Konten dari Pengguna

Implementasi Pendidikan Inklusif di Indonesia

safa talitha
Mahasiswa Antropologi Budaya UGM
19 Juni 2023 5:49 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari safa talitha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak disabilitas. Foto: Ormalternative/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak disabilitas. Foto: Ormalternative/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang pemberian istimewa ini selalu menarik untuk didiskusikan. Dari sejak Indonesia merdeka pemerintah telah memikirkan dan membuat berbagai kebijakan untuk memberikan layanan terbaik untuk para anak-anak berkebutuhan khusus.
ADVERTISEMENT
Dari mulai menetapkan sebutan atau terminology ini ternyata memiliki sejarah yang cukup panjang. Dulu dikenal sebutan anak-anak penyandang cacat lalu dihaluskan menjadi anak tuna kemudian diperhalus menjadi anak luar biasa.
Hingga akhirnya diperhalus lagi menjadi anak berkebutuhan khusus dan di sisi lain ada pula yang menyebut penyandang disabilitas. Apa pun sebutannya, mereka merupakan ciptaan dan titipan Tuhan yang harus diberikan layanan terbaik.
Pendidikan khusus di Indonesia dalam perjalanannya dilaksanakan sangat segregatif dan pada saat ini mulai dilaksanakan pendidikan yang bersifat inklusif. Pendidikan inklusif ini dinilai sangat ideal dan sesuai dengan filosofi bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Ilustrasi anak disabilitas. Foto: Manop Boonpeng/Shutterstock
Dalam konsep pendidikan khusus ini mencakup bagaimana diferensiasi atau keberagaman yang ada dapat dilayani dalam satu kesatuan. Hal itu yang menjadi dasar dari filosofi pendidikan inklusif di Indonesia. Lalu manakah yang lebih baik? Pendidikan segregatif atau pendidikan inklusif?
ADVERTISEMENT
Pendidikan segregatif dan pendidikan inklusif pada dasarnya memang sama-sama baik, tergantung tentang bagaimana pelayanan atau penerapannya. Permasalahannya pendidikan khusus di Indonesia ini sering kali terkooptasi oleh sistem pendidikan pada umumnya.
Sebut saja kalau di Indonesia mengembangkan satu kurikulum, maka pengembangan kurikulum ini hanya terfokus pada pengembangan pendidikan secara umum.
Bukan hanya itu, hal tersebut terkesan mengesampingkan pendidikan khusus sehingga mau tak mau pendidikan khusus harus mengikuti arus yang terjadi pada pendidikan umum.
Ilustrasi pendidikan di Indonesia. Foto: Kemendikbudristek
Kurikulum di Indonesia yang sering berganti, pendidikan khusus juga mau tidak mau mengikuti pergantian atau perubahan yang ditetapkan oleh kurikulum. Padahal sesungguhnya pendidikan khusus harus independent dan berpihak pada anak berkebutuhan khusus dan harus percaya diri membuat satu kurikulum tersendiri untuk pendidikan khusus ini, yaitu kurikulum pendidikan khusus.
ADVERTISEMENT
Kurikulum tersebut pada intinya memuat empat komponen yakni tujuan, isi, proses, dan evaluasi. Pembuatan tujuan dan isi dalam kurikulum ini mungkin mudah untuk dilakukan, tetapi yang menjadi permasalahan yaitu tentang bagaimana proses pembelajaran agar anak-anak berkebutuhan khusus ini dapat menguasai materi.
Dalam proses pembelajaran tentu saja mengandalkan adanya komunikasi yang baik. Jika anak-anak yang mengalami hambatan komunikasi dan bahasa tidak memiliki kecukupan bahasa yang baik, mau di sekolah segregatif ataupun sekolah inklusif tetap sama saja. Mereka seolah datang ke sekolah dan pulang tanpa mendapat apa-apa. Dalam hal ini pendidik juga harus berkompeten.
Ilustrasi pendidikan di Indonesia. Foto: Kemendikbudristek
Dalam pendidikan segregatif bisa mengantarkan anak-anak untuk memiliki pengetahuan yang hebat, terampil, dan memiliki sifat baik mereka hingga akhirnya bisa kembali kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tentu lebih bagus lagi jika sejak dini dibiasakan dengan pergaulan di sekolah regular dengan menerapkan pendidikan inklusif. Tetapi itu semua tidak semudah yang dibayangkan.
Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang sangat indah untuk disampaikan, didiskusikan, dibayangkan pada saat mereka bisa bersama-sama bergaul dengan anak-anak regular. Tetapi pertanyaannya adalah siapkah sekolah dalam menerima kehadiran mereka?
Menurut Dr.Totok Bintoro,M.Pd terdapat tiga elemen dasar di dalam membangun pendidikan inklusif yang diambil dari teori General Electric yang menggunakan elemen PTC (Policy, Technical, dan Culture).

Policy

Elemen Policy sendiri sudah diterapkan pemerintah dari mulai Undang-Undang sistem pendidikan nasional sampai membuat turunan berbagai peraturan tentang bagaimana mengimplementasikan Peraturan Pemerintah No. 19 tentang bagaimana layanan untuk disabilitas ini menjadi suatu rencana aksi yang berpihak kepada penyandang disabilitas.
ADVERTISEMENT
Policy tidak cukup hanya dibuat regulasi dan kebijakan saja tetapi Policy juga harus dipahami oleh seluruh pembuat kebijakan yang mulai dari menteri hingga bupati dan kepala dinas.
Kurikulum di sekolah inklusif harus dimodifikasi dan disesuaikan dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus karena pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan yang menyesuaikan kepada anak.

Technical

Technical dipahami oleh pengawas, kepala sekolah, sampai ke guru. Teknis dapat berupa bagaimana anak berkebutuhan khusus ini dapat diterima oleh teman-temannya di sekolah dan di kelas.
Tentang bagaimana pula guru-guru regular bisa mengajar dan memahami mereka. Hal itu tidak serta merta tentang anak tersebut tiba-tiba langsung dimasukkan ke sekolah inklusif tetapi harus ada prakondisi seperti jika mereka memiliki hambatan dalam komunikasi dan bahasa maka mereka harus diberikan kemampuan komunikasi dan bahasa agar dapat berproses bersama.
ADVERTISEMENT
Permasalahannya di Indonesia sekolah khusus yang menangani anak berkebutuhan khusus saja belum bisa mengantarkan anak-anak yang mengalami hambatan komunikasi dan bahasa.
Sehingga kompetensi guru sangat diperlukan dalam menangani permasalahan ini terlebih guru dengan lulusan S1 pendidikan khusus dan pendidikan profesi guru.

Culture

Dapat dikatakan jika culture dalam pendidikan inklusif yaitu culture pendidikan yang tidak membedakan, kesetaraan, hak yang sama, budaya saling menghargai, saling tolong-menolong. Culture tersebut akan terbentuk jika policy tidak hanya sekadar dibuat tetapi bisa dipahami dalam pelaksanaannya.
Ketiga elemen tersebut dapat dilakukan agar penerapan pendidikan inklusif berhasil dan anak berkebutuhan khusus merasa aman nyaman di sekolahnya. Dengan demikian mereka tidak merasa termarjinalkan dan dapat bersama-sama menuntut ilmu sehingga terwujud cita-cita bangsa dengan sumber daya manusia yang cerdas.
ADVERTISEMENT