Konten dari Pengguna

Euthanasia pada Pasien Terminal: Dilema Medis dan Hukum

Safa Tri Wulandari
Mahasiswa S1 Fakultas Keperawatan Universitas Jember
16 November 2024 18:39 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Safa Tri Wulandari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://www.freepik.com/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://www.freepik.com/
ADVERTISEMENT
Euthanasia merupakan salah satu masalah dalam bidang kedokteran yang berhubungan dengan aspek hukum. Euthanasia jika diartikan dengan Bahasa Yunani berasal dari kata ‘Eu’ yang artinya baik dan ‘thanatos’ yang artinya mati, jika digabungkan secara keseluruhan euthanasia memiliki kematian yang baik. Euthanasia dalam kamus kedokteran memiliki arti tindakan untuk mengakhiri kehidupan suatu individu dengan cara menghilangkan nyawa secara tenang dan mudah sebagai bentuk mengakhiri penderitaan seseorang karena penyakitnya (Flora, 2022). Euthanasia secara umum dibedakan menjadi dua jenis yaitu euthanasia pasif dan euthanasia aktif. Euthanasia pasif bertujuan mempercepat kematian dengan cara menolak segala upaya prosedur pertolongan yang sedang dilakukan, dengan kata lain keluarga membiarkan pasien tidak mendapatkan tindakan untuk pemulihan kondisi pasien dan menolak pemberian pertolongan pada kondisi terminal. Sedangkan euthanasia aktif merupakan prosedur aktif untuk menghilangkan nyawa atau menyebabkan kematian, biasanya euthanasia aktif ini permintaan dari pasien itu sendiri (Soewondo et al., 2023).
ADVERTISEMENT
Pesatnya perkembangan zaman sangat mempengaruhi dunia kedokteran dan kesehatan salah satunya dalam aspek teknologi dan ilmu pengetahuan. Hal tersebut mendukung terciptanya intervensi-intervensi baru dalam upaya menangani suatu penyakit dan memudahkan segala aspek layanan kesehatan, bahkan saat ini dokter dapat memberikan bantuan tindakan pengakhiran hidup pasien dalam kondisi terminal atau berada dalam kondisi medis yang sudah tidak dapat disembuhkan (Fachrezi & Michael., 2024). Umumnya pengidap penyakit kronis seperti kanker, penyakit kardiovaskular, HIV/AIDS, penyakit paru obstruktif mengalami kondisi terminal (Ahsani, 2020). Setiap tahunnya prevalensi penyakit kronis yang mengalami komplikasi semakin meningkat, sehingga membutuhkan perawatan paliatif untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Melastuti & Amal, 2022). Dalam dunia medis pasien dengan kondisi terminal digambarkan dengan kondisi otak yang mengalami penurunan fungsi atau irreversible yang mengakibatkan penurunan kesadaran dan kemampuan bernafas, namun jantung masih dapat berdenyut. Pada kondisi tersebut pasien sudah tidak ada intervensi yang dapat memulihkan dan memperpanjang kesempatan hidupnya, bahkan dalam kondisi tersebut pasien hanya bergantung pada alat-alat medis seperti respirator untuk bertahan hidup hingga ajal menjemputnya (Fachrezi & Michael., 2024).
ADVERTISEMENT
Kondisi terminal pasien akan menimbulkan dilema medis dalam mengambil persetujuan dengan pasien dan keluarga pasien. Dilema tersebut yaitu keinginan keluarga pasien untuk tetap mempertahankan perawatan medis dengan tetap memberikan bantuan alat respirator atau menghentikan seluruh perawatan medis. Dalam kondisi tersebut pasien dan keluarga dihadapkan dengan keadaan penderitaan yang hebat, di mana mereka merasa kematian merupakan hal lebih baik daripada menjalani hidup dengan penuh penderitaan karena penyakitnya (Lee, 2023). Dokter dapat menyetujui keputusan pasien dan keluarga pasien untuk mengakhiri penderitaan pasien dengan kematian yang disebut dengan tindakan euthanasia. Tujuan dari euthanasia yang dilakukan pada pasien tersebut yaitu untuk mengakhiri hidupnya agar tidak merasakan sakit yang berangsur lama (Soewondo et al., 2023).
ADVERTISEMENT
Euthanasia adalah suatu persoalan yang saat ini banyak diperbincangkan dan diperdebatkan karena menyangkut HAM. Jika dikaitkan dengan HAM, euthanasia dianggap merugikan karena setiap manusia memiliki hak untuk melanjutkan keberlangsungan hidupnya (Cahyasabrina et al., 2023). Euthanasia awalnya digunakan di negara Belanda dengan aturan yang ketat, sehingga sekarang euthanasia mulai dilegalkan di beberapa negara seperti di Kanada, Luksemburg, Belgia, Selandia Baru, dan beberapa negara Australia (Xian, 2023). Disisi lain negara Amerika Serikat dan Swiss masih memperdebatkan tentang legalitas euthanasia, sedangkan Korea dan Austria menolak dengan tegas tindakan euthanasia (Rompegading & Putra, 2023). Luasnya legalisasi euthanasia di beberapa negara menimbulkan perubahan peran profesional seorang tenaga kesehatan khususnya dokter, karena lazimnya seorang dokter dapat menyelamatkan dan mengoptimalkan kesembuhan pasiennya (Lachowski et al., 2023).
ADVERTISEMENT
Peraturan perundang-undangan terkait euthanasia di Indonesia belum diciptakan secara khusus, namun jika ditelaah lebih dalam euthanasia di Indonesia berkaitan dengan Prinsip Umum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berhubungan dengan masalah jiwa manusia, yaitu memberikan perlindungan, sehingga setiap manusia memiliki hak hidup secara wajar sebagaimana harkat kemanusiaannya menjadi terjamin. Terdapat peraturan perundang-undangan yang menyatakan menentang tindakan euthanasia yang tertera pada Pasal 344 KUHP yang mengatakan bahwa “Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum selama-lamanya 12 tahun”. Sesuai dengan pasal KUHP tersebut, dalam konteks hukum positif di Indonesia, euthanasia tetap dianggap hal yang dilarang dan tetap dianggap tindakan pidana yang harus diberikan sanksi bagi pelaku yang melakukan tindakan pengakhiran hidup seseorang, sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Euthanasia menimbulkan pro kontra di Indonesia, terlebih kebanyakan masyarakat Indonesia menganut paham komunis, sehingga dibutuhkan adanya kejelasan pengaturan hukum terkait euthanasia akan membantu masyarakat menyikapi permasalahan tersebut (Siregara, 2020). Euthanasia juga bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang tertera pada pasal 28A yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Selain itu juga terdapat bertentangan dengan pasal 4, pasal 9 ayat (1), dan pasal 33 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Hartawan et al, 2020).
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, euthanasia juga menjadi dilema medis, karena seyogyanya dokter dan tenaga kesehatan lain berkewajiban untuk melindungi hidup dan makhluk insani yang sesuai dengan pernyataan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) pasal 7D. Larangan melakukan euthanasia juga telah diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia yang bersumber dari sumpah Hippokrates. Dari peraturan tersebut juga menjelaskan bahwa tindakan euthanasia merupakan tindakan yang merugikan yang tidak sejalan dengan moralitas seorang dokter dan kode etik yang seharusnya menjunjung tinggi kehidupan (Rarung et al., 2024). Namun pada kondisi tertentu seperti pada pasien terminal dan dengan prosedur yang tepat, dokter dapat melakukan euthanasia. Untuk melakukan euthanasia, tenaga medis harus melakukan diskusi bersama pasien dan pihak keluarga pasien untuk mempertimbangkan keputusan yang diambil. Sebelum tindakan, dokter dan tenaga medis wajib memberikan informasi tentang tindakan euthanasia kepada keluarga pasien atas nama pasien dengan bahasa yang mudah dimengerti. Tujuannya untuk meminta persetujuan kepada pihak keluarga, karena tindakan tersebut beresiko tinggi pada kelangsungan hidup pasien. Pernyataan persetujuan diberikannya tindakan tersebut harus tertulis dengan jelas didalam surat pernyataan khusus dan ditandatangani oleh pihak keluarga dan dokter yang menangani tindakan tersebut (Fachrezi & Michael., 2024).
ADVERTISEMENT
Jika ditinjau dari sudut pandang kode etik, euthanasia sangat mungkin dilakukan di Indonesia dengan prosedur tertentu yang disesuaikan dengan Pasal Pasal 14 ayat (1), (3), (4) dan Pasal 15 ayat (1) Permenkes No. 37/2014. Dalam upaya pengambilan keputusan antara pihak keluarga dan dokter terkait tindakan euthanasia harus memperhatikan 4 prinsip etik, yaitu (Rompegading & Putra, 2023):
Autonomy
Dalam prinsip ini dokter dan tenaga medis harus menghormati hak-hak otonomi pasien. Pasien memiliki hak untuk menentukkan keputusannya dalam tindakan medis yang dilakukan. Pada pasien dalam kondisi terminal, dokter dan tenaga medis harus menghormati keputusan pasien untuk dilakukan tindakan euthanasia untuk menghilangkan penderitaan yang dirasakannya. Namun hal tersebut perlu dilakukan pertimbangan bersama pihak keluarga pasien untuk mendapatkan persetujuan, karena tindakan euthanasia merupakan tindakan yang dianggap merugikan dan di Indonesia belum terdapat peraturan tetap terkait euthanasia.
ADVERTISEMENT
Non-Maleficence
Dalam prinsip ini menyatakan bahwa euthanasia tidak dapat dibenarkan, karena dapat mengakibatkan kematian. Hal tersebut menjadi pertimbangan karena prinsip ‘Non-Maleficence’ merupakan prinsip tidak merugikan yang bertujuan mencegah terjadinya kerusakan moral yang dapat memperburuk kondisi pasien.
Beneficence
Prinsip ini memprioritaskan manfaat dari tindakan yang diberikan. Pada pasien dengan kondisi terminal, euthanasia dianggap menguntungkan karena dapat mengakhiri penderitaannya dan jika hal tersebut disetujui oleh pihak keluarga pasien. Kondisi terminal umumnya membutuhkan biaya yang lebih banyak untuk perawatan medis, sehingga tak jarang banyak pihak keluarga yang menyetujui tindakan euthanasia, karena meskipun diberikan perawatan medis, pasien tidak ada tanda-tanda untuk pulih kembali.
Justice
Prinsip ini mengutamakan keadilan dalam bertindak, sehingga permintaan tindakan euthanasia sulit ditegakkan. Maka dari itu, euthanasia diatur secara ketat dan tidak hanya melihat dari aspek hak pasien untuk memilih mengakhiri hidupnya, namun harus dilakukan pertimbangan lain agar tindakan tersebut tidak dianggap melawan hukum.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini euthanasia pada pasien terminal adalah sebuah permasalahan yang kompleks yang sering diperdebatkan oleh masyarakat Indonesia. Munculnya pro dan kontra euthanasia dikarenakan kurangnya pemahaman terkait legalitas. Belum terciptanya kebijakan euthanasia secara khusus menimbulkan dilema hukum. Meskipun belum diciptakan kebijakan khusus terkait euthanasia di Indonesia, terdapat Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 344 yang menentang tindakan euthanasia dan dapat dipidanakan jika tindakan pengakhiran hidup seseorang dilakukan, sekalipun permintaan sendiri. Sebagai dokter dan tenaga kesehatan juga dihadapkan dengan dilema medis, karena mereka berkewajiban melindungi dan mengupayakan kesembuhan dari pasiennya. Namun disisi lain euthanasia dapat dilakukan dengan memperhatikan kode etik kedokteran dan keperawatan. Tenaga kesehatan, pasien, dan keluarga pasien harus melakukan diskusi dan pertimbangan untuk mengambil keputusan yang terbaik pada pasien dalam kondisi terminal. Pengambilan keputusan tindakan euthanasia harus terdapat bukti yang jelas yang bertanda tangan keluarga pasien dan dokter penanggung jawab, dengan begitu euthanasia dapat dilakukan pada pasien dalam kondisi terminal dengan prosedur yang benar dan sesuai kesepakatan. Keberlanjutan dari tindakan euthanasia, tenaga kesehatan dapat memberikan dukungan berduka kepada keluarga pasien yang ditinggalkan.
ADVERTISEMENT
REFERENSI
Ahsani, A. (2020). Peran Perawat Dalam Pemberian Palliative Care Untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Pasien Terminal. https://doi.org/10.31219/osf.io/h7qgn
Cahyasabrina, G. T., Abidahsari, I., Geraldine, M. A. R., Purba, H. A., & Bakhtiar, H. S. (2023). Pengambilan Keputusan Euthanasia Pasif dalam Kehidupan Akhir Pasien: Tinjauan Hak Asasi Manusia. Jurnal Panorama Hukum, 8(2), 190–205. https://doi.org/10.21067/jph.v8i2.9388
Fachrezi, M. A., & Michael, T. . (2024). KESESUAIAN PENERAPAN EUTHANASIA TERHADAP PASIEN KONDISI TERMINAL ATAS PERSETUJUAN KELUARGA DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA . IBLAM LAW REVIEW, 4(1), 228–246. https://doi.org/10.52249/ilr.v4i1.246
Flora, H. S. (2022). Jurnal hukum kesehatan indonesia. Jurnal Hukum Kesehatan Indonesia, 01(01), 1–10.
Hartawan IGAGU, Dewi AASL, Sutama IN. (2020). Eutanasia dalam perspektif hak asasi manusia dan hukum positif di Indonesia.Jurnal konstruksi hukum Vol. 1, No 2 oktober 2020.
ADVERTISEMENT
Lachowski, S., Łuszczki, J., Lachowska, B., & Florek-łuszczki, M. (2023). Euthanasia in opinions of students of medicine. Annals of Agricultural and Environmental Medicine, 30(1), 148–155. https://doi.org/10.26444/aaem/160085
Lee, M. A. (2023). Ethical Issue of Physician-Assisted Suicide and Euthanasia. The Korean Journal of Hospice and Palliative Care, 26(2), 95–100. https://doi.org/10.14475/jhpc.2023.26.2.95
Melastuti, E., & Amal, A. I. (2022). Gambaran Pengetahuan dan Peran Perawat dalam Perawatan Paliatif pada Pasien Kondisi Terminal Di RSI SA Semarang. Jurnal Ilmiah Sultan Agung, 21–34.
Rarung, O. K., Tomuka, D., & Siwu, J. F. (2024). Eutanasia Ditinjau dari Etika Kedokteran di Indonesia. Medical Scope Journal, 6(2), 250–256. https://doi.org/10.35790/msj.v6i2.53532
Rompegading, A. M., & Putra, B. P. (2023). Eutanasia: Tinjauan Medis, Bioetik, Humaniora dan Profesionalisme. Jurnal Ilmiah Ecosystem, 23(1), 120–134. https://doi.org/10.35965/eco.v23i1.2506
ADVERTISEMENT
Siregara, R. (2020). Euthanasia Dipandang Dari Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Pasal 344 KUHPidana Di Indonesia. Yure Hermano, 4(1), 53.
Soewondo, S. S., Parawansa, S. S. R., & Amri, U. (2023). Konsep Euthanasia di Berbagai Negara dan Pembaruannya di Indonesia. Media Iuris, 6(2), 231–254. https://doi.org/10.20473/mi.v6i2.43841
Xian, C. Y. (2023). The Euthanasia Debate and Its Implications on The Legalization of Euthanasia in Indonesia. Jurnal Jaffray, 21(1), 68. https://doi.org/10.25278/jj.v21i1.776
Penulis: Safa Tri Wulandari
Mahasiswa S1 Fakultas Keperawatan Universitas Jember