Konten dari Pengguna

Konflik Virtual Dalam Budaya Populer

Safinatun Nihayah
Mahasiswa Hubungan Masyarakat Universitas Padjadjaran 2022
27 Agustus 2022 16:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Safinatun Nihayah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Arus Posmodernisme, Metaverse, dan Resistensi dalam Perspektif Komunikasi Lintas Budaya

Ilustrasi Metaverse [Freepik]
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Metaverse [Freepik]
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagaimana telah diketahui, dewasa ini dunia intelektual disemarakkan dengan munculnya arus pemikiran, paham, gerakan, atau bahkan mungkin era, yang dikenal dengan sebutan postmodernisme – atau dikenal dengan istilah postmo – yang dari namanya dapat diduga sebagai terkait dengan masalah filsafat. Hasil pemikiran filsafat posmodernisme ini meluas ke dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan bidang-bidang keilmuan, khususnya di bidang sosial dan humaniora. Menurut Madan Sarup (2008: 205), posmodernisme adalah nama gerakan di kebudayaan kapitalis lanjut, secara khusus dalam seni. Posmodernisme dipandang sebagai kebudayaan pascamodernitas. Istilah ini muncul pertama kali di kalangan seniman dan kritikus di New York pada tahun 1960-an. Salah satunya Jean-Francois Lyotard, dalam bukunya The Posmoderen Condition menyerang mitos yang melegitimasi zaman modern (narasi besar/grand narrative), pembebasan progresif humanitas melalui ilmu, dan gagasan bahwa filsafat dapat memulihkan kesatuan unutk proses memahami dan mengembangkan pengetahuan yang secara universal valid untuk semua manusia.
ADVERTISEMENT
Posmodernisme menolak universalitas, totalitas, keutuhan organis, penyisteman, dan segala macam legitimasi, termasuk dalam bidang keilmuan, atau apa yang oleh Lyotard (dalam Sarup, 2008:209) sebut sebagai Grand Narrative. Ia menolak kemapanan atau kebakuan teori-teori modernisme, untuk linguistik misalnya teori strukturalisme, yang disebutnya sebagai grand-theory, karena teori-teori itu dianggapnya terlalu menyederhanakan persoalan yang sesungguhnya dan cenderung menolak pluralisme. Posmodernisme menggoyang sendi-sendi teori atau ilmu sastra, linguistik, estetika, budaya, hingga pada pemikiran antiteori. (Nurgiyantoro, 2007: 58)
Budaya populer, dalam Heryanto (2012:17), menyebutkan bahwa budaya populer adalah sebuah entitas budaya yang disepakati oleh komunitas masyarakat sebagai bentuk hiburan yang bersifat terbatas oleh ruang dan waktu. Secara garis besar, budaya populer tidak dapat melekat menjadi identitas sebuah kelompok masyarakat (dalam hal ini: suku bangsa). Perkembangan budaya populer akan selalu berubah menyesuaikan kebermanfaatan dan kesukaan masyarakat di suatu ruang dan waktu tertentu.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri, perkembangan budaya populer – budaya pop – sudah dimulai sejak periode 1970-an melalui seni musik. Seiring berjalannya waktu, budaya pop menyebar ke segala produk komunitas, mulai dari seni, pemikiran, hingga teknologi. Perkembangan terbesar dimulai saat globalisasi, ditandai dengan arus teknologi informasi yang menyebar dengan cepat, mencuat dan menjadi sebuah kebutuhan oleh masyarakat Indonesia sejak milenium 2000-an. (Heryanto, 2012:8)
Masih segar di ingatan bahwa netizen (baca: warganet) Indonesia melalui kanal sosial media perintis seperti Facebook dan Twitter membentuk istilah Bubble Algorithm Community yang menyesuaikan selera masing-masing. Bubble Algorithm Community menciptakan forum-forum tersendiri. Dari forum tersebut, munculah preferensi berbeda dalam menyikapi budaya populer yang didukung. Hal ini memunculkan bias informasi yang cukup ekstrim, mengingat pengguna hanya mendapatkan informasi seputar hal yang ia sukai (Salamoon, 2013:9). Hal ini yang nantinya memunculkan gesekan antarforum dan menciptakan komunikasi lintas budaya yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Pola interaksi yang terjadi dari komunikasi lintas budaya, walaupun seakan tanpa batas (unlimited), dikacaukan dengan preferensi tiap forum yang berbeda. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan dalam memanfaatkan potensi ruang tanpa batas tersebut secara optimal. Hal yang ini selanjutnya, menurut Heryanto (2012:71), disebut sebagai literasi digital. Bentuk literasi digital mengakibatkan seorang pengguna teknologi informasi tidak hanya dapat mengakses informasi yang tidak bias, namun model literasi ini mengakibatkan seorang warganet harus memiliki kenampuan tatakrama yang ia terapkan selama menerapkan komunikasi lintas budaya di dunia virtual.
Terlebih lagi, dunia saat ini memasuki orientasi metaverse yang semakin mengaburkan jarak ruang dan waktu antarpengguna. Di dalam metaverse, pola komunikasi antarpengguna hanya dibatasi oleh kekuatan daya internet masing-masing. Selain hal tersebut, tidak ada masalah berarti untuk menciptakan forum yang lebih interaktif dan tanpa batas. Hal ini akan menimbulkan "pedang bermata dua". Dari satu sisi, hal ini sangat baik dalam mempercepat arus informasi yang ingin didapatkan. Namun, di sisi lain, hal ini semakin menciptakan jurang (baca: gap) antarforum yang berpotensi menjadi konflik virtual yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Komunikasi lintas budaya, menurut Salmoon (2013:11), adalah buah eksistensi seorang pengguna teknologi informasi untuk melakukan interaksi dengan pengguna lain tidak terbatas dengan jarak dan waktu. Namun, pengguna juga harusnya mampu menerapkan tatakrama berkomunikasi seperti yang ia lakukan di dunia nyata. Karena hal tersebutlah, masalah konflik virtual dapat diatasi. Kekuatan untuk menahan diri (baca: resistensi) adalah bekal penting dalam menerapkan komunikasi lintas budaya yang optimal.
Secara garis besar, pada akhirnya kasus konflik virtual dapat diminimalisasi dengan menerapkan ruang kesantunan dunia nyata ke dalam dunia virtual. Melalui hal tersebut, budaya populer yang terbentuk dapat dinikmati oleh semua pengguna. Selain itu, perbedaan pendapat dalam menyikapi budaya populer yang diikuti hanyalah bentuk variasi atau keberagaman yang terbentuk akibat preferensi tiap forum yang berbeda. Dunia virtual dapat menjadi ekosistem positif yang dapat dinikmati oleh seluruh pengguna walaupun memiliki perbedaan yang mencolok.
ADVERTISEMENT
Sumber
Sarup, Madan. 2011. Panduan Pengantar Untuk Memahami Postrukturalisme & Posmodernisme. Yogyakarta: Jalasutra
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Salmoon, Daniel Kurniawan. 2013. Instagram, Ketika Foto Menjadi Mediator Komunikasi Lintas Budaya di Dunia Maya. Surabaya: Airlangga University Press
Heryanto, Ariel. 2012. Budaya Populer di Indonesia: Mencairnya Identitas Pascaorde-baru. Academia (diakses pada 27 Agustus 2022)