Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pendapat Hakim "Dissenting Opinion" dalam Kasus Sengketa Pilpres 2024
28 April 2024 12:27 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Muhammad Saddam Syahdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia telah membacakan amar putusan terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 pada Senin, (22/4) yang juga telah dirilis di situs resmi MK. Isi dari putusan tersebut adalah menolak semua gugatan yang diajukan pemohon diantaranya permohonan Pasangan Calon Nomor Urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan pemohon Pasangan Calon Nomor Urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
ADVERTISEMENT
Namun terhadap amar putusan, terdapat 3 hakim yang berbeda pendapat atau Dissenting Opinion mengenai putusan tersebut. 3 hakim yang memiliki pendapat berbeda dalam hal ini adalah Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat. Tentu nya ini menjadi sebuah catatan sejarah Bangsa Indonesia, dimana pertama kali terdapat sebuah "Dissenting Opinion" dari Hakim Konstitusi dalam sebuah kasus sengketa Pilpres.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, banyak yang bertanya tentang apakah Mahkamah Konstitusi berwenang dalam menyelesaikan masalah yang menyangkut kualitatif. Dikarenakan tafsiran tentang Pasal 24 C Ayat (1) menurut Tim Kuasa Hukum Pasangan Calon Prabowo-Gibran, Mahkamah Konstitusi hanya berwenang mengadili dan memeriksa persoalan perselisihan mengenai hasil pemilihan umum. Maka menurut Tim Kuasa Hukum 02, dalil permohonan dari pihak 01 dan 03 menjadi hal yang diluar kewenangan dari Mahkamah Konstitusi.
Akan tetapi, pada amar putusan Dissenting Opinion dari Hakim Konstitusi Saldi Isra, beliau menjelaskan tentang masalah tersebut dan menjelaskan bahwasanya Mahkamah tidak hanya memutus perkara angka-angka semata. Menurut beliau, jika Mahkamah membatasi diri hanya berwenang mengadili dan memeriksa yang berkaitan dengan angka semata, sama saja dengan menurunkan derajat amanah konstitusi dalam menjaga nilai-nilai konstitusi (constitutional values) dan prinsip-prinsip demokrasi (democratic principles).
ADVERTISEMENT
Sama hal-nya dengan Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam Dissenting Opinion-nya juga menjelaskan Mahkamah telah memiliki pendirian bahwa berkenaan dengan PHPU, Mahkamah tidak hanya melihat pada angka-angka semata, namun juga dapat menyelesaikan persoalan kualitatif yang menyebabkan terjadinya perselisihan hasil dalam rangka menjamin tegaknya prinsip pemilu yang dijamin oleh konstitusi.
Dalam Dissenting Opinion-nya, Hakim Saldi Isra mengatakan petitum pemohon tentang politisasi bansos adalah beralasan menurut hukum. Menurutnya, perihal pemberian atau penyaluran bansos lebih masif dibagikan dalam rentang waktu yang berdekatan/berhimpitan dengan pemilu. Praktik demikian merupakan salah satu pola untuk mendapatkan keuntungan dalam pemilu (electoral incentive). Terdapat juga sejumlah menteri aktif yang membagikan bansos kepada masyarakat, terutama selama periode kampanye. Kunjungan ke masyarakat itu hampir selalu menyampaikan pesan “bersayap” yang dapat dimaknai sebagai bentuk dukungan atau kampanye terselubung bagi pasangan calon tertentu.
ADVERTISEMENT
Hakim Saldi Isra juga mengabulkan petitum pemohon terkait ketidaknetralan Pj. Kepala Daerah dan para aparatur/penyelenggara negara beralasan menurut hukum. Ia mengatakan bentuk ketidaknetralan Pj. kepala daerah, diantaranya berupa penggerakan ASN, pengalokasian sebagian dana desa sebagai dana kampanye, ajakan terbuka untuk memilih pasangan calon yang memiliki komitmen jelas untuk kelanjutan IKN, serta pembagian bantuan sosial kepada para pemilih dengan menggunakan kantong yang identik dengan identitas pasangan calon tertentu.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Hakim Enny Nurbaningsih terkait dengan mobilisasi aparat dan kepala daerah dinilai juga beralasan hukum. Hakim Enny Nurbaningsih membenarkan telah terjadi ketidaknetralan beberapa kepala daerah dan keberpihakkannya kepada salah satu paslon. Salah satu contohnya adalah adanya penyambutan oleh Pj. Gubernur Jawa Tengah kepada salah satu calon Presiden Prabowo Subianto dan penggunaan warna baju yang mirip dengan Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran.
ADVERTISEMENT
Selain itu, menurut Hakim Enny Nurbaningsih terdapat banyak bukti awal yang memberikan petunjuk adanya ketidaknetralan pejabat negara, aparat negara, ASN, serta pengerahan perangkat desa. Seperti adanya konsolidasi ratusan kepala desa di Kabupaten Temanggung untuk mendukung Pasangan Calon Nomor Urut 2. Dan sejumlah acara dukungan dari pejabat pemerintahan juga dilakukan terhadap salah satu pasangan calon, termasuk yang dilakukan oleh Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian. Seluruh kejadian ini menjadi perhatian publik yang sangat luas dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.
Hakim Enny Nurbaningsih juga menyoroti sikap dari Presiden Jokowi dalam pemilu. Ia berpendapat meskipun secara normatif presiden dan wakil presiden memiliki hak untuk terlibat dalam kampanye dan tidak ada ketentuan larangan bagi Presiden memberikan bansos. Namun dengan adanya pemberian bansos menjelang Pemilu dan di masa kampanye, maka dalam batas penalaran yang wajar, hal tersebut tentu berdampak pada para peserta pemilihan karena adanya ketidaksetaraan. Terlebih, terdapat indikasi dukungan yang jelas terhadap satu pasangan calon maka hal demikian dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak netral dan memberikan keuntungan signifikan bagi pasangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sedangkan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam Dissenting Opinion-nya juga menyoroti sikap dari kepala negara dalam hal ini Presiden Jokowi. Hakim Arief Hidayat menilai tak boleh ada peluang sedikit pun bagi cabang kekuasaan tertentu untuk cawe-cawe dan memihak dalam proses Pemilu Serentak 2024. Apa yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi dengan segenap struktur politik kementerian dan lembaga dari tingkat pusat hingga level daerah telah bertindak partisan dan memihak calon pasangan tertentu. Tindakan tersebut secara jelas telah menciderai sistem keadilan Pemilu (electoral justice) yang diadopsi di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Hakim Arief Hidayat juga menegaskan bawa anggapan Presiden boleh berkampanye merupakan justifikasi yang tak dapat diterima oleh nalar yang sehat dan etika yang peka. Memang, Undang-Undang 7/2017 tentang Pemilu yang membolehkan Presiden berkampanye memiliki cakupan ruang yang terbatas. Artinya, Presiden boleh berkampanye ketika posisinya adalah sebagai pasangan calon Presiden. Akan tetapi, bukan berkampanye untuk mempromosikan pasangan calon Presiden tertentu atau pun yang didukungnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, apabila Presiden/Wakil Presiden turut mengkampanyekan calon yang didukungnya maka tindakan ini telah menciderai prinsip moral dan etika kehidupan berbangsa dan bernegara yang seharusnya di junjung tinggi sebagaimana termuat di dalam TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Menurut Hakim Arief Hidayat, politisasi perlinsos dan bansos telah nyata terjadi. Keterangan bahwa pembagian barang kebutuhan masyarakat oleh Presiden ketika kunjungan kerja menggunakan anggaran operasional Presiden, bukan anggaran Perlinsos atau bansos semakin menguatkan adanya cawe-cawe Presiden pada momentum tahapan kampanye para Paslon. Tak ada yang salah memang apabila dana operasional Presiden digunakan untuk penyaluran perlinsos maupun bansos. Namun, momentum waktu pembagian dan penyaluran yang tidak tepat sehingga hal ini semakin menguatkan bahwa dugaan adanya politisasi dana perlinsos dan bansos benar adanya.
ADVERTISEMENT
Hakim Arief Hidayat juga menilai dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden tahun 2024 ini, Mahkamah Konstitusi sepatutnya tak boleh hanya sekedar berhukum melalui pendekatan yang formal-legalistikdogmatis yang hanya menghasilkan rumusan hukum yang rigid, kaku, dan bersifat prosedural melainkan perlu berhukum secara informal-nonlegalistikekstensif yang menghasilkan rumusan hukum yang progresif, solutif, dan substantif tatkala melihat adanya pelanggaran terhadap asas-asas Pemilu demi menegakan prinsip keadilan Pemilu (electoral justice).
Tentu nya, kita semua harus menerima apapun keputusan yang telah dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi. Dan hal ini juga merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi Bangsa Indonesia dalam kehidupan bernegara dan juga kehidupan berkonstitusi. Apapun bentuk pelanggaran yang telah terjadi pada pemilu 2024 menjadi pelajaran berharga agar kedepannya tidak ada lagi segala bentuk pelanggaran pemilu demi terselenggarakannya pemilu sesuai dengan amanat Undang-Undang dalam pasal 22 E Ayat (1) UUD 1945.
ADVERTISEMENT