Kerugian Negara dalam Kejahatan Satwa Liar Dilindungi

Sadam Afian Richwanudin
Peneliti Hukum dan Sumber Daya Alam
Konten dari Pengguna
21 Juni 2022 15:23 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sadam Afian Richwanudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi harimau di dalam kandang. Foto: snapstoria/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi harimau di dalam kandang. Foto: snapstoria/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pada Maret 2022, BKSDA Palembang membakar belasan awetan harimau. Kucing besar yang seharusnya berlari bebas di hutan Sumatera itu hidupnya berakhir membeku di tangan pemburu. Kejahatan terhadap satwa liar masih terjadi hingga hari ini. Berbagai tindakan dan modus dilakukan demi mendapatkan rupiah dari satwa liar yang seharusnya menjadi benteng ekosistem.
ADVERTISEMENT
Mulai dari perdagangan ilegal demi memenuhi keserakahan konsumen terhadap bagian tubuh indah fauna, hingga menjadikan jual beli satwa sebagai modus pencucian uang. Selain menimbulkan dampak terhadap kelangsungan ekosistem, kejahatan satwa juga mengakibatkan kerugian negara yang tidak sedikit.
Hasil tangkapan KLHK terhadap kejahatan satwa liar (Sumber foto: Website BRIN)
Kerugian ekologis timbul akibat ketidakseimbangan ekosistem dan rantai makan alami di habitat. Akibatnya, secara kuantitatif produktivitas tanaman yang berada di habitat juga akan terganggu dan secara kontinu juga akan menyebabkan terganggunya regenerasi hutan. Berdasarkan data penelusuran Pusat Penelusuran dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kerugian negara akibat perdagangan satwa liar mencapai tiga belas triliun rupiah tiap tahunnya.
Dalam catatan Financial Action Task Force (FATF), keuntungan akibat perdagangan ilegal satwa liar secara global mencapai miliaran dolar tiap tahunnya. Di Indonesia, kondisi tersebut diperparah dengan perdagangan ilegal satwa liar sebagai modus pencucian uang. Awal tahun ini, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Utara menyita hewan dilindungi dari rumah pribadi terduga koruptor Terbit Rencana Perangin-angin di Kabupaten Langkat. Penyidik menemukan beberapa jenis satwa liar yang dilindungi UU seperti orangutan sumatera, monyet hitam sulawesi, elang brontok, jalak bali, dan beo (Gracula religiosa).
ADVERTISEMENT
Jauh hari sebelum kasus tersebut sejatinya Kejaksaan telah mendorong pemberlakun tindak pidana pencucian uang untuk kejahatan terhadap satwa liar. Norma tersebut dikenakan terhadap hasil kejahatan yang ditempatkan melalui rekening atau disamarkan untuk pembelian aset lain. Selain itu penegak hukum juga mendorong Pasal mengenai kepabeanan dan pemalsuan dokumen yang dapat dipakai apabila terdapat pelanggaran berupa ketidaksesuaian dokumen dalam pengiriman atau perdagangan satwa liar dilindungi.
Dalam lanskap populasi fauna, perdagangan satwa liar juga berdampak negatif. Merujuk pada data CITES, tercatat 175.829 kakatua jambul kuning diperdagangkan sejak tahun 1981 hingga 2019. Beberapa negara tercatat sebagai importir burung berbulu putih ini seperti Jerman, Jepang, Inggris, dan Singapura, importir terbesar burung ini adalah Amerika Serikat. Pada 2019, tercatat 71 ekor kakatua masih diperjualbelikan. Bukan main-main, akibat jual beli ini populasinya turun 80-90 persen sejak tahun 1978. Bahkan populasi beberapa subspesiesnya seperti Cacatua sulphurea occidentalis dan Cacatua sulphurea abbotti diperkirakan kurang dari 100 ekor. Dengan harga tertinggi bisa mencapai 32 juta rupiah per ekor, kerugian aset negara akibat perdagangan ilegal burung yang dilindungi ini tentu sangat besar.
ADVERTISEMENT
Secara umum, populasi beberapa spesies burung juga dalam kondisi terancam. Merujuk data yang dihimpun Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (BirdLife Indonesia Association/ Burung Indonesia), sebanyak 177 spesies burung yang terdapat di belantara Indonesia masuk dalam kategori terancam punah. Selain menjadi red flag bagi populasi fauna, data ini juga menunjukkan Indonesia sebagai negara dengan angka ancaman kepunahan spesies burung terbanyak, yakni mencapai 12 persen dari keseluruhan burung terancam punah di dunia.
Kondisi tersebut diperparah dengan habitat satwa yang makin mengkhawatirkan baik karena kebakaran hutan ataupun pembukaan lahan konsesi. Dalam catatan Auriga Nusantara, saat ini tinggal tersisa 23 lanskap yang di dalamnya dihuni harimau sumatera. Lanskap tersebut terdapat di 8 provinsi di Sumatera, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Selatan. Dari lanskap yang tersebar pada beberapa wilayah, hanya 5 wilayah yang secara kalkulasi area dapat menampung harimau dengan daya tampung yang besar (lebih dari 70 ekor).
ADVERTISEMENT
Secara ekologis, perdagangan harimau sangat merugikan negara. Dalam penggagalan penyelundupan kulit harimau yang dilakukan Kepolisian di Jambi pada 2021, ditemukan bahwa kulit harimau dijual di pasaran dengan harga 150 juta rupiah. Padahal nilai ekologis dari seekor harimau mencapai 1,2 miliar rupiah. Pada tahun 2019, tercatat populasi Harimau Sumatera berada dalam kisaran 371 individu. Jika hal ini dibiarkan tentu selain merugikan secara ekologis, tindakan-tindakan tersebut juga dapat mengakibatkan kepunahan spesies.
Menghadapi persoalan tersebut maka perlu ketegasan penegak hukum dalam menindak pelaku kejahatan terhadap satwa liar. Masing-masing lembaga yang memiliki kewenangan perlu bekerjasama untuk melakukan penegakan hukum secara multidoor. BKSDA, KLHK, Kepolisian, hingga Kejaksaan sudah seharusnya melakukan penindakan secara serius agar tindak kejahatan ini tidak makin merugikan negara, baik secara ekonomis maupun ekologis.
ADVERTISEMENT