Konten dari Pengguna

Mengkritik Pemerintah dalam Perspektif As-Siyasah

Ahmad Sadzali
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
11 Juli 2020 9:47 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Sadzali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi.
ADVERTISEMENT
Era demokrasi merupakan momen paling berharga bagi peradaban berpikir umat manusia. Setelah sebelumnya di Abad Pertengahan, kebebasan berpikir dan perpendapat berada dalam cengkraman institusi keagamaan, maka sekarang manusia mendapatkan kebebasannya. Dalam sebuah negara demokrasi konstitusional, kebebasan perpendapat bahkan menjadi salah satu Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh negara.
ADVERTISEMENT
Tentu saja kita sepakat bahwa kebebasan berpendapat harus dibatasi. Namun pembatasan tersebut harus rasional, dilakukan sesuai ketentuan konstitusi, dan yang paling penting tidak untuk menutup pintu kritik atas penguasa.
Di Indonesia, kebebasan berpendapat dijamin oleh Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945. Negara kita juga sudah memiliki UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Pasal 23 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur tentang kebebasan berpendapat. Meski begitu, Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 membuka peluang adanya pembatasan kebebasan tersebut.
Di dalam KUHP terkandung adanya pembatasan kebebasan berpendapat, yang kaitannya dengan peghinaan serta pencemaran nama baik. Begitu juga di dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah oleh UU No. 19 Tahun 2016 (UU ITE), juga mengatur pembatasan kebebasan.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, kebebasan berpendapat dan mengkritik di alam demokrasi bukan tanpa tantangan. Tantangan terbesarnya justru datang dari pemerintah negara itu sendiri. Dalam praktik tidak sedikit pemerintah suatu negara demokrasi yang cenderung menutup diri dari kritik.
Beberapa cirinya seperti tindakan represif dari pemerintah terhadap pengkritiknya; adanya kriminalisasi; penggiringan opini publik; dan cara yang cukup teranyar yaitu dengan menggunakan buzzer di ruang publik media sosial. Instrumen hukum yang sifatnya membatasi kebebasan berpendapat juga sering kali disalahgunakan oleh pemerintah untuk membungkam pengkritiknya.
Berpendapat dan Mengkrtik dalam Islam
Contoh terbaik dan yang paling patut diteladani dalam hal menghargai pendapat orang lain adalah Nabi Muhammad SAW. Banyak sekali contoh peristiwa dimana Nabi mengajak para sahabat bermusyawarah dan meminta pendapat mereka.
ADVERTISEMENT
Dalam logika awam, mungkin kita bertanya-tanya kenapa Nabi yang kapasitasnya sebagai penerima wahyu masih bermusyawarah dengan orang lain? Apakah wahyu saja masih kurang dalam membimbing Nabi, sehingga beliau bermusyawarah meminta pendapat orang lain?
Tentu saja wahyu sudah lebih dari segalanya dalam membimbing Nabi. Namun dalam bermusyawarah, Nabi mendidik para sahabatnya agar berpikir dan berani mengutarakan pendapat. Karena berpikir dan berpendapat merupakan suatu perintah Allah yang memiliki kemuliaan begitu tinggi.
Berkat didikan Nabi itulah, maka tidak heran jika kepemimpinan di era Sahabat begitu terbuka atas kritik dan pendapat dari rakyatnya. Abu Bakar Ash-Shiddiq ra ketika pertama kali dipilih menjadi khalifah langsung berpidato yang di antara penggalannya adalah soal keterbukaannya atas kritik jika dalam kepemimpinannya terdapat kesalahan.
ADVERTISEMENT
Begitu juga Khalifah Umar bin Khattab ra, merupakan pemimpin yang sangat terbuka atas kritik dan pendapat dari rakyat. Cerita tentang kebijakannya soal mahar laki-laki yang langsung diprotes oleh seorang perempuan adalah salah satu dari sekian contohnya. Seketika itu juga Khalifah Umar langsung menarik kembali kebijakannya itu.
Lebih-lebih Khalifah Usman bin Affan ra yang dengan kebesaran hatinya membiarkan para demonstran pengkritiknya mengepung rumahnya selama beberapa hari. Bahkan dirinya meminta para Sahabat yang lain agar tidak mengawalnya. Hingga akhirnya, demonstrasi itu berujung pada terbunuhnya dirinya. Tidak ada pengorbanan yang lebih besar dari sebuah nyawa demi penghargaan atas kebebasan berpedapat.
Antara Taat dan Kritik
Dalam perspektik as-Siyasah (Hukum Tata Negara Islam), ketaatan terhadap pemerintah merupakan salah satu unsur yang paling penting bagi berjalannya suatu negara. Tidak sedikit teks dalil yang menganjurkan untuk taat kepada pemerintah. Bahkan dalam kajian As-Siyasah, terdapat bab khusus yang melarang melakukan makar atau memberontak terhadap pemerintah.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, bukan berarti dalam perspektif as-Siyasah, pemerintah tidak dapat dikritik. Peluang untuk melakukan kritik terhadap pemerintah justeru sangat terbuka lebar. Bahkan berdasarkan sebuah riwayat dari Nabi, dinyatakan bahwa sebaik-baiknya jihad adalah menyatakan kebenaran (mengkritik) di sisi pemerintah yang lalim.
Tidak hanya sebatas kritik, bahkan pemerintah juga dapat digulingkan dari kekuasaannya jika sudah melenceng dari prinsip-prinsip yang berlaku. Bahkan Al-Ghazali, yang bagi sebagian orang pemikiran politiknya terkesan fatalistik dan cenderung melindungi penguasa, juga membuka peluang pemakzulan bagi pemerintah yang lalim. Di dalam Ihya Ulum ad-Din dengan tegas menyatakan: “Seorang penguasa yang zalim harus dilihat lagi keabsahan kekuasaannya. Baik ia diberhentikan atau harus berhenti sendiri.”
Pandangan serupa juga disampaikan oleh para ulama lainnya dalam As-Siyasah. Sebut saja seperti pendapat Imam Syafi’i, al-Baghdadi, Imam al-Mawardi, Imam al-Juwaini, as-Syahrastani, ar-Razi, Ibnu Hazm, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Begitulah perpsektif as-Siyasah dalam memandang kritik atas pemerintah. Kritik, meskipun pahit, merupakan harta berharga yang harus dirawat oleh negara atas nama kebebasan berpendapat, nasihat kepada pemimpin, serta merawat akal sehat.[] Wallahu’alam.
Oleh: Ahmad Sadzali
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.