Ironi Kemiskinan dalam Film Pendek ‘Nilep’

Sabrina Aisya R
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro
Konten dari Pengguna
4 Desember 2021 17:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sabrina Aisya R tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cuplikan film Nilep (dok. Youtube/Ravacana Films)
zoom-in-whitePerbesar
Cuplikan film Nilep (dok. Youtube/Ravacana Films)
ADVERTISEMENT
Film pendek berjudul “Nilep” karya Racavana Films mengisahkan seorang anak kecil yang mencuri mainan dari penjual mainan keliling di kampungnya. Tindakannya itu rupanya mengundang beragam nasihat dari teman-temannya.
ADVERTISEMENT
Bocah yang mencuri mainan tersebut terus diminta oleh temannya untuk mengembalikan mainan curiannya pada sang penjual. Namun, ia menolaknya. Ia akhirnya diajak mendatangi rumah penjual mainan itu. Ia diperlihatkan kehidupan sang penjual yang tampak sulit. Dinding rumah sang penjual mainan itu terbuat dari kayu dan terlihat sederhana.
Metode itu rupanya berhasil. Ia merasa tertampar oleh rasa iba dan ia pun lantas mengembalikan mainan hasil curiannya. Peristiwa ini bukanlah sebuah peristiwa yang asing di dalam kehidupan sosial. Di mana kondisi seseorang yang kurang mampu dimanfaatkan orang lain untuk tujuan tertentu.
Melalui film ini, digambarkan bahwa bocah tersebut baru memiliki keinginan untuk mengembalikan barang curiannya setelah dipertontonkan kehidupan sang penjual yang terkesan penuh kesulitan. Pun di dalam kehidupan sosial yang sesungguhnya, kerap kali kesulitan orang lain digunakan untuk memunculkan rasa iba atau kasihan di dalam perasaan seseorang.
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan poverty porn. Di mana kesusahan orang lain dieksploitasi melalui berbagai media dan dimanfaatkan untuk tujuan tertentu.
Dalam kisah yang disampaikan film “Nilep” ini, pemanfaatan kemiskinan sang penjual mainan terbukti berhasil membuat bocah tersebut mengakui perbuatannya dan mengembalikan mainan curiannya. Ini menjadi bukti bahwa metode tersebut berlaku di dalam kehidupan sosial. Bahkan bisa dikatakan bahwa metode tersebut memiliki manfaat.
Namun, ada satu hal yang amat disayangkan. Bocah tersebut mengembalikan mainan curiannya lantaran merasa kasihan terhadap sang penjual alih-alih karena menyadari bahwa perbuatan mencuri itu bukan perbuatan yang benar. Apa yang tertanam di dalam pikiran menjadi keliru. Seolah benar atau salah suatu perbuatan menjadi satu hal yang bergantung pada kondisi atau keadaan orang lain. Bukan pada nilai perbuatan tersebut dalam kehidupan sosial.
ADVERTISEMENT
Film “Nilep” sukses menggugah penonton bahwa memanfaatkan kemiskinan seseorang nyata terjadi dalam kehidupan sosial. Bahkan pada anak-anak.