PT Indofarma Global Medika (IGM) pada pertengahan September 2007. Ary juga
merupakan teman dekat Fadilah dan almarhum Supari (suami Fadilah). Ary mengutarakan ke Masrizal bahwa PT IGM akan mengikuti lelang alkes tahap I. Ary meminta Masrizal agar PT Graha Ismaya memberikan dukungan sebagai supplier alkes. Masrizal seketika bersedia.
Realisasi dukungan kemudian terwujud dalam surat pernyataan dukungan PT Graha Ismaya terhadap 35 jenis alkes yang diminta oleh PT IGM. Meski lelang pengadaan belum dimulai, PT Graha Ismaya nyatanya langsung memesan beberapa Alkes kepada perusahaan asal Jerman, Rudolf Medical pada 1 Oktober 2007. Pemesanan dilakukan dengan mengatasnamakan "Pusat Penanggulangan Krisis Depkes".
ADVERTISEMENT
Rupanya lelang diadakan pada 10 Oktober 2007 dilaksanakan secara formalitas. Berikutnya Rustam selalu KPA dan PPK menetapkan PT IGM sebagai pemenang lelang pada 19 November 2007. Rustam dan Ary menandatangani kontrak jual-beli pengadaan barang/jasa alkes tahap dengan harga Rp 38.806.962.400 pada 3 Desember
2007.
Sementara itu, Sri Rahayu Wahyuningsih (selanjutnya penulis akan menggunakan nama tengahnya, Rahayu) memberikan cek/giro ke Karno selaku karyawan PT Graha Ismaya agar Karno membeli Mandiri Travellers Cheque (MTC) senilai Rp 1,1 miliar di Bank Mandiri Pondok Indah Jakarta. Sebelum Karno berangkat, bagian keuangan PT Graha Ismaya telah lebih dulu pihak Bank Mandiri.
Karno tiba di bank tersebut. Dia menggunakan KTP atas namanya untuk membeli MTC senilai Rp 1,1 miliar. Pembelian ini sesuai dengan satu lembar asli Formulir Penjualan MTC kepada Karno dan tercatat 44 lembar MTC dengan Nomor: FA 426181 s/d FA 456224, dengan masing-masing denominasi Rp 25 juta, dan jumlah total sebesar Rp 1,1 miliar pada 11 Oktober 2007 di Bank Mandiri Cabang Pondok Indah. Tanggal 11 Oktober 2007 adalah H-2 Idul Fitri 1428 Hijriah yang jatuh pada 13 Oktober 2007.
ADVERTISEMENT
Sepulang dari bank, Karno menyodorkan 44 lembar MTC ke Rahayu. Selanjutnya, Rahayu bertandang ke rumah dinas Menkes yang ditempati Fadilah, saat dihelat silaturahmi atau open house Idul Fitri 2007. Saat berjumpa Fadilah, Rahayu menyerahkan 20 lembar MTC No. FA 456201 s/d No. FA 456220 dengan nilai total Rp 500 juta.
Setelah PT IGM menerima anggaran pengadaan dari Kemenkes, kemudian perusahaan ini melakukan pembelian 35 jenis alkes (sekitar 576 unit) dari PT Graha Ismaya dengan harga total Rp 33.515.103.960 pada Desember 2007. Angka itu jika ditambah PPN 10 persen yakni Rp 3.351.510.396 maka nilai total pembelian Rp 36.866.614.356. Nota penjualan No. 128/GIF/XII/07 kepada PT IGM tertanggal 14 Desember 2007. Sedangkan Perjanjian Jual Beli antara PT Graha Ismaya dengan PT IGM lebih dulu dibuat pada 3 Desember 2007.
ADVERTISEMENT
Dari transaksi jual-beli itu, PT IGM memperoleh keuntungan Rp 1.940.348.044. Ary selaku Direktur Utama PT IGM telah mengembalikan sebesar hasil keuntungan itu ke KPK. Sedangkan PT Graha Ismaya mendapatkan cuan sebesar Rp 15.226.827.007.
Selepas pengadaaan alkes rampung, Rustam meminta Masrizal datang menemui Rustam di kantor Rustam pada Januari 2008. Permintaan itu juga disampaikan Rustam melalui Ary. Masrizal akhirnya datang bertemu Rustam. Beberapa hari kemudian masih di bulan yang sama, Masrizal kembali menemui Rustam. Dalam pertemuan, Rustam menyampaikan bahwa telah membantu mengawal spesifikasi alkes sesuai dengan daftar alkes yang diproduksi dan diageni oleh PT Graha Ismaya. Karenanya Rustam meminta agar Masrizal bisa meminjam uang sekitar Rp 5 miliar dalam bentuk travelers cheque ke Rustam. Rustam menyodorkan alasan, ada yang sedang sakit dan kebutuhan lainnya.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, Masrizal dan Rahayu kemudian memerintahkan Karno untuk membeli MTC di Bank Mandiri Cabang Kebayoran Lama pada 8 Januari 2008 dengan menggunakan KTP Rahayu. Tanggal itu juga, Karno bertandang ke bank tersebut. Berdasarkan salinan Formulir Penjualan MTC ke Karno, termaktub jumlah penjualan pada 8 Januari 2008 di Bank Mandiri Cabang Kebayoran Lama yakni 25 lembar MTC dengan nomor: EA 371121 s/d 371145 @ Rp 10 juta dengan total Rp 250 juta dan 190 lembar MTC dengan nomor: FA 476591 s/d 476780 @ Rp 25 juta dengan total Rp 4,75 miliar. Saat pembelian MTC, Karno menggunakan KTP miliknya dan KTP milik Rahayu.
Sepulang dari bank, Karno menyerahkan seluruh MTC yang dibungkus dalam amplop coklat ke Masrizal. Masrizal menarik 3 lembar MTC yakni No.EA 371143, No.EA 371144, dan No.EA 371145 yang masing-masing senilai Rp 10 juta, kemudian menyerahkan ke Tjitro Atmojo, mertua Masrizal.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari kemudian, Masrizal memasukkan amplop berisi 212 MTC dengan nilai keseluruhan Rp 4,97 miliar ke dalam tas. Marsrizal lantas menemui Rustam di ruang kerjanya di PPMK Kemenkes. Setiba di ruangan, Masrizal mengeluarkan amplop coklat berisi berisi 212 MTC dengan nilai keseluruhan Rp 4,97 miliar. Seluruhnya langsung diserahkan Masrizal ke Rustam. "Terima kasih," kata Rustam saat menerima amplop berisi MTC dengan total Rp 4,97 miliar.
Rustam akhirnya menggunakan 100 lembar MTC dengan nilai Rp 2,47 miliar untuk keperluan pribadinya yakni membayar sebagian dari harga pembelian rumah dengan luas tanah 733 m2 (total harga rumah Rp 5 miliar), di Jalan Mendut Nomor 7, Menteng, Jakarta Pusat. Sedangkan pelunasan rumah oleh Rustam dibayar dengan uang tunai.
ADVERTISEMENT
Masih pada Januari 2008, Rustam menemui Fadilah di ruang kerja Fadilah. Rustam menyodorkan amplop berisi 62 lembar MTC dengan nilai keseluruhan Rp 1,4 miliar. Rinciannya 50 lembar @ Rp 25 juta No. FA476731 s/d FA 476780 dengan total Rp 1,25 miliar; dua lembar @ Rp 25 juta No. FA 476729 s/d FA 476730 dengan total Rp 50 jut; dan 10 lembar Rp 10 juta no. EA371131 s/d EA 371140 dengan total Rp 100 juta.
Nah, saat proses pengadaan alkes tahap I masih berlangsung, Fadilah mengelar pertemuan dengan Rosdiyah Endang Pudjiastuti (adik Fadilah) dan Priyadi (suami Rosdiyah) di rumah dinas Menkes pada Oktober 2007. Saat pertemuan turut hadir Jefri Nedi selaku Komisaris PT Sammara Mutiara Indonesia (perusahaan investasi), Tjondroargo Tandio selaku Direktur Utama PT Sammara Mutiara Indonesia, dan Sri Bimo Ariobuwono selaku Direktur PT Sammara Mutiara Indonesia.
Mantan Kepala Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan/Pusat Penanggulangan Krisis Kemenkes Rustam Syarifuddin Pakaya. Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.
Saat pertemuan, Fadilah bersama Rosdiyah, Priyadi, Jefri, Tjondroargo, dan Sri Bimo membahas investasi yang akan dilakukan oleh Fadilah melalui PT Sammara Mutiara Indonesia (SMI). Fadilah memperkenalkan Rosdiyah ke tiga petinggi PT SMI dan Rosdiyah yang akan membantu mengelola keuangan Fadilah. Nama Rosdiyah pun dipinjam untuk perjanjian investasi antara Fadilah dengan Jefri. Singkat cerita, Rosdiyah dan Jefri menandatangani ‘Kontrak Jasa Pengelolaan Dana' tertanggal 9 Oktober 2007 sejumlah Rp 3 miliar dan Kontrak Jasa Pengelolaan Dana tertanggal 19 November 2007 sebesar Rp 2 miliar.
ADVERTISEMENT
Setelah tahun berganti, Fadilah berjumpa dengan Rosdiyah di rumah dinas Menkes pada Januari 2008. Saat perjumpaan, Fadilah menyodorkan ke Rosdiyah berupa amplop berisi traveller cheque dengan total keseluruhan Rp 5,665 miliar. Rinciannya pertama, berupa 20 lembar MTC no. FA 456201 s/d no. FA 456220 senilai Rp 500 juta yang sebelumnya diserahkan Sri Rahayu Wahyuningsih.
Kedua, berupa 50 lembar MTC no. FA 476731 s/d FA 476780 senilai Rp1,25 miliar, dua lembar MTC no. FA 476729 s/d FA 476730 senilai Rp 50 juta, dan 10 lembar MTC no. EA371131 s/d EA371140 senilai Rp 100 juta, yang sebelumnya diterima dari Rustam. Sehingga total nilai keseluruhan MTC ini yakni Rp 1,4 miliar. MTC yang sebelumnya disodorkan Rustam dan bersumber dari Masrizal. Ketiga, berupa BNI Traveller Cheque sejumlah Rp 650 juta dan MTC lain senilai Rp 3,115 miliar yang dimiliki Fadilah yang perolehannya tidak diketahui asal-usulnya.
ADVERTISEMENT
Usai menerima seluruh MTC dari Fadilah, Rosdiyah bersama Priyadi berjumpa Jefri dan Sri Bimo di Hotel JW Marriott, Mega Kuningan, Jakarta Selatan pada tanggal 19 Januari 2008. Rosdiyah menyerahkan amplop berisi MTC dan BNI Traveller Cheque sejumlah Rp 5,65 miliar, yang sebelumnya diserahkan Fadilah, ke Jefri. Jefri mengambil satu lembar traveller cheque senilai Rp 10 juta. Sri Bimo kemudian membuat tanda terima atas MTC senilai Rp 5 miliar dan BNI traveller cheque senilai Rp 640 juta.
Dari hasil investasi tersebut, Fadilah mendapatkan keuntungan yang kemudian dipakai Fadilah untuk sejumlah kebutuhan dan kepentingan. Di antaranya perhiasan-perhiasan untuk Fadilah, pembayaran cicilan rumah milik milik Djodi Imam Prasodjo (anak Fadilah), kebutuhan rumah tangga Fadilah, kebutuhan pengajian yang diselenggarakan Fadilah di rumahnya, sumbangan pembangunan masjid, sumbangan acara dialog LSM, hingga pembayaran cetak buku yang ditulis Fadilah "Saatnya Dunia Berubah: Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung".
ADVERTISEMENT
Pembayaran cetak buku tersebut dilakukan oleh Rosdiyah dalam dua tahap ke Cardiyan Hendiana Imik Suparmo selaku pemilik penerbit PT Sulaksana Watinsa Indonesia dan editor buku. Di antaranya berupa satu lembar MTC nomor FA 476729 dengan denominasi Rp 25 juta. MTC ini diterima Cardiyan dari Rosdiyah di rumah dinas Menkes sekitar awal Maret 2008. Penerimaan terjadi setelah Cardiyan pulang dari Yogyakarta usai mengikuti kunjungan kerja Fadilah.
Keterangan Cardiyan cocok dengan satu nomor seri MTC dari total 62 MTC yang diserahkan Rustam ke Fadilah pada Januari 2008 yakni “2 lembar MTC @Rp 25.000.000, nomor seri MTC: FA 476729 s/d FA 476730, total Rp 50.000.000”.
JPU dan majelis hakim telah mempertimbangkan keberatan dan bantahan Fadilah atas penerimaan suap, penggunaannya, hingga pemanfaatan hasil keuntungan investasi. Tapi JPU dan majelis hakim menegaskan, keterangan Fadilah haruslah diabaikan. JPU dan majelis menilai, keterangan sejumlah saksi yang saling berkesesuaian disertai berbagai barang bukti yang ada telah menuntun pada kesimpulan bahwa Fadilah telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan dua delik korupsi.
ADVERTISEMENT
Oke kita sedikit kembali ke klaim bahwa Fadilah diperkarakan dan menjalani hukumannya sebagai bentuk konspirasi, Fadilah dibungkam karena tidak bisa berkompromi dengan pihak Barat - WHO -, atau Fadilah korban konspirasi global dan otoritas Indonesia (termasuk penegak hukum), atau perkaranya sebagai bentuk kriminialisasi, atau Fadilah dizalimi, atau Fadilah diperkarakan untuk membunuh karakter Fadilah.
Fadilah dalam keterangannya sebagai terdakwa maupun dalam memori nota pembelaan (pleidoi) telah mengungkap klaim atau tudingan serupa. Hanya saja, selama proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta maupun saat peninjauan kembali (PK), Fadilah dan tim penasihat hukumnya tidak berhasil menghadirkan bukti dan data nyata untuk membuktikan kebenarannya. Padahal Fadilah, kalau mau, bisa beradu bukti dan data agar fakta sebenarnya benar-benar terungkap, agar pahlawan benar-benar pahlawan, dan agar harimau benar-benar harimau.
ADVERTISEMENT
Verifikasi dan Inkonsistensi
Sebenarnya kita harus melihat secara jernih berita-berita yang ditulis para jurnalis dan dilansir berbagai redaksi media massa ihwal perkara Siti Fadilah Supari yang bersumber dari pernyataan beberapa pihak sebelum wawancara Fadilah dengan Deddy Corbuzier, pernyataan Fadilah dalam wawancara tersebut, maupun pernyataan beberapa pihak setelah wawancara itu terjadi. Jurnalis maupun media massa, sepertinya cenderung 'memakan mentah-mentah' pernyataan-pernyataan berisi klaim sebagaimana penulis paparkan di atas tadi.
Jurnalis maupun media massa, seolah kurang hati-hati dan menafikan disiplin pada verifikasi seperti digaungkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku 'The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect'. Yang paling menganga tentu saja berita yang berasal dari pernyataan Fadilah saat diwawancarai Deddy. Jurnalis maupun media massa, seperti dengan sengaja mengambil dan menulis begitu saja omongan Fadilah, tanpa membandingkan dengan fakta-fakta persidangan atau pertimbangan putusan. Padahal harusnya jurnalis dan media massa disiplin pada verifikasi dengan melakukan perbandingan tersebut. Atau mestinya bisa mengonfirmasi ke pihak KPK maupun pihak Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, kalau ingin mengambil bagian dalam wawancara tersebut, seharusnya para jurnalis maupun redaksi media massa juga mencantumkan bagian dalam putusan/pertimbangan putusan atau keterangan saksi saat persidangan terkait benar-tidaknya klaim bahwa Fadilah tidak melakukan korupsi atau tidak terbukti atau tidak ada saksi yang berhasil memastikan.
Menurut penulis, jika dilakukan verifikasi berupa membandingkan dengan fakta-fakta persidangan atau pertimbangan putusan Fadilah, maka dengan sendirinya jurnalis dan media massa menghadirkan objektifitas yang bisa dinilai sendiri oleh khalayak. Dengan begitu, nantinya publik bisa menarik kesimpulan sendiri atas mana yang benar, siapa sebenarnya yang salah, dan seterusnya.
Yang harus diingat oleh kita, wawancara Deddy dengan Fadilah bisa terjadi karena Fadilah yang menelepon dan meminta Deddy untuk dilakukan wawancara. Tapi bagi penulis, ada banyak pertanyaan yang muncul sebenarnya. Di antaranya bagaimana bisa Fadilah memegang ponsel, ponsel siapa yang dipakai, dari mana Fadilah mendapatkan nomor ponsel Deddy, dan siapa yang menyodorkan nama Deddy agar diminta oleh Fadilah guna dilakukan wawancara.
ADVERTISEMENT
Penulis menduga, mungkin saja ada pihak yang pernah membesuk Fadilah dan kemudian merekomendasikan nama Deddy ke Fadilah. Pihak tersebut, kemungkinan menceritakan ke Fadilah ihwal sepakterjang Deddy dengan program podcast #closethedoor Corbuzier di akun YouTube 'Deddy Corbuzier'. Untuk program itu, Deddy telah mewawancarai secara eksklusif sejumlah tokoh dan puluhan juta orang yang telah menonton video-video. Ditambah lagi, Deddy tidak terafiliasi dengan partai politik tertentu dan kepentingan politik apapun.
Dari sisi jurnalistik, kemampuan Deddy dan timnya mengakali dan menerabas penjagaan yang dilakukan petugas saat masa pembantaran perawatan Fadilah di rumah sakit harus diacungi jempol. Kemampuan itu setara dengan jurnalis profesional yang melakukan investigasi atau peliputan berita indepht. Meski begitu, penulis tidak mau masuk dalam perdebatan salah atau tidaknya Deddy menerabas aturan tentang izin mewawancarai narapidana.
ADVERTISEMENT
Penulis melihat dan mendengar secara saksama pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Deddy ihwal perkara korupsi yang dilakukan Fadilah hingga hubungannya dengan perlawanan Fadilah terhadap WHO. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Deddy kurang berbobot serta tidak berbasis pada data, fakta riil, dan bukti yang nyata, tapi berbasis asumsi Deddy semata. Menurut penulis, kalau dilihat video wawancara itu, maka Deddy seperti dibohongi Fadilah tentang perkara korupsi yang nyatanya telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum. Ujungnya, masyarakat yang menonton video seperti dibodohi atau dikelabui tentang perkara Fadilah.
Harusnya sebelum wawancara dilakukan, Deddy mengunduh salinan putusan pengadilan atas nama Fadilah dari Direktori Putusan Mahkamah Agung dan membacanya. Atau, mengumpulkan kepingan-kepingan fakta persidangan dari berbagai pemberitaan media massa. Atau, bisa meminta salinan surat tuntutan atas nama Fadilah dari KPK. Dengan basis seperti ini, Deddy dapat memperkaya argumentasi hingga kemudian melakukan validasi, verifikasi, dan kroscek ulang saat mengajukan pertanyaan ke Fadilah. Dengan demikian, hasil wawancara dapat lebih objektif.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Fadilah saat diwawancarai Deddy, pun menunjukkan Fadilah tidak konsisten. Inkonsistensi Fadilah di antaranya terlihat dari klaimnya bahwa, "Yang Rp 6 miliar itu adalah kerugian negara yang dilakukan oleh eselon II saya. Dan eselon II saya sudah membayarlah dan dia tidak dihukum. Saya dituduh membantu dia, saya dihukum."
Sebagaimana penulis sebutkan sebelumnya di atas bahwa, pernyataan ini jelas sekali merujuk pada nama Mulya A Hasjmy. Saat membacakan pledoi di pengadilan tingkat pertama maupun saat proses persidangan pendahuluan peninjauan kembali, Fadilah menyinggung bahwa Mulya hanya divonis 2 tahun 8 bulan, lebih rendah dari tuntutan terhadap Fadilah maupun vonis terhadap Fadilah.
Mantan Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kemenkes Mulya A Hasjmy. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.
Mungkin saja saat menyampaikan pernyataan ke Deddy, Fadilah terbawa emosi atau Fadilah lupa dengan pernyataannya tentang Mulya saat persidangan. Kelupaan ini bisa saja karena faktor usia Fadilah yang kian senja. Kalau saja Deddy menguasai betul bahan materinya, maka seketika juga Deddy bisa mengingatkan Fadilah. Ah, tapi sayangnya Deddy tidak menguasai.
ADVERTISEMENT
Selepas video wawancara Deddy dengan Fadilah viral dan menuai beragam komentar dan reaksi, Deddy membuat dan melansir klarifikasinya dalam bentuk video di akun Instagram-nya pada Selasa, 26 Mei 2020. Lihat isinya pada tautan:
ADVERTISEMENT
Menurut Deddy, wawancara bisa terjadi karena Fadilah menginginkan adanya informasi untuk masyarakat Indonesia yang bisa membantu bangsa Indonesia segera menyelesaikan pandemi Covid-19. Deddy mengatakan, seluruh isi video podcast tersebut tidak mengandung unsur hoaks dan tidak mengandung unsur provokatif. Apakah Fadilah adalah koruptor atau tidak, tapi yang diambil adalah ilmunya. Deddy berujar, bukan urusan dia apakah Fadilah adalah koruptor atau tidak.
"Jadi saya minta tolong, sudahlah kasihan Ibu Siti Fadilah, beliau berusia 70 tahun lebih. Di luar benar atau tidaknya beliau seorang koruptor, itu bukan urusan saya, dan saya tidak tahu," kata Deddy.
ADVERTISEMENT
Penulis menggarisbawahi pernyataan Deddy, "Di luar benar atau tidaknya beliau seorang koruptor, itu bukan urusan saya, dan saya tidak tahu." Pernyataan ini menunjukkan inkonsistensi Deddy. Ada dua alasan kenapa Deddy tidak konsisten. Satu, video podcast wawancara dengan Fadilah dilansir di akun Youtube-nya maupun potongan video di akun Instagram-nya, Deddy menuliskan caption, "Beliau di tuduh korupsi (tidak terbukti) dan di jebloskan dalam penjara hingga saat ini." Dua, Deddy menjadikan perkara korupsi Fadilah sebagai pertanyaan pembuka yang dibahas kemudian selama belasan menit.
Dengan menuliskam caption dan mengajukan sejumlah pertanyaan ke Fadilah ihwal perkaranya jelas menunjukkan bahwa benar atau tidaknya Fadilah seseorang koruptor adalah urusan Deddy. Andai benar Deddy tidak punya urusan atas benar atau tidaknya Fadilah seorang koruptor, maka Deddy seharusnya tidak menyinggung perkara korupsi yang telah divonis terbukti saat Deddy mewawancarai Fadilah.
ADVERTISEMENT
Penggiringan Opini dan Pembebasan
Penulis sangat mengapresiasi argumentasi Deddy Corbuzier bahwa wawancara Deddy dengan Siti Fadilah Supari kaingi Fadilah ingin berbagi pandangan dan ilmu pengetahuan di antaranya tentang penanggulangan penyebaran pandemi Covid-19. Menurut penulis, wawancara ini bisa terjadi bukanlah rangkaian yang terputus. Ada puzzle yang menghubungkannya dengan pernyataan sejumlah pihak sebelumnya maupun pernyataan-pernyataan Fadilah dari balik jeruji besi yang telah diberitakan media massa.
Berbagai pernyataan dari sejumlah pihak bahwa Fadilah tidak bersalah dan tidak melakukan korupsi ditambah pernyataan Fadilah saat wawancara dengan Deddy, maupun afirmasi yang disampaikan Deddy boleh dibilang ingin menarik simpati dan empati publik. Hal ini bisa dilihat bagaimana Fadilah digambarkan sebagai seorang pahlawan dan berjasa yang berhasil melawan konspirasi pihak Barat - WHO - saat terjadi penyebaran wabah virus flu burung, yang dikorbankan dan dizalimi dengan perkara yang dibuat-buat. Ketika simpati dan empati publik muncul, maka opini publik dengan sendirinya akan tergiring.
ADVERTISEMENT
Selepas video wawancara tersebut viral dan disaksikan jutaan mata, masih ada pula beberapa pihak yang membela Fadilah dengan menyebutkan bahwa Fadilah tidak terbukti korupsi dan merugikan negara, tidak ada saksi termasuk mantan staf Fadilah yang mengatakan Fadilah melakukan korupsi, hingga Fadilah adalah korban hukum yang dijalankan secara diskriminatif. Bahkan kemudian muncul hastag #BebaskanSitiFadilah di media sosial. Dengan banyaknya media mengutip pernyataan Fadilah dalam video, jutaan mata menyaksikan video, ada pernyataan dari beberapa pihak, dan munculnya hastag tersebut, maka Fadilah begitu juga Deddy telah berhasil menarik emosi, simpati, dan empati publik.
Penulis menduga ada alasan lain kenapa Fadilah hanya memilih, meminta, dan mempercayai Deddy yang bisa mewawancarai Fadilah. Fadilah dan/atau pihak yang terkait dengan Fadilah (kemungkinan) membutuhkan orang yang berpengaruh besar dan non-partisan untuk memuluskan pernyataan dan keinginan Fadilah yang selama ini kurang efektif melalui jalur media mainstream. Singkat kata, melalui wawancara dengan Deddy maka keinginan Fadilah makin didengar dan publik dapat dipengaruhi.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Fadilah tersebut lebih khusus di antaranya bahwa Fadilah adalah korban, dizalimi, tidak terbukti korupsi, serta sengaja diperkarakan dan dibungkam karena pernah melawan WHO. Sedangkan keinginan Fadilah yakni mendapatkan pembebasan saat pandemi Covid-19 sebelum masa pidananya selesai. Lihat saja bagian wawancara Fadilah yang mengkritisi bahwa dia tidak dirumahkan dan tudingannya ihwal ketakutan pejabat terkait di Indonesia untuk membebaskan narapidana perkara korupsi dengan kualifikasi seperti Fadilah.
Karenanya Fadilah serta siapapun pihak yang menyampaikan pernyataan bahwa perkara Fadilah adalah konspirasi, Fadilah tidak terbukti melakukan korupsi, dan Fadilah menjadi korban penzaliman, sebaiknya silakan tunjukkan saja bukti, data, dan fakta yang riil. Kalau tidak ada bukti, data, dan fakta yang riil, maka pernyataan demikian hanya tudingan semata atau ibarat angin lalu.
ADVERTISEMENT
Jadi, klaim adanya konspirasi atau penzaliman terhadap Fadilah karena Fadilah pernah melawan pihak Barat - WHO - adalah isapan jempol belaka. Kalau ada bukti data, dan fakta yang riil, ajukan saja lagi sebagai novum untuk peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung untuk kedua kali atau kesekian kalinya. Bukankah seorang terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan PK berkali-kali?
Lantas apakah penulis setuju atau tidak Fadilah mendapatkan remisi atau asimilasi atau pembebasan sebelum masa pidananya selesai pada Oktober 2020? Penulis sepakat dan setuju jika beberapa hal telah terpenuhi atau dengan pengecualian dan pertimbangan. Di antaranya, Fadilah melunasi pembayaran uang denda dan uang pengganti sesuai putusan pengadilan, berkelakuan baik selama menjadi warga binaan Lapas Pondok Bambu, karena pertimbangan andil dan jasanya bagi Indonesia dan dunia dalam bidang kesehatan, karena pertimbangan kemanusiaan dari sisi usia dan kesehatan Fadilah, dan keahliannya membantu Indonesia dalam penanggulangan pandemi Covid-19.
ADVERTISEMENT
Kalaupun remisi atau asimilasi atau pembebasan untuk Fadilah belum bisa diberikan, sebenarnya Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dapat memberikan Cuti Menjelang Bebas (CMB) atau proses pembinaan di luar lapas bagi Fadilah. Di masa CMB itulah, Fadilah dapat membantu pemerintah dalam penanganan dan penanggulangan penyebaran pandemi Covid-19. Toh sebelumnya mekanisme CMB sering kali dipakai Kemenkumham dan Ditjenpas untuk narapidana koruptor.
Para pembaca yang budiman, yang harus juga kita ingat bersama, masih ada sejumlah pelaku lain yang belum ditangani KPK dalam perkara Fadilah dkk. Padahal kalau mau fair, fakta-fakta persidangan termasuk di dalamnya yang ada dalam pertimbangan tuntutan maupun putusan dapat dipakai oleh KPK untuk membuka penyelidikan baru kemudian dinaikkan ke tahap penyidikan. Berikutnya pula, masih ada kerugian negara yang belum berhasil dipulihkan dan dikembalikan ke negara, baik yang dinikmati oleh orang perorangan maupun perusahaan.
ADVERTISEMENT
Bagi jurnalis dan media massa masih ada pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Wabilkhusus pada aspek disiplin pada verifikasi. Di meja redaksi, baiknya juga dipastikan apakah pernyataan pihak tertentu dan pernyataan terpidana khususnya terpidana korupsi setelah sekian lama putusan berkekuatan hukum tetap boleh dikutip dan apa saja batasannya. Karena jangan sampai sebuah kejadian nyata dibuat menjadi nirkala.
Fakta-fakta persidangan perkara Siti Fadilah Supari serta Mulya A Hasjmy, Rustam Syarifuddin Pakaya, Ratna Dewi Umar, dan Freddy Lumban Tobing menunjukkan betapa sangat rawannya penggunaan anggaran dan pengadaan alkes untuk penanggulangan bencana. Kedekatan dan koneksi pimpinan tinggi sebuah kementerian/kembaga/instansi dengan pihak swasta dan pengusaha dapat mengakibatkan terjadinya korupsi, apalagi segala kewenangan dan/jabatannya disalahgunakan. Adanya keinginan pribadi pimpinan tinggi sebuah kementerian/kembaga/instansi dan anak buahnya untuk memenuhi kebutuhan/kepentingan pribadi membuat lingkaran hitam korupsi kian menganga. Berikutnya koneksi dan persekongkolan antar-perusahan swasta, perusahaan swasta dengan perusahaan BUMN baik sebagai pemenang tender atau perusahaan yang ditunjuk atau perusahaan supplier serta dengan pihak swasta lainnya guna mendapatkan keuntungan dengan jalan yang batil makin memperparah keadaan.
ADVERTISEMENT
Bukan tidak mungkin, jika tidak hati-hati maka berbagai modus perkara Fadilah serta Mulya, Rustam, Ratna, dan Freddy Lumban Tobing dapat saja terulang saat pandemi Covid-19 melanda. Karenanya harus dijalankan secara serius pencegahan korupsi pada seluruh aspek anggaran dan pengadaan barang/jasa termasuk alkes untuk penanganan dan penanggulangan penyebaran Covid-19 di Indonesia. Laksanakan dengan transparan, akuntabel, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Pun para pejabat terkait jangan berharap apalagi meminta dan/atau menerima sesuatu apapun bentuknya. Para peserta tender dan pelaksana pengadaan jangan pula menawarkan iming-iming yang menggoda. Jika masih tetap terjadi, jangan heran jeruji besi telah menanti di ujung sana.[]