Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Sedih dan Bahagia
5 Januari 2025 14:37 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Saddam fattah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di pagi yang cerah seperti pagi-pagi biasanya, Saddam memacu motornya, pelan melaju di jalanan yang mulai ramai. Suara knalpot, klakson bersahutan, ditambah pedagang kaki lima yang sibuk menawarkan dagangan di trotoar. Di belakangnya, Ginting duduk sambil menopang dagu di helm Saddam.
“Dam, pernah gak sih lu ngerasa kayak... kebahagiaan tuh Cuma ilusi?” Ginting membuka pembicaraan, suaranya hampir tenggelam oleh hiruk pikuk jalanan.
ADVERTISEMENT
Saddam melirik sekilas melalui kaca spion. Jalanan yang padat membuatnya sedikit sulit untuk fokus. “Kenapa sih, brok, tiba-tiba ngomongin hal kayak gitu? Ada masalah?”
Ginting menghela napas, sepertinya ada sesuatu yang mengganjal. “Bukan masalah,” jawabnya cepat. “Cuma... gua kepikiran. Kita tuh sering banget nyari bahagia. Tapi begitu dapet, kenapa rasanya kayak nggak pernah cukup?”
Saddam mengernyitkan dahi, mencoba menangkap maksud temannya yang satu ini. Tetapi lampu merah di persimpangan memaksa mereka untuk berhenti. Ia menoleh sedikit ke belakang, mencoba memahami suasana hati Ginting. “Lu ngomong kayak gitu gara-gara abis diputusin si Nina, ya?”
“Nggak kesitu dong, Dam arahnya,” jawab Ginting sambil tersenyum miring. “Ini serius. Gua liat di YouTubenya Ferry Irwandi, otak kita tuh sebenarnya nggak punya sirkuit khusus buat bahagia. Kebahagiaan itu Cuma hasil rekayasa. Dibuat-buat sama otak kita sendiri.”
ADVERTISEMENT
Saddam mendengus kecil, mendengar penjelasan yang agak aneh itu. “Rekayasa? Jadi bahagia tuh bohong?”
“Nggak bohong, Dam. Cuma sementara. Kayak mimpi yang tiba-tiba bangun terus hilang. Tapi kalau kesedihan, beda. Dia nempel, punya tempat khusus di otak kita.”
Saddam terdiam, mencerna kata-kata Ginting yang terasa berat. Motor kembali melaju ketika lampu hijau menyala. “Kalau dipikir-pikir, iya juga ya. Gua bisa lupa momen-momen bahagia, tapi kesedihan? Itu malah selalu gua inget. Bahkan detail-detailnya.”
“Karena kesedihan itu masuk ke memori, ke emosi,” Ginting melanjutkan, berbicara dengan nada lebih serius. “Dia kayak puisi, Dam. Nggak Cuma ada, tapi punya makna. Sementara kebahagiaan, dia Cuma jadi momen yang tiba-tiba lewat.”
Di persimpangan lain, seorang pengamen mendekat dengan gitar tua di tangannya, menyanyikan lagu tentang cinta yang kandas. Saddam membuka kaca helmnya, memberikan beberapa koin, lalu melajukan motor kembali.
ADVERTISEMENT
“Lu tahu ga brok?” Saddam berbicara sambil fokus ke jalan. “Kadang gua mikir, bahagia itu sebenernya sederhana. Kayak ngasih duit ke pengamen tadi. Nggak seberapa, tapi mereka tersenyum.”
Ginting mengerutkan kening, merenung sejenak. "Tapi sederhana itu juga sementara," jawabnya. "Coba deh, Dam. Bahagia itu nggak pernah jadi kenangan. Kita Cuma ngerasa pas lagi ngalamin aja. Setelah itu hilang."
"Kesedihan jadi kenangan, gitu?" Saddam melirik lewat spion, menanyakan lebih lanjut.
"Lebih dari itu. Kesedihan itu kayak lukisan. Kita bisa ngeliatnya berkali-kali, dan tiap kali ngeliat, rasanya tetap sama. Sakit, tapi indah." Ginting menghela napas, matanya menerawang jauh seakan mencari sesuatu yang dalam di udara sekitar.
Saddam tertawa kecil. "Cocok lu jadi penyair, brok."
ADVERTISEMENT
"Serius, Dam. Kebahagiaan itu terlalu gampang dilupakan. Makanya manusia terus-terusan ngejar bahagia, tapi nggak pernah puas," kata Ginting, dengan suara sedikit lebih dalam dan penuh makna.
Di depan mereka, seorang pria terlihat berdebat dengan pasangannya. Suara mereka terdengar hingga ke jalan. Saddam menggeleng pelan. "Itu seni juga, brok? Teriak-teriak di jalan?"
Ginting tertawa ringan. "Bisa jadi. Seni kan soal ekspresi. Tapi ada batasnya," jawabnya sambil tersenyum tipis. "Kalau Cuma teriak tanpa makna, ya itu gila aja mungkin."
Mereka tertawa kencang, menikmati momen kebersamaan. Lampu merah yang mereka hadapi berikutnya cukup lama. Mereka kembali terdiam, namun kesunyian itu terasa seperti pengingat akan semua perbincangan yang belum tuntas. Saddam menoleh ke arah trotoar, memperhatikan pedagang yang sibuk membungkus nasi kuning untuk pelanggannya.
"Dam, lu pernah kepikiran nggak?" Ginting kembali membuka suara, kali ini dengan nada yang lebih reflektif. "Mungkin bahagia itu sebenernya cuma cara otak kita buat bertahan hidup. Kalau nggak ada bahagia, manusia mungkin udah punah."
ADVERTISEMENT
"Kayak reward system gitu?" Saddam menebak, meskipun ia merasa ada hal lebih mendalam yang sedang dibahas.
"Yes man. Tapi itu nggak sejati, Dam. Itu Cuma trik biar kita terus bergerak. Sedangkan kesedihan? Dia jujur, dia apa adanya."
Motor Saddam akhirnya melaju lagi, kali ini mendekati area kampus mereka. Ginting melirik jam tangannya, sepertinya mereka mulai terlambat. "Eh, ini kita telat gak sih?"
"Menurut ngana? Ya telat lah," Saddam menjawab santai, tetapi matanya memancarkan keseriusan yang aneh. "Tapi obrolan kayak gini justru yang bikin hidup lebih berarti, kan?"
Ginting tertawa kecil, menepuk bahu Saddam dengan lembut. "Iya, iya. Tapi kalau kita terus ngobrol, bisa-bisa obrolan ini jadi 3 SKS."
Mereka tertawa bersama, menikmati momen itu sebelum motor mereka akhirnya berhenti di parkiran kampus. Saddam mematikan mesin motor dan menatap Ginting, seolah mengingatkan bahwa percakapan ini tidak akan mudah hilang begitu saja. "Ayolah cepet. Kalau dosen ngomel, bilang aja kita abis belajar filsafat di jalan."
ADVERTISEMENT
Ginting tertawa sambil turun dari motor. "Kalo perlu, nanti gua yang jadi dosen buat matkul ini."
Dengan langkah ringan, mereka berjalan masuk ke gedung kampus, namun jejak-jejak percakapan mereka masih menggantung di udara, seakan membentuk lingkaran pemikiran yang tak terputuskan. Dalam sekejap, semuanya bisa berubah. Tetapi percakapan ini, dengan segala kompleksitas dan kerumitan, akan tetap bertahan dalam memori mereka, seperti kesedihan yang selalu menemani di setiap perjalanan hidup.