Konten dari Pengguna

Apakah Fenomena Toxic Parenting Bisa Berhenti dan Hilang?

Chairunnisa Chaisa
Mahasiswi Psikologi - Universitas Mercu Buana
5 Februari 2023 12:25 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chairunnisa Chaisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ibu marah pada anak. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ibu marah pada anak. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Istilah toxic parenting barangkali sudah tidak asing lagi untuk kita saat ini. Kemajuan teknologi membuat dunia internet atau dunia digital menjadi sangat berpengaruh pada kehidupan, baik untuk diri sendiri maupun bermasyarakat.
ADVERTISEMENT
Salah satu aspek yang menjadi bagian penting pada pengaruh adanya dunia internet atau dunia digital adalah perkembangan ilmu-ilmu psikologi.
Saat ini sudah banyak sekali platform di media sosial yang mengangkat tema terkait psikologi dan contoh-contoh penerapannya untuk kehidupan sehari-hari. Bahkan, informasi perihal biro-biro layanan psikologi sudah menjamur dan menjadi bagian yang tidak asing lagi di masyarakat.
Salah satu tema psikologi yang lekat dengan kehidupan adalah fenomena toxic parenting. Apakah itu fenomena toxic parenting? Menurut (Forward & Buck, 2002), toxic parenting biasanya terjadi sebagai sebuah cycle atau mata rantai yang terus berulang.
Ilustrasi anak marah. Foto: Shutter Stock
Orang tua yang melakukan toxic parenting pun bisa jadi sebenarnya merupakan korban dari toxic parenting yang dilakukan oleh orang tua mereka. Pengalaman-pengalaman tersebut akhirnya terus menumpuk dan mengubah cara berpikir mereka, sehingga tanpa sadar mewariskan hal tersebut di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Menurut (Indrawati, Endang et al., 2014) keluarga toxic memberikan efek jangka panjang bagi anak, terutama pada sisi psikologis yang dapat mengakibatkan trauma. Terlebih lagi, trauma ini justru berpotensi kepada penerapan pola hidup toxic tersebut kepada keluarga yang akan anak ini bangun di masa mendatang.
Mata rantai yang terus berulang pada fenomena toxic parenting tentu saja menjadi sebuah tantangan bagi generasi saat ini yang sudah memiliki self-awareness pada kesehatan mental namun barangkali terpapar pada pola asuh yang tidak menyenangkan dari orang tuanya.
Beberapa contoh kasus yang terjadi pada fenomena toxic parenting antara lain: orang tua yang sulit memberikan pujian atas pencapaian anak, orang tua yang mudah meremehkan kemampuan anak, orangtua yang membanding-bandingkan anak dengan saudara atau teman sebayanya, orang tua yang tidak mempunyai kapabilitas untuk membangun rasa percaya diri anak, dan lain sebagainya.
Ilustrasi anak dimarahi ibu. Foto: Thinkstock
Sedangkan jika dilihat dari bentuknya, toxic parenting dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu kekerasan fisik, kekerasan verbal, dan kekerasan emosional.
ADVERTISEMENT
Contoh kekerasan fisik seperti orang tua yang ringan tangan memukul, menampar, atau mendorong tubuh anak. Contoh kekerasan verbal seperti orang tua yang mudah mengkritik hasil usaha anak, sering memberikan makian atau mengucapkan kata-kata yang menyebabkan anak merasa sakit hati.
Contoh kekerasan emosional seperti orang tua yang tidak sulit mengapresiasi keberhasilan anak, tidak mempunyai rasa empati atas emosi yang dirasakan anak, dan tidak mampu memberikan dukungan atas impian atau cita-cita yang ingin diraih oleh anak.
Pada fenomena ini, orang tua sebagai pelaku disebut toxic parent, sedangkan kesalahan pola asuh yang dilakukan oleh orang tua sebagai pelaku disebut toxic parenting.
Ilustrasi anak takut. Foto: Shutter Stock
Anak sebagai korban pada fenomena ini mempunyai kemungkinan-kemungkinan untuk merasa mudah bersalah, ketakutan, tertekan pada keharusan patuh kepada orang tua secara berlebihan, merasa trauma, memiliki gangguan suasana hati, kemampuan berpikir yang lamban, kendali emosi yang tidak stabil, merasa kesepian, sulit mengekspresikan emosi, dan/atau merasa tidak berharga.
ADVERTISEMENT
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan mental sebagai keadaan sosial dan kesejahteraan emosional, bukan hanya tidak adanya gangguan.
Dengan demikian, kesehatan mental adalah sumber daya untuk hidup, penting bagi semua anak-anak untuk berkembang dan penting bagi pembangunan manusia yang optimal dan berfungsi di sepanjang kehidupan. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental pada anak (Waddell, dalam Puspita 2019).
Ilustrasi kedekatan orang tua dan anak. Foto: LightField Studios/Shutterstock
Berdasarkan hasil survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) pada bulan Oktober 2022, sebanyak satu dari tiga remaja berusia 10-17 tahun di Indonesia memiliki masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir.
Jumlah itu setara dengan 15,5 juta remaja di dalam negeri. Maka, mata rantai pada fenomena toxic parenting ini perlu menjadi perhatian khusus di masyarakat Indonesia untuk mencapai taraf kesejahteraan mental yang lebih baik di masa depan.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa hal-hal yang bisa dilakukan untuk memutus mata rantai fenomena toxic parenting di masyarakat, yaitu antara lain:

1. Self-Awareness Anak sebagai Korban untuk Sembuh dari Luka dan Trauma

Ilustrasi anak trauma. Foto: Shutter Stock
Maraknya informasi terkait ilmu-ilmu psikologi di berbagai platform media sosial bisa membantu anak yang menyadari bahwa ia memiliki luka dan/atau trauma akibat mengalami toxic parenting dari orangtuanya untuk bisa sembuh.
Proses penyembuhan dapat dilakukan melalui cara self-healing dan melakukan konsultasi kepada psikolog di biro layanan psikologi atau psikiater di rumah sakit.

2. Peran Lingkungan untuk Kesehatan Mental Anak

Ilustrasi kesehatan mental ibu atau wanita alami depresi. Foto: aslysun/Shuttterstock
Tidak semua anak korban dari fenomena toxic parenting memiliki self-awareness terhadap kondisi kesehatan mental dirinya sendiri. Jika menemukan anak dengan gangguan psikologi akibat mengalami toxic parenting, peran lingkungan di sekitarnya seperti keluarga selain orangtua, saudara, kerabat, atau teman-teman bisa membantu mengarahkan anak tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal itu dilakukan untuk menyadari bahwa dirinya memiliki luka atau trauma dan perlu disembuhkan agar luka atau trauma tersebut tidak berkelanjutan di masa depan.

3. Sosialisasi Edukasi Parenting Melalui Media Sosial

Ilustrasi inspirasi parenting dari berbagai dunia. Foto: Shutter Stock
Media sosial mempunyai peranan penting dan bisa memberikan pengaruh yang besar terhadap pemutusan mata rantai toxic parenting. Berbagai platform media sosial bisa menjadi bahan pembelajaran yang efektif dan efisien terkait parenting untuk para orangtua muda agar menjadi orangtua yang baik untuk anaknya.
Pemutusan mata rantai fenomena toxic parenting atau setidaknya pengurangan jumlah korban dari kasus ini bisa terjadi jika ada upaya yang dilakukan oleh anak sebagai salah satu unsur penting di dalam regenerasi.
Tentu saja, anak sebagai korban perlu mengetahui bahwa di dalam dirinya ada luka dan/atau trauma yang diturunkan oleh orangtua baik disadari maupun tidak disadari.
ADVERTISEMENT
Jika kesadaran diri itu tidak ada, setidaknya anak sebagai korban perlu dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki empati dan kepedulian pada kesehatan mental agar pemutusan mata rantai atau pengurangan jumlah korban dari kasus ini bisa terlaksana.