news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

4 Bulan Diterapkan, Apakah Relaksasi Kredit Sudah Efektif ?

Safira Nur Fitria
Mahasiswa PKN STAN
Konten dari Pengguna
25 Juni 2020 11:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Safira Nur Fitria tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sudah sekitar 4 bulan lamanya Indonesia bertarung dengan pandemi Covid-19. Kondisi seperti ini sangat memukul dunia perekonomian. Terutama bagi pelaku ekonomi UMKM dan pekerja harian lepas, karena sebagian besar media mereka untuk mencari nafkah hilang begitu saja dengan adanya pandemi ini apalagi saat pemberlakuan Work From Home maupun Social Distancing. Pemilik kedai kopi , ojek online , pemilik warung/ kantin sekolah dan pekerjaan lainnya yang bergantung dengan adanya aktivitas masyarakat di luar tentunya sangat terpukul dengan pemberlakuan Work from home dan social distancing tersebut, belum lagi bagi mereka yang masih harus membayar cicilan hutang di bank dan ojek online yang membayar cicilan hutang pembayaran kendaraan.
ADVERTISEMENT
Karena adanya berbagai keluhan, beberapa bulan lalu pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai restrukturasi kredit dan pembiayaan demi menyelamatkan pelaku ekonomi yang terkena dampak pandemi Covid – 19 ini. Setiap kebijakan tentunya menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat. Berbagai masalah muncul saat relaksasi kredit ini mulai diterapkan. Mulai dari masyarakat hingga pihak bank sendiri. Namun setelah hampir tiga bulan semenjak dikeluarkannya kebijakan ini, apakah kebijakan ini cukup efektif dalam membantu dunia perekonomian dan masyarakat yang terkena dampak dari pandemi ini?
Pada awal kebijakan ini diterapkan, beberapa masyarakat mengaku memiliki berbagai kendala dalam pengajuan relaksasi kredit ini, seperti persyaratan yang berbelit–belit, hingga ditolaknya pengajuan relaksasi tersebut. Hal ini bisa dikarenakan, masih adanya penyesuaian dari bank – bank untuk memberikan relaksasi ini terutama bagi bank yang bukan milik negara dan bank – bank yang memiliki likuiditas rendah. Perlu pertimbangan serius dan pemilahan yang teliti karena ini akan berpengaruh besar pada likuiditas bank. Lalu, sejauh ini masih banyak masyarakat yang kurang informasi mengenai kebijakan ini. Jumlah cicilan kredit yang lebih tinggi setelah masa relaksasi berakhir membuat masyarakat kebingungan dan menganggap relaksasi ini sebenarnya hanya akan menjadi beban di kemudian hari. Hal ini terjadi karena kurangnya sosialisasi mengenai pemberian relaksasi kredit sehingga masyarakat menjadi terburu-buru mengajukan relaksasi tanpa mempertimbangkan ketentuan – ketentuan yang ada di bank tempat mereka mengajukan relaksasi. Dimana ketentuan relaksasi di setiap bank atau perusahaan pembiayaan akan berbeda – beda.
ADVERTISEMENT
Berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat memang menjadikan kebijakan ini terlihat masih belum efektif. Namun , kita lihat disisi lain banyak juga masyarakat yang sangat terbantu dengan adanya relaksasi kredit, terutama pelaku ekonomi UMKM yang penghasilannya menurun akibat pandemi sehingga kesulitan dalam membayar cicilan kredit.
Meskipun relaksasi kredit ini hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang terkena dampak dari adanya pandemi ,nyatanya antuasiasme masyarakat dalam relaksasi kredit ini sangat tinggi. Menurut data dari OJK tercatat per Mei 2020 jumlah bank umum konvensional / syariah yang memberikan fasilitas keringanan kredit sebanyak 96 bank, memberikan fasilitas relaksasi kepada 5,33 juta debitur dan 4,55 juta debitur UMKM sedangkan pada perusahaan pembiayaan per Mei 2020 terdapat 183 perusahaan pembiayaan memberikan fasilitas relaksasi kredit dengan jumlah 2,42 juta kontrak pembiayaan. Angka yang cukup tinggi tersebut membuat kita bisa menganalisa dengan sederhana bahwa berapa banyak usaha – usaha kecil yang terbantu dari kondisi yang tidak baik ini.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan bank sebagai pemberi fasilitas relaksasi ?
Akibat dari adanya pandemi ini, beberapa bank harus perlahan dan hati – hati dalam memberikan relaksasi kepada debitur karena berbagai risiko dimungkinkan akan terjadi.
“ Di bidang perbankan kita akan berhadapan dengan 3 risiko besar ,risiko kredit, yaitu berupa naiknya kredit macet, risiko pasar, karena bergejolaknya harga - harga aset, dan risiko likuiditas, karena kepercayaan deposan dari masyarakat ini akan menurun “ ungkap Dr. Halim Alamsyah Ketua Dewan Komisioner LPS dalam webinar perbankan New Normal dan Mitigasi Bisnis Perbankan Saat Wabah Covid-19
Terkait relaksasi kredit, awalnya beberapa bank banyak mengeluhkan mengenai kebijakan ini. Hal ini dikarenakan dalam menerapkan kebijakan restrukturasi tidak semudah membalikkan telapak tangan, relaksasi dapat mempengaruhi likuiditas bank apalagi untuk bank yang memiliki tingkat likuiditas rendah. Sebenarnya dalam kebijakan ini, pemerintah tidak serta merta melepas bank begitu saja. Bank Indonesia turut mendukung dengan beberapa instrumen yang dikeluarkan, seperti penyediaan term repo kepada bank – bank dengan transaksi underlying SUN atau SBSN dengan tenor sampai dengan 1 tahun. Lalu adanya penurunan Giro Wajib Minimum sebesar 200 Bps untuk bank umum konvensional dan 50 Bps untuk bank umum syariah / unit usaha syariah. Dan intrumen lainnya yaitu Bank Indonesia tidak memberlakukan kewajiban tambahan Giro untuk pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM).
ADVERTISEMENT
Terlepas dari beberapa instrumen diatas sebagai penyelamat perbankan, terdapat kendala lain yang bisa dibilang sulit terhindarkan, yaitu moral hazard. Masalah memang sulit untuk di cegah karena ini sangat mengandalkan kejujuran dari para debitur yang mengajukan relaksasi. Namun ada beberapa upaya yang bisa dilakukan pihak bank dalam pencegahan ini yaitu pengetatan dalam meneliti dokumen dan bukti dari calon debitur yang akan diberi relaksasi, perlu juga memperhatikan profil risiko dari pihak debitur serta melihat kondisi usaha yang dilakukan debitur, apakah usahanya benar-benar terdampak pandemi ini dan masih adakah prospek usaha jika diberikan relaksasi kredit.
Meskipun ditengah pandemi seperti ini dan diikuti dengan kebijakan pemerintah mengenai relaksasi kredit, kondisi stabilitas perbankan di Indonesia masih tetap terjaga dengan kinerja intermediasi yang positif serta profil risiko tetap terkendali. Namun baru-baru ini OJK kembali memberikan stimulus lanjutan yang bertujuan meningkatkan likuiditas dan permodalan perbankan serta memberikan relaksasi kepada Lembaga Keuangan Mikro dan Perusahaan Perasuransian. Penerbitan kebijakan stimulus lanjutan ini merupakan tindak lanjut dari hasil asesmen yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan dalam Rapat Dewan Komisioner pada 28 Mei 2020 yang mencermati dampak pandemi Covid-19 yang telah memberikan tekanan terhadap sektor jasa keuangan. Dukungan stimulus OJK ini tentunya sangat membantu bank – bank untuk mempertahankan atau meningkatkan likuiditasnya.
ADVERTISEMENT
Dengan berbagai stimulus yang telah dilakukan oleh pemerintah melalui BI dan OJK ini pastinya dapat mendorong kualitas dan keefektifitasan relaksasi kredit. Jadi masyarakat merasa diringankan dan bank sebagai pemberi fasilitas tidak terbebani karena adanya dukungan berbagai stimulus.