Konten dari Pengguna

3 Orang, 3 Subuh

Saddam fattah
Mahasiswa Universitas Pamulang, Fakultas Sastra Indonesia. Saya adalah seorang penulis yang menggunakan tulisan sebagai medium kebebasan diri. Seperti kata orang-orang, penulis bisa mati, tapi tulisannya abadi
30 Desember 2024 14:23 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Saddam fattah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
facebook.com/DidiWasidi
zoom-in-whitePerbesar
facebook.com/DidiWasidi
ADVERTISEMENT
Malam itu sunyi di sekitar pos ronda, hanya terdengar suara jangkrik dan kadang angin malam yang berhembus pelan. Lampu gantung di pos itu berkelip-kelip redup, mengeluarkan cahaya kuning yang memantul di permukaan jalan. Di tengah kesunyian malam, Saddam dan aku duduk berdua di pos ronda kecil ini, dikelilingi kegelapan yang hampir total.
ADVERTISEMENT
Tidak ada suara hujan, hanya kesunyian malam yang mendalam, yang seolah mengundang setiap percakapan menjadi lebih berarti. Aku menatap Saddam, yang duduk bersandar pada tiang pos ronda. Malam yang dingin ditemani secangkir kopi dan sebungkus rokok menjadi saksi obrolan kami yang tak berkesudahan. Aku menyeringai kecil, menyalakan rokokku, lalu melontarkan sebuah kalimat yang tak pernah ku sangka akan menjadi awal diskusi panjang.
"Kamu lahir untuk hal-hal besar, Ad Maiora Natus Sum," ujarku dengan nada sedikit menggoda.
Saddam mengernyitkan dahi, seperti biasanya, setiap kali mendengar kata-kata aneh dariku. "Hal-hal besar gimana?" tanyanya, setengah bingung, setengah penasaran.
"Ya hal-hal besar. Gitu aja gak ngerti. Goblok!" sahutku dengan tawa kecil. Namun, sebelum ia sempat mengumpat balik, aku buru-buru melanjutkan, "Hal-hal besar itu melampaui dirimu sendiri. Bukan Cuma buat kepentingan rumahmu, tapi meluas sejauh cakrawala, bahkan meliputi dunia. Di situlah tempatmu mencipta dan berkarya." Saddam menatapku, sorot matanya berubah serius. "Jadi, kalau kita bersandar pada hal itu, kita bisa mencetak orang-orang yang sadar, bahwa 'wah, berarti aku bisa nih berbuat sesuatu yang lebih', ya kan?"
ADVERTISEMENT
Aku tersenyum, kagum dengan cara otak Saddam bekerja. "Nah iya, Dam. Orang-orang itu gak boleh takut. Mungkin mereka akan tergelincir, namanya juga manusia. Tapi pas mereka jatuh, mereka bakal bangun lagi."
Saddam menyeringai. "Ha-ha, gokil ya kita. Kau lebih tepatnya. Malam- malam begini obrolan makin tidak tentu arah. Cuma modal rokok sebungkus dan kopi segelas, bisa ngomongin ginian. Kalau ada rokok dua bungkus, aku rasa kita bisa reshuffle kabinet kerja Pakde, haha!"
Aku ikut tertawa. Suara tawa kami menggema di pos ronda kecil itu. Malam semakin larut, tapi perbincangan kami tak kunjung habis. Kami melompat dari satu topik ke topik lain, mulai dari agama, teori konspirasi, hingga hal-hal konyol yang entah kenapa selalu muncul di tengah malam. Saddam mengisap rokoknya dalam-dalam sebelum bertanya, "Apa kau pernah kepikiran, kenapa semakin otoriter penguasa, semakin mereka benci sastra? Emangnya bisa berbahaya itu sastra di mata mereka?"
ADVERTISEMENT
Aku segera menyeruput kopi dan berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Saddam. "Sastra yang kebanyakan cuma berupa tulisan hasil pemikiran, jadi salah satu musuh utama pemerintahan otoriter. Sastra jadi bahaya ya karena sastra itu sendiri menginginkan dunia yang indah bukan represif." Pungkas ku.
Bermandikan cahaya lampu pos ronda, Saddam memandang ke arah jalan, matanya menerawang seperti sedang mencari sesuatu di antara gelapnya malam. Aku tahu, saat dia dalam posisi seperti itu, pikiran kecilnya sedang berkelana jauh.
Tiba-tiba, ia menoleh padaku. "Ya emang bener sih," katanya, suaranya pelan tapi penuh keyakinan. "Sastra yang seringkali melahirkan gagasan-gagasan kritis bisa jadi mengancam ketahanan pemerintahan yang otoriter." Ia berhenti sejenak, mengambil napas, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Sastra seringkali dipandang sebagai ancaman oleh pemerintah otoriter karena kemampuannya merangsang pikiran dan menyuarakan keberagaman pandangan. Justru, keindahan sastra ya ada di kemampuannya mengeksplorasi sudut pandang yang berbeda dan memicu perdebatan, hal yang tadi ku bilang tentunya menimbulkan ketidaknyamanan bagi penguasa yang ingin menjaga kekuasaannya tanpa kritik."
ADVERTISEMENT
Aku mengangguk, meski kepalaku sedikit berputar memikirkan betapa dalamnya pemikiran kecil Saddam menyelam. Di bawah lampu kuning temaram pos ronda itu, ia tampak seperti seorang filsuf yang sedang menggubah petuah hidup. Sambil merapikan jaketnya, ia melanjutkan.
"Lagian ya," katanya, kali ini suaranya lebih santai, "sastra tuh mau buat dunia jadi lebih asyik dan santai, bukan membuat kita malah merasa dikekang aturan-aturan yang bikin sesak. Sastra tuh mirip sama teman yang selalu buka pintu buat kita meluapkan perasaan, pikiran, dan mengungkapkan pengalaman kita tanpa takut di judge atau dibatasi. Dia mengejar kebebasan berekspresi dan menggambarkan dunia dalam warna-warni yang realistis tapi tetap indah." Aku tersenyum kecil, menikmati cara Saddam mengungkapkan pikirannya, seperti seorang pelukis yang mencelupkan kuas ke dalam palet kata-kata. Namun, ia belum selesai.
ADVERTISEMENT
"Jadi, sastra tuh mengajak kita buat lihat sisi kehidupan yang melimpah, gak cuma yang biasa-biasa aja. Dia juga bikin kita mikir, merenung, dan paham lebih dalam soal hidup. Intinya, sastra tuh kayak obat buat hati dan pikiran kita, biar bisa lebih waras, lebih peka, dan lebih aware sama yang sekitar, gitu." Kata-katanya bergema dalam pikiranku seperti musik yang indah tapi menyayat. Aku memandangnya dengan takjub. Saddam dan pikiran kecilnya memang selalu punya cara untuk menyuarakan hal- hal yang sulit kugambarkan sendiri.
"Betul apa yang kau bilang, Dam," akhirnya aku berkata setelah terdiam cukup lama. "Tapi sayangnya, pemerintah melihat hal-hal itu sebagai ancaman. Bukannya malah menjadikan sastrawan-sastrawan yang mengkritisi mereka itu sebagai bahan buat evaluasi, mereka malah takut ke eliminasi." Aku tertawa kecil, merasa senang bahwa percakapan kami yang awalnya ringan kini menyentuh hal yang lebih dalam. Tapi sebelum aku sempat menjawab, suara berat yang familiar menginterupsi kami.
ADVERTISEMENT
"Widiihh, kalian berdua masih suka nongkrong di pos ini."
Kami serentak menoleh. Sosok Rudi berdiri di depan kami, tersenyum lebar dengan dua bungkus rokok di tangannya. Wajahnya terlihat lebih tua, tapi matanya masih memancarkan kehangatan yang sama. "Rud! Kapan lu balik? Kok gak kasih kabar?" seru Saddam, senang bercampur heran. Rudi tertawa kecil. "Kalau ku beri kabar, kalian bakal repot, kan? Aku sudah tau sekali, kalian kalo nongkrong cuma modal rokok sebungkus sama kopi segelas."
Aku dan Saddam tertawa. Malam itu, kami bertiga berbicara panjang lebar, seolah waktu lima tahun tak pernah memisahkan kami. Obrolan meluas ke topik-topik yang semakin absurd, dari kebohongan hidup, ketakutan akan kematian, hingga cinta yang menyakitkan. Namun, di tengah tawa dan kehangatan itu, aku mulai merasa ada sesuatu yang aneh. Rudi tampak lebih pendiam dari biasanya. Ia menunduk, merenung, sebelum akhirnya bergumam, Rudi memandang kami berdua dengan tatapan penuh pertanyaan, bibirnya sedikit terbuka seperti masih berusaha mencerna apa yang harus dikatakannya. Sebuah gumaman keluar dari mulutnya, seolah mempertanyakan ketidakpastian dunia. "Kebohongan yang indah," ujarnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada kami. Saddam, yang sejak tadi duduk dengan tenang, menatap Rudi sejenak sebelum menghembuskan asap rokoknya. Udara sekitar mereka terasa agak berat, penuh dengan refleksi dari percakapan yang baru saja dimulai. Rudi tak berhenti, suaranya penuh dengan keresahan. "Mengapa semua orang lebih memilih untuk dibohongi?" tanya Rudi, seakan mengharapkan sebuah jawaban yang bisa membebaskan pikirannya.
ADVERTISEMENT
Saddam mendekat sedikit, wajahnya menyiratkan pemahaman yang lebih dalam. Asap rokoknya berputar di udara seiring dengan setiap kata yang keluar. "Soalnya kebohongan tuh menenangkan jiwa, Rud. Mereka takut pada kenyataan akan kematian, takut akan kebenaran yang menyayat hati. Mereka ingin berpegangan pada harapan, pada mimpi yang mereka ciptakan sendiri," jawabnya, suara itu datar tapi sarat makna.
Rudi tetap memandang Saddam, mata yang berkilat seolah menanti penjelasan lebih lanjut. "Tapi bukannya kematian juga sebuah kebenaran, Dam?" tanya Rudi, seperti mencoba menggali lebih dalam lagi tentang pandangan Saddam.
Saddam menghela napas pelan, bibirnya sedikit melengkungkan senyum pahit. "Kematian datang untuk semua orang, tanpa pandang bulu. Kematianlah yang membebaskan mereka dari penderitaan, dari kekecewaan, dari harapan yang tertunda," kata Rudi, matanya terlihat penuh empati namun juga sebuah pengertian yang tidak mudah dijelaskan.
ADVERTISEMENT
Aku merasa tertekan oleh percakapan ini. Senyum pahitku kembali terukir di wajah, memandang ke jauh di luar sana. "Ya, Rud, kematian emang sebuah kebenaran. Tapi, kebenaran yang tidak mereka inginkan, yang mereka takuti. Mereka takut kehilangan apa yang mereka cintai, mereka takut kehilangan cinta itu sendiri. Dan kehidupan, dalam kebohongan indahnya hidup, membiarkan mereka berpegangan pada cinta itu, setidaknya untuk sementara waktu." Ujar Saddam.
Phiti by republika/debbie sutrisno
Pertanyaan Rudi yang terus datang seakan mencabar keyakinanku. "Emangnya itu adil?" tanyanya lagi, dengan nada yang lebih tajam.
"Apa adil untuk membuat mereka berpegang pada kebohongan, untuk menyangkal kenyataan yang pasti akan datang?" lanjutnya, semakin mendalam dengan pandangannya.
Aku berbalik menatapnya, dengan suara yang berusaha meyakinkan. "Adil. Rud, adil itu adalah sebuah kata yang relatif. Setiap orang memiliki pengertian adil mereka sendiri. Bagi mereka yang masih mencintai, adil untuk merasakan cinta itu, bahkan jika hanya untuk sementara. Bagi mereka yang masih memiliki mimpi, adil untuk mengejar mimpi itu, bahkan jika itu cuma fatamorgana. Kehidupan cuma jembatan antara harapan dan kenyataan, antara mimpi dan keputusasaan."
ADVERTISEMENT
Rudi mendekat lagi, suaranya semakin berat dengan keresahan. "Tapi nih ya, coba kalian berdua dengarkan aku lagi," katanya, mencoba mencari jalan lain dalam pandangannya. "Apa kalian gak lihat betapa banyak orang yang terpuruk dalam kesedihan karena takut kehilangan kehidupan? Emangnya kalian gak lihat betapa banyak orang yang terjebak dalam kebohongan kehidupan, melupakan kenyataan yang sebenarnya?"
Saddam kembali menarik napas dalam, matanya lebih tajam menatap Rudi. "Ya, Rud, tentu aku melihatnya. Tapi aku juga melihat betapa banyak orang yang tumbuh lebih kuat karena menghadapi kenyataan akan kematian. Aku juga melihat betapa banyak orang yang menemukan makna hidup mereka di tengah ketakutan kehilangan. Aku melihat betapa banyak orang yang menemukan cinta sejati di antara kebohongan indah kehidupan."
ADVERTISEMENT
Rudi terdiam, merenung sejenak, lalu mengajukan pertanyaan yang lebih dalam, menggali apa yang ada dalam benaknya. "Terus, kalian percaya gak kalo semua orang akhirnya akan menerima kenyataan? Menerima kematian?"
Aku dan Saddam saling bertukar pandang sejenak, senyuman yang penuh pengertian terukir di wajah kami. “Tentu aku percaya Rud. Gak semua orang, gak sekaligus. Tapi sedikit demi sedikit, mereka akan memahami. Mereka akan menyadari bahwa cinta tuh gak hilang, bahkan saat tubuh lenyap. Mereka akan memahami bahwa mimpi gak mati, bahkan saat kita tertidur dalam kekekalan. Kematian dan Kehidupan, akan selalu ada di sana, untuk menyambut mereka, untuk membantu mereka memahami.”
Rudi mengangguk pelan, akhirnya menemukan kedamaian dalam jawaban yang kutawarkan. "Jadi, Kehidupan dan kematian memang dua sisi mata uang yang sama," gumamnya, seolah sedang merangkai pemikiran yang lebih luas lagi.
ADVERTISEMENT
Saddam mengangguk, tidak terburu-buru. "Kehidupan dan kematian adalah dua kekuatan yang saling melengkapi, yang menciptakan siklus ini."
Aku tersenyum, merasa seolah-olah obrolan ini telah membawa kami pada pemahaman yang lebih mendalam. "Ya, Rud," jawab Saddam. "Kehidupan dan kematian adalah dua kekuatan yang tak terpisahkan. Mereka adalah dua sisi yang sama, yang membentuk tatanan dunia ini."
Adzan subuh sudah mulai berkumandang dan mencegah kami yang sudah hampir mengkritisi rezim Orde Baru. Dengan itu, percakapan kami berakhir, meninggalkan ruang yang penuh dengan pemikiran dan refleksi tentang kehidupan, kematian, dan segala hal yang ada di antara keduanya.
"Yaudah lah Dam, Rud. Udah subuh nih, waktunya pulang gak si? Adzan subuh nyuruh kita bubar soalnya kita bentar lagi bakal mengkritisi rezim orba dulu." Sahutku dan adzan subuh yang berusaha menghentikan perbincangan.
ADVERTISEMENT
"Ha-ha Ha-ha". Saddam dan Rudi pun tertawa. "Yaudah cabut dulu yaa." Saddam dan Rudi berjalan bersama karena rumah mereka searah, dan aku berjalan ke arah yang berlawanan.
Sesampainya di rumah, aku langsung bersih-bersih dan bergegas untuk tidur. Kepenatan semalam seolah terhapus begitu aku merebahkan diri di kasur yang empuk. Saat mataku terpejam, bayangan akan percakapan kami yang hangat, tawa yang ikhlas, dan serunya suasana di pos tadi, hadir kembali. Sudah lama sekali rasanya aku tidak mendengar tawa mereka berdua. Sesuatu yang dulu menjadi bagian tak terpisahkan dalam hari-hariku. Tawa yang mengingatkanku pada masa-masa yang sederhana, penuh canda, tanpa beban.
Tiba-tiba, aku terbangun. Terasa aneh, ada sesuatu yang membuat hatiku gelisah. Sejenak aku memejamkan mata, mencoba mengingat kembali apa yang baru saja terjadi. Ternyata itu mimpi-mimpi yang sangat nyata. Mimpi yang mengingatkanku pada mereka, Saddam dan Rudi. Wajah mereka, tawa mereka, segala kenangan itu datang begitu hidup. Keduanya yang dulu selalu ada, kini hanya tersisa dalam kenangan. Seperti sebuah peringatan halus dari alam bawah sadar, aku sadar bahwa sudah lama aku tidak mengunjungi mereka. Mereka yang pernah menjadi bagian dari hidupku, kini hanya ada dalam mimpi.
Phoyo by kota administrasi Jakarta Timur
Tanpa pikir panjang, aku segera bersiap. Aku harus ke makam mereka berdua. Sudah terlalu lama aku tidak datang, terlalu lama aku terlarut dalam kehidupan yang berjalan tanpa henti. Aku mengenakan jaket dengan cepat, melangkah ke luar rumah, dan bergegas menuju tempat yang sudah lama tak kukunjungi. Langkahku terasa berat, namun entah kenapa, sebuah dorongan batin yang kuat membuatku harus melakukannya. Makam itu menjadi saksi bisu perjalanan panjang kami, kenangan yang tidak bisa tergantikan oleh apapun. Mungkin mereka tidak lagi di sini, namun ikatan kami tetap ada di hati, dalam setiap doa, dalam setiap kenangan yang tak lekang oleh waktu.
ADVERTISEMENT