Konten dari Pengguna

Revolusi Teknologi, Evolusi Karakter: Siapkah Generasi Z Mengimbangi?

safira aulia
Mahasiswa Farmasi UIN Syarih Hidayatullah Jakarta
22 Juli 2025 9:21 WIB
·
waktu baca 17 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Revolusi Teknologi, Evolusi Karakter: Siapkah Generasi Z Mengimbangi?
Pendidikan karakter krusial di era digital. Artikel ini membahas strategi menanamkan nilai moral agar Gen Z tidak hanya cerdas teknologi, tapi juga kuat secara etika dan empati.
safira aulia
Tulisan dari safira aulia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi kolaborasi generasi muda di era digital, menggambarkan dinamika kerja modern yang berpadu dengan tuntutan adaptif dan literasi teknologi. (Sumber : https://pixabay.com/id/)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi kolaborasi generasi muda di era digital, menggambarkan dinamika kerja modern yang berpadu dengan tuntutan adaptif dan literasi teknologi. (Sumber : https://pixabay.com/id/)
ADVERTISEMENT
Urgensi Pendidikan Karakter di Era Transformasi Digital
Di era transformasi digital, masyarakat memasuki fase baru Society 5.0 yang ditandai oleh integrasi teknologi canggih dalam setiap aspek kehidupan: mulai dari kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), hingga big data. Fenomena ini membawa kemajuan luar biasa, tetapi juga menimbulkan duka sosial. Di tengah derasnya arus informasi dan interaksi digital, nilai nilai moral dan etika yang menjadi fondasi kohesi sosial sering kali tersingkir. Pendidikan karakter menjadi benteng utama untuk menyeimbangkan laju teknologi dengan kedalaman nilai kemanusiaan (Wuryandani, 2020)
ADVERTISEMENT
Generasi Z, yang lahir antara 1995–2010, adalah kelompok pertama yang benar benar menjadi digital native. Kehidupan mereka tak terpisahkan dari gawai, internet, dan media sosial. Hal ini memberikan keuntungan akses cepat ke informasi, jejaring luas, dan akses pembelajaran instan. Namun, sisi gelapnya tak kalah menantang: paparan hoaks, cyberbullying, budaya instan, dan polarisasi identitas. Sejumlah studi menunjukkan bahwa ketidaksiapan secara karakter dapat menyebabkan penurunan empati, integritas, dan bahkan moralitas (Pariutari, et, al, 2022).
Perhatian semacam ini diperkuat oleh penelitian dari Alfikri, (2023) yang menegaskan bahwa dalam kerangka Society 5.0, pendidikan karakter bukan sekadar pelengkap, melainkan menjadi kebutuhan untuk menjaga Generasi Z tidak tenggelam dalam arus digital semata. Mereka perlu dibekali kesadaran, tanggung jawab, kejujuran, dan kebajikan nilai inti yang mampu menegakkan mereka di tengah kompleksitas dunia digital.
ADVERTISEMENT
Masyarakat digital agresif mendominasi, di mana interaksi langsung bergeser ke platform maya. Dengan demikian, keberadaan karakter yang kuat seperti integritas dan etika digital menjadi filter penting. Literasi digital menjadi jembatan: tidak hanya tentang membaca dan mengoperasikan teknologi, tapi lebih jauh tentang menganalisis, bertahan dari manipulative content, dan mengambil tindakan baik saat online. Farid, (2023) menegaskan bahwa literasi digital dapat menguatkan nilai nilai jujur, tanggung jawab, empati, dan problem solving.
Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tahun 2023 menunjukkan bahwa indeks literasi digital Indonesia berada pada skor 3,65 dari skala 5, yang artinya masih dalam kategori sedang. Namun, jika dilihat lebih rinci, pada aspek digital ethics, skor masyarakat hanya 3,47 lebih rendah dibanding digital skills yang mencapai 3,80. Ini menunjukkan bahwa meskipun generasi muda memiliki keterampilan teknologi yang cukup baik, aspek karakter dan etika dalam berteknologi masih lemah. Celah inilah yang menyebabkan banyak anak muda gagal menerapkan prinsip moral saat berinteraksi di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Akar permasalahan pun mendalam: Generasi Z sering kali tumbuh dalam pola konsumtif digital tetap online, cepat bosan, berpindah dari satu aplikasi ke aplikasi lain, menyantap konten tanpa memilih. Dampaknya: menurunnya konsentrasi, asal asalan dalam mencari informasi, bahkan mudah terjebak dalam konten provokatif. Pariutari, Ardyastika, Putra, & Muliana, (2022) menyoroti bagaimana generasi ini rentan terhadap perubahan karakter dan moral karena kecanduan media digital.
We Are Social dan Hootsuite (2024) mengungkapkan bahwa rata rata waktu yang dihabiskan oleh pengguna internet Indonesia per hari mencapai 7 jam 42 menit, dan sekitar 85% pengguna internet berusia 16–24 tahun aktif di media sosial lebih dari 3 jam per hari. Durasi ini bukan hanya menunjukkan ketergantungan, tapi juga memperlihatkan potensi risiko besar terhadap terbentuknya karakter impulsif dan rendahnya kedalaman berpikir reflektif karakteristik yang penting dalam menghadapi kompleksitas dunia digital. Tanpa pengelolaan emosi dan nalar, waktu online ini lebih banyak berujung pada distraksi daripada produktivitas.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut diperparah dengan fakta bahwa Society 5.0 sering dijalankan dengan logika teknokratis: efisiensi, kecepatan, otomatisasi. Tanpa penanaman karakter, generasi muda hanya menjadi pelaksana teknologi, tanpa kedalaman nilai. Syahid et al., (2025) menekankan bahwa pendidikan karakter harus disandingkan dengan kecakapan kritis, kreatif, dan kolaboratif agar tidak sekadar cerdas digital, tetapi juga manusiawi dalam memanfaatkan teknologi.
Survei dari Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud) tahun 2022 menunjukkan bahwa 64,3% siswa SMA dan mahasiswa merasa sulit membedakan informasi benar dan hoaks di internet. Angka ini mengindikasikan belum optimalnya penanaman nilai literasi kritis, yang seharusnya menjadi bagian integral dari pendidikan karakter berbasis digital. Ketidakmampuan memilah ini juga berakar dari minimnya pembiasaan reflektif dan kecenderungan mengikuti arus informasi cepat, bukan mendalam.
ADVERTISEMENT
Integrasi pendidikan karakter dan literasi digital kini menjadi strategi utama. Generasi Z perlu memahami bahwa gawai bukan sekadar alat hiburan, melainkan instrumen pembelajaran mampu memfasilitasi pengembangan diri secara komprehensif terutama dalam penanaman nilai nilai seperti disiplin, tanggung jawab sosial, dan integritas. Literasi digital mendidik mereka agar mampu memilah, menganalisis, dan bertindak etis di dunia maya aspek yang menjadi syarat mutlak untuk hidup bermartabat di era digital.
Pendidikan karakter tidak boleh terjadi secara formal belaka seperti di kelas, tetapi harus menyentuh ranah kehidupan nyata. Lingkungan keluarga dan sekolah perlu menjadi laboratorium nilai: merangsang empati melalui kegiatan sosial, melatih kejujuran lewat tugas mandiri, dan mendorong kerja sama melalui proyek keluarga atau komunitas. Pendekatan ini penting agar nilai karakter menancap dalam praktik keseharian. Dengan demikian, urgensi pendidikan karakter dalam era pose Society 5.0 sangat nyata: ia adalah upaya preventif untuk menghindari generasi yang "cerdas teknologi, tetapi rapuh moral". Pendidikan karakter menjadi jaring pengaman yang memastikan teknologi melayani manusia, bukan sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Tantangan Generasi Z dalam Menghadapi Society 5.0
Generasi Z yang lahir antara pertengahan 1990 an hingga awal 2010 an menghadapi tekanan identitas yang kompleks dalam arus Society 5.0. Di satu sisi, mereka adalah digital natives yang tumbuh sangat nyaman dengan teknologi, media sosial, dan dunia virtual. Namun di sisi lain, keterpaparan tersebut mengaburkan batas antara identitas personal dan persona digital. Penilaian sosial yang dilandasi jumlah "like", komentar, dan followers menciptakan realitas yang seringkali lebih dianggap nyata daripada diri sejati. Banyak anggota Gen Z justru merasa asing dengan jati diri yang otentik ketika tidak mendapatkan validasi dari dunia maya. Fenomena ini menuai kecemasan eksistensial "Siapa saya tanpa gawai?" yang menjadi benih krisis identitas yang mendalam (Amran, 2025)
ADVERTISEMENT
Seiring dengan itu, ketergantungan yang berlebihan pada teknologi menciptakan dampak psikologis, sosial, dan fisik. Berbagai kajian menunjukkan, kecenderungan multitasking digital, konsumsi konten instan, serta durasi layar yang tinggi memengaruhi kemampuan berpikir kritis, konsentrasi, dan interaksi tatap muka. Data dari American Psychological Association (APA) pada 2023 menunjukkan bahwa sekitar 46% remaja Gen Z melaporkan merasa terganggu oleh notifikasi smartphone saat belajar atau bekerja. Bahkan, hampir 60% menyatakan bahwa media sosial memicu stres dan membandingkan diri secara negatif dengan orang lain.
Di Indonesia, laporan Kompas (2023) menggarisbawahi bahwa Gen Z di Indonesia menunjukkan tren meningkatnya gangguan psikologis, seperti kecemasan, depresi ringan hingga sedang, dan krisis identitas. Studi yang dilakukan oleh Pusat Studi Gen Z Indonesia menunjukkan bahwa 51,6% Gen Z merasa tidak percaya diri akibat paparan media sosial, dan 37% mengalami gejala depresi karena merasa tidak cukup baik dibandingkan standar kehidupan yang ditampilkan di media.
ADVERTISEMENT
Dalam era Society 5.0, di mana teknologi berperan sebagai katalis perubahan sosial, ketergantungan ini justru membentuk paradoks: semakin mampu mengakses, tetapi semakin rapuh dalam interaksi realitas. Tingkat interaksi tatap muka berkurang drastis. Survei dari Pew Research Center menunjukkan bahwa 85% Gen Z lebih memilih komunikasi teks ketimbang bertemu langsung, yang berdampak pada penurunan kemampuan membaca ekspresi non verbal dan mempersempit keterampilan empati sosial (Aulia, 2025)
Minimnya kemampuan empati dan kolaborasi juga menjadi tantangan besar. Interaksi yang terbatas pada layar mengurangi latihan sikap empatik, padahal dunia 5.0 sangat membutuhkan kemampuan bekerja sama lintas disiplin dan budaya. Platform digital sering mengondisikan respon yang reaktif, instan, dan personal, bukan kontemplatif, inklusif, atau konstruktif. Hal ini selaras dengan temuan bahwa Gen Z kerap mengalami fenomena “filter bubble” di mana mereka hanya terpapar konten yang sudah mereka yakini, sehingga terhambat untuk memahami perspektif berbeda dan membentuk empati sosial yang luas.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini bukan hanya soal kurangnya empati, tapi juga menyulitkan proses kolaborasi produktif di ranah offline dan interdisipliner. Dalam proyek kerja kolaboratif, misalnya, banyak remaja mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan gaya kerja orang lain atau menyelesaikan konflik secara langsung karena tidak terbiasa menghadapi perbedaan secara terbuka dan konstruktif. Selain itu, kemampuan berpikir kritis Gen Z tampak tidak sekuat eksposur digital mereka. Banjir informasi dari artikel viral, opini instan hingga disinformasi yang massif mengharuskan kemampuan filtrasi yang matang. Namun sayangnya, menurut Digital Literacy Index Indonesia (Kominfo, 2023), hanya 34% responden usia 15–24 tahun yang mampu mengidentifikasi hoaks secara akurat di media sosial. Ini memperlihatkan masih lemahnya kecakapan kritis dalam menanggapi informasi daring.
ADVERTISEMENT
Berita palsu, hoaks, dan ekstremisme ideologis menjadi ancaman nyata apabila peserta didik tidak dibekali keterampilan analitis dan skeptis. Berdasarkan siaran pers Redaksi, (2024) 60% responden tidak yakin mampu membedakan fakta dari hoaks yang mencerminkan rendahnya literasi hoaks di Indonesia. Artinya, pengalaman menyerempet misinformasi sangat mungkin dialami oleh sebagian besar remaja. Di sisi lain, data dari Kominfo Katadata Insight Center menunjukkan bahwa pada 2021, 11,9% masyarakat pernah mengakui membagikan hoaks, naik dari 11,2% di 2020. Sementara itu, meski belum ada angka spesifik remaja yang membagikan hoaks, pola ini sangat mungkin terjadi karena budaya unggah cepat dan kurangnya konfirmasi secara mandiri.
Siapa yang memverifikasi sebelum membagikan? Di sinilah kemampuan evaluasi kritis dibutuhkan. Society 5.0 tidak cukup hanya mendorong konsumsi data cepat; kita membutuhkan pendidikan literasi digital mendalam yang mengajarkan cara memverifikasi, mengkritisi, dan menghasilkan pengetahuan bermakna. Tanpa kompetensi tersebut, generasi digital hanya menjadi konsumtif data, bukan produsen informasi yang bertanggung jawab moral dan intelektual. Dari sisi mental, tantangan Gen Z tidak hanya soal teknologi dan sosial, tapi juga tekanan internal dan ekspektasi hidup yang tinggi. Berdasarkan penelitian terhadap 5.500 responden Gen Z berusia 18-24 tahun, 42% di antaranya telah didiagnosis dengan kondisi kesehatan mental, dan 25% melaporkan mengalami lebih banyak hari buruk daripada hari baik dalam sebulan. Ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental cukup umum di kalangan Gen Z, dengan proporsi yang signifikan mengalami gangguan dan dampak negatif pada kesejahteraan mereka (Pacific Oaks College, 2024). Ini menunjukkan bahwa tekanan teknologi, terutama media sosial, bukan hanya sekadar gangguan sepele, melainkan faktor signifikan dalam kondisi kecemasan dan depresi.
ADVERTISEMENT
Angka global pun mencemaskan: dikutip dari Kemenkes RI (2024) 1 dari 5 Gen Z pernah mengalami episode depresi dalam setahun terakhir, sementara risiko bunuh diri meningkat 52% sejak 2005. Sementara di tingkat mental dan sosial, 70% Gen Z merasakan gejala stres dan kecemasan, dengan 46% merasa tertekan karena tekanan media sosial. Hampir setengah dari mereka merasa kewalahan oleh informasi yang terus mengalir dan tuntutan kesempurnaan dalam unggahan digital .
Society 5.0 memang menjanjikan kualitas hidup manusia melalui teknologi tapi jika tanpa pondasi nilai karakter, hasilnya bisa paradoks: generasi yang “cakap digital” namun rapuh mental, tidak kritis terhadap informasi, dan rentan secara moralitas. Tantangan ini menuntut lembaga pendidikan, keluarga, dan komunitas digital untuk menanamkan bukan hanya kemampuan teknis, tetapi juga nilai-nilai karakter yakni skeptisisme sehat, keadilan dalam informasi, empati, serta daya tahan moral dan mental sebagai bagian integral dari pendidikan di era data yang sangat cair ini.
ADVERTISEMENT
Strategi Penguatan Karakter untuk Menjawab Tantangan Zaman
Dalam menghadapi tantangan era Society 5.0, strategi penguatan karakter bagi Generasi Z bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan kebutuhan utama. Hal ini dikarenakan karakter yang kuat menjadi penopang utama dalam menghadapi gelombang perubahan teknologi dan sosial yang semakin deras. Salah satu pendekatan utama adalah pendidikan karakter berbasis nilaisebu ah metode yang tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga menanamkan kesadaran dan keinginan untuk menerapkan nilai nilai moral. Pendidikan karakter seperti ini dirancang agar tidak hanya dimaknai di tingkat kognitif, tetapi juga dapat dirasakan secara emosional dan diwujudkan dalam tindakan nyata. Sehingga, siswa tidak hanya tahu apa itu integritas, tetapi juga mau dan mampu menghidupinya dalam keseharian (Farhurohman et al., 2024).
ADVERTISEMENT
Integrasi nilai nilai karakter dalam kurikulum menjadi pijakan kedua yang tak kalah penting. Alih alih menjadi mata pelajaran tambahan, karakter harus meresap melalui semua mata pelajaran dan kegiatan sekolah, termasuk Pendidikan Pancasila, bahasa, IPA, IPS, dan bahkan matematika. Strategi ini membentuk kultur pendidikan karakter yang menyeluruh dan konsisten. Contohnya, dalam bahasa Indonesia, siswa dapat belajar kejujuran melalui diskusi teks cerita rakyat, sementara di matematika nilai ketelitian dan kesabaran dapat diajarkan melalui tugas penyelesaian masalah.
Peran guru sebagai teladan (moral modeling) juga menjadi faktor penentu keberhasilan strategi pendidikan karakter. Guru bukan hanya mengajar secara kognitif, tetapi juga menanamkan nilai nilai luhur melalui perilaku sehari hari yang dapat diamati dan ditiru oleh peserta didik. Ketika guru menunjukkan kedisiplinan dengan hadir tepat waktu, bersikap adil dalam memberikan nilai, serta berkomunikasi dengan empati kepada siswa, ia sedang membentuk atmosfer nilai yang konkret di kelas. Proses ini sejalan dengan konsep pendidikan karakter yang dikembangkan dalam model moral knowing, moral feeling, moral action, yang menekankan pada pemahaman nilai, penghayatan emosional terhadap nilai tersebut, dan perilaku nyata sebagai bentuk implementasinya (Nur et al., 2023)
ADVERTISEMENT
Penguatan model ini tidak terbatas pada teori, tetapi juga telah terbukti berhasil diterapkan di sejumlah negara. Salah satu contohnya adalah Finlandia, yang dikenal luas atas sistem pendidikan berbasis nilai yang holistik. Dalam penelitian oleh Kuusisto & Tirri, (2021), guru guru di Finlandia didorong untuk secara aktif menginternalisasi dan merefleksikan nilai nilai universal seperti kejujuran, empati, dan keadilan, sebelum mereka menanamkan nilai nilai tersebut dalam interaksi harian bersama siswa. Mereka tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga fasilitator dan panutan moral bagi anak anak dalam kerangka pendidikan yang humanistik dan berbasis nilai.
Selain peran guru sebagai teladan, strategi habituasi atau pembiasaan menjadi pendekatan penting lainnya dalam menanamkan karakter secara konsisten. Habituasi memungkinkan siswa tidak hanya memahami secara konseptual tentang suatu nilai, tetapi menghidupkannya dalam praktik nyata melalui kegiatan rutin. Setiap pagi, misalnya, sekolah dapat memulai aktivitas dengan renungan tentang nilai nilai Pancasila atau diskusi tentang kejadian moral sehari hari. Kegiatan ini diikuti dengan pelibatan siswa dalam aktivitas nyata seperti kerja kelompok, proyek lingkungan, atau bakti sosial yang menumbuhkan nilai tanggung jawab, solidaritas, dan kepedulian sosial.
ADVERTISEMENT
Pembiasaan ini juga diterapkan secara berhasil di Jepang melalui konsep “Gakkyu Tsukuri” (pembentukan kelas) dan “Tokkatsu” (kegiatan khusus), yang berfungsi sebagai ruang bagi siswa untuk belajar nilai nilai karakter melalui praktik langsung. Kegiatan seperti piket kelas, pengambilan keputusan bersama, dan evaluasi diri secara rutin membuat siswa terbiasa hidup dalam nilai tanggung jawab, kerja sama, dan kedisiplinan. Menurut hasil studi oleh (Kyomen, 2025), model habituasi yang diterapkan di Jepang berhasil meningkatkan kohesi sosial dan sikap tanggung jawab kolektif siswa, terutama pada usia sekolah dasar dan menengah.
Pendekatan integratif ini memerlukan dukungan sistemik, di mana peran guru, kurikulum, serta lingkungan sekolah berjalan harmonis. Ketika nilai karakter tidak hanya diajarkan, tetapi menjadi budaya yang hidup dalam keseharian siswa, proses internalisasi nilai berjalan secara alami. Guru yang menyampaikan nilai empati sambil menunjukkan kepedulian terhadap siswanya, atau yang menekankan kejujuran sambil transparan dalam komunikasi, secara langsung menjadi sumber pembelajaran utama karakter yang kuat dan relevan bagi masa depan siswa di era Society 5.0.
ADVERTISEMENT
Penguatan karakter tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan formal. Keluarga memegang peran sentral sebagai fondasi awal dalam pembentukan kepribadian anak. Rumah, sebagai sekolah pertama, memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk nilai nilai dasar seperti kejujuran, rasa hormat, tanggung jawab, dan empati. Sinergi antara sekolah dan keluarga diperlukan agar nilai nilai tersebut dapat tertanam secara konsisten. Komunikasi antara guru dan orang tua melalui forum seperti pertemuan rutin, pelatihan parenting, atau program “Orang Tua Mengajar” terbukti mampu menciptakan kontinuitas nilai di rumah dan sekolah
Sebagai contoh nyata, program “Character Education Partnership” (CEP) di Amerika Serikat berhasil mengintegrasikan pendekatan keluarga dan sekolah dalam satu kerangka kerja pendidikan karakter. Melalui kolaborasi yang erat antara guru, orang tua, dan komunitas lokal, CEP membantu sekolah sekolah menciptakan budaya karakter yang inklusif dan konsisten di berbagai jenjang pendidikan. Program ini melibatkan orang tua dalam kegiatan penanaman nilai seperti proyek sosial bersama dan pelatihan karakter di rumah. Hasil evaluasi menunjukkan peningkatan sikap empati, tanggung jawab, dan motivasi belajar pada siswa setelah partisipasi aktif keluarga dalam proses pendidikan karakter.
ADVERTISEMENT
Keterlibatan komunitas turut memperkaya dimensi pendidikan karakter. Sekolah yang bermitra dengan tokoh masyarakat, LSM, dunia usaha, atau institusi keagamaan menciptakan kesempatan pembelajaran berbasis pengalaman nyata. Kegiatan seperti kerja bakti, kunjungan ke panti jompo, program daur ulang bersama, hingga proyek berbasis layanan masyarakat (service learning) terbukti efektif dalam membentuk nilai nilai karakter siswa secara kontekstual dan reflektif. Penelitian oleh Nurdin, (2025) menunjukkan bahwa siswa yang terlibat dalam proyek berbasis komunitas memiliki pemahaman lebih mendalam terhadap nilai nilai sosial, seperti keadilan, solidaritas, dan tanggung jawab sosial.
Kisah sukses dapat dilihat dari program “School as Community Learning Center” di Jepang, yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam pendidikan. Sekolah di beberapa prefektur membuka diri terhadap partisipasi warga dalam pengajaran, bimbingan, dan pengembangan karakter siswa melalui program program berbasis komunitas. Kegiatan seperti festival budaya, pelatihan kewirausahaan lokal, hingga kerja sama pengelolaan lingkungan sekolah bersama warga mendorong siswa memahami nilai nilai kehidupan nyata yang tidak ditemukan di dalam kelas semata.
ADVERTISEMENT
Namun, teknologi hanyalah alat. Tanpa pendampingan guru dan orang tua, penggunaan teknologi dapat kehilangan arah bahkan kontraproduktif. Oleh karena itu, supervisi dan refleksi menjadi komponen utama dalam memastikan penggunaan teknologi untuk penguatan karakter berjalan sesuai dengan tujuan. Saat siswa memanfaatkan teknologi untuk memantau perilaku diri, menetapkan tujuan pribadi, dan menerima umpan balik, proses internalisasi nilai menjadi lebih sadar dan bermakna. Model ini juga telah diterapkan di Korea Selatan melalui program “Digital Citizenship Education” yang menanamkan nilai tanggung jawab, etika digital, dan empati online dengan dukungan platform digital dan pembinaan intensif dari guru dan keluarga.
Relevansi moral knowing, feeling–acting semakin diperkuat melalui metode experiential learning. Siswa tidak hanya mendengar nilai kejujuran, tetapi ditantang menjalankannya dalam simulasi atau peran dalam situasi nyata—misalnya role play keputusan etis atau magang sosial di panti jompo. Pengalaman ini mengokohkan internalisasi nilai dan membangun rasa yakin bahwa mereka mampu bersikap berkarakter, bahkan dalam situasi menantang
ADVERTISEMENT
Memastikan efektivitas pendidikan karakter tak cukup hanya merancang kegiatan, tetapi juga harus dilengkapi dengan sistem monitoring dan evaluasi menyeluruh yang terstruktur. Di era Society 5.0, pengukuran karakter melalui metode klasik seperti tes saja tidak cukup, karena karakter terbentuk melalui perilaku, sikap, dan interaksi sosial yang kompleks. Sekolah perlu mengembangkan instrumen evaluasi yang beragam meliputi observasi langsung, portofolio, refleksi diri, serta survei sikap untuk menangkap perkembangan karakter siswa secara menyeluruh. Seperti penjelasan Alias et al., (2025) sistem menyeluruh mencakup penilaian terhadap aspek afektif, psikomotorik, dan kognitif melalui berbagai teknik, tidak hanya tes formal.
Penggunaan portofolio karakter semakin populer karena kemampuannya merekam perjalanan nilai siswa dari waktu ke waktu misalnya catatan guru, unggahan siswa tentang tindakan sosial, dan kritik reflektif mereka sendiri. Penelitian asli oleh Butler & McMunn menunjukkan bagaimana portofolio elektronik (e portfolio) mendukung pengembangan kesadaran diri dan kemajuan karakter siswa dalam konteks pembelajaran kolaboratif. Dengan format seperti ini, guru dapat melihat bagaimana siswa merespon tantangan nilai dalam situasi nyata, bukan hanya jawaban di atas kertas.
ADVERTISEMENT
Alfikri, A. W. (2023). Peran pendidikan karakter Generasi Z dalam menghadapi tantangan di era Society 5.0. Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana, 6(1), 21–25. https://proceeding.unnes.ac.id/snpasca/article/view/2091
Alias, N. A., Latifah, L., & Sari, M. A. (2025). Peran Asessment dan Evaluasi Pendidikan terhadap Akreditasi Sekolah. Bhinneka: Jurnal Bintang Pendidikan Dan Bahasa, 3(1), Article 1. https://doi.org/10.59024/bhinneka.v3i1.1134
Amran, S. (n.d.). Generasi Z di Tengah Badai Digital: Krisis Identitas dan Tantangan Filosofis yang Menghantui Masa Depan Mereka - Suara Nanggroe. Generasi Z di Tengah Badai Digital: Krisis Identitas dan Tantangan Filosofis yang Menghantui Masa Depan Mereka - Suara Nanggroe. Retrieved July 13, 2025.
Farhurohman, O., Citra, R. A., & Afinatussakinah, S. (2024). INTEGRASI NILAI KARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA ERA SOCIETY 5.O DI SEKOLAH DASAR. Ibriez Jurnal Kependidikan Dasar Islam Berbasis Sains, 9(2), Article 2. https://doi.org/10.21154/ibriez.v9i2.620
ADVERTISEMENT
Farid, A. (2023). Literasi digital sebagai jalan penguatan pendidikan karakter di era Society 5.0. Cetta: Jurnal Ilmu Pendidikan, 6(3), 580–597.
Kuusisto, E., & Tirri, K. (2021). The Challenge of Educating Purposeful Teachers in Finland. Education Sciences, 11(1), Article 1. https://doi.org/10.3390/educsci11010029
Kyomen, T. (2025). Tokkatsu: Reality, Significance, and Challenges in Global Contexts. In Y. Ida, T. Fujita, I. Chung, T. Kakizawa, Y. Satoh, H. Yoneda, H. Sato, H. Miyauchi, M. Kokubu, S. Matsuda, & E. Komaki (Eds.), Human Diversity and Educational Equity in Japan: Well-Being in the Human Sciences Landscape (pp. 3–14). Springer Nature. https://doi.org/10.1007/978-981-96-2325-9_1
Nur, R., Widaty, C., Reski, P., Azis, F., & Nursalam, N. (2023). Moral Knowing, Feeling, Behavior Dalam Integrasi Pendidikan Karakter Di Sekolah Smpn 24 Kota Banjarmasin. Jurnal Ilmiah Mandala Education, 9(2).
ADVERTISEMENT
Nurdin, M. (2025, July 10). Berikut ini yang termasuk hak sebagai warga masyarakat adalah? OTOmatic.id. https://otomatic.id/berikut-ini-yang-termasuk-hak-sebagai-warga-masyarakat-adalah/
Pariutari, I. D. A. M., Ardyastika, I. K. G., Putra, P. G. P. D., & Muliana, I. N. (2022). The Influence of Digitalization pada Pendidikan Karakter di Era Generasi Z dalam Society 5.0. Prosiding Pekan Ilmiah Pelajar (PILAR), 2, 494–504.
Redaksi. (2024, November 21). [Siaran Pers] Temuan Riset Mafindo: Mayoritas Warga Belum Bisa Bedakan Hoaks dan Fakta. Mafindo. https://mafindo.or.id/2024/11/21/siaran-pers-temuan-riset-mafindo-mayoritas-warga-belum-bisa-bedakan-hoaks-dan-fakta/
Syahid, A. A., Hernawan, A. H., Dewi, L., & Pustaka, D. (2025). Mengintegrasikan Experiential Learning Dalam Kurikulum Pelatihan Kompetensi Digital Guru Sekolah Dasar. Detak Pustaka.
Wuryandani, W. (2020). Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah dalam Rangka Pembentukan Manusia yang Berkualitas. Jurnal Majelis, 7, 106–128.
ADVERTISEMENT
Safira Aulia Bawono, mahasiswa Sarjana Farmasi UIN Jakarta