Konten dari Pengguna

Putus Asa: Memahami Konflik Dalam Diri

Saddam fattah
Mahasiswa Universitas Pamulang, Prodi Sastra Indonesia. Saya adalah seorang penulis yang menggunakan tulisan sebagai medium kebebasan diri. Seperti kata orang-orang, penulis bisa mati, tapi tulisannya abadi
13 Januari 2025 9:28 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Saddam fattah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Putus asa adalah perasaan yang mungkin pernah dirasakan semua orang. rasanya seperti berjalan di lorong tanpa melihat ujungnya. tidak ada yang lebih melelahkan daripada terus berharap, tapi tak kunjung melihat hasilnya. dalam momen seperti ini, kita sering bertanya-tanya: kenapa semuanya terasa begitu berat?
Sumber foto: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: Pixabay.com
menurut Sigmund Freud, konflik internal dalam diri kita bisa menjadi akar dari keputusasaan ini. Freud membagi kepribadian manusia menjadi tiga bagian utama: id, ego, dan superego, sederhananya id adalah sisi liar kita, yang selalu ingin memuaskan keinginan tanpa peduli konsekuensi. Ego, di sisi lain, adalah bagian yang mencoba membuat kita realistis. Sementara itu, superego adalah suara moral di kepala kita yang sering kali mengingatkan, “Kamu harus lebih baik.”
ADVERTISEMENT
Saat kita merasa putus asa, sebenarnya ketiga elemen ini sedang bertarung dalam diri kita. Misalnya, ada keinginan kuat untuk menyerah (id), tapi ego mengingatkan bahwa kita harus tetap berjuang, sementara superego mungkin menyalahkan diri sendiri karena merasa gagal. semua ini bercampur menjadi konflik batin yang melelahkan.
Namun, rasa putus asa bukan cuma urusan Psikologi. Sastra juga sering menggambarkan perasaan ini dengan cara yang sangat menyentuh. Chairil Anwar, misalnya, dia punya cara sendiri dalam menghadapi keputusasaan. Dalam puisi “Aku”, ia menulis, “Aku Ini binatang jalang, dari kumpulannya yang terbuang.” Kalimat itu seolah menyatakan bahwa meskipun hidup terasa tidak adil, ada kekuatan dalam pemberontakan terhadap putus asa. Bukannya menyerah, ia justru menegaskan keberadaannya.
ADVERTISEMENT
Jika kita melihat keputusasaan dari dua sisi ini—Psikoanalisis dan Sastra— ada pelajaran besar yang bisa dipetik. Dari sudut pandang Sigmund Freud, rasa putus asa adalah bagian dari konflik alami dalam diri manusia. Dari sudut pandang sastra, putus asa justru bisa menjadi jalan untuk menemukan makna baru.
Sumber foto: istoxk/doidam10
Pada akhirnya, putus asa bukan hanya soal kehilangan harapan. Ia adalah momen di mana kita bertemu dengan diri sendiri, merenung tanpa apa yang benar-benar penting, dan mungkin, menemukan keberanian untuk melangkah lagi. Jadi, jika kamu sedang merasa putus asa, ingatlah bahwa kamu tidak sendiri. Bahkan dalam kegelapan, ada peluang untuk memahami diri lebih dalam dan menemukan jalan keluar, meskipun perlahan.