Perjalanan Pahlawan yang Dapat Kita Temukan di Setiap Diri Seseorang

Safira Rahmadina
Mahasiswa Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
19 Desember 2022 21:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Safira Rahmadina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dari penulis
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dari penulis
ADVERTISEMENT
Dalam kisah-kisah yang menggugah kita akan ceritanya. Dalam cerita dongeng, mitos-mitos, fantasi-fantasi, kisah pahlawan yang sering dikagumi saat kita masa kecil, terselip pola yang jika kita perhatikan, justru juga terdapat dalam perjalanan hidup kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Ini adalah arketipe pahlawan yang dapat ditemukan dalam diri seseorang. Joseph Campbell mendeskripsikan hal tersebut dalam bukunya The Hero with a Thousand Faces.
Arketipe universal
Pola arketipe universal dapat ditemukan dalam cerita mitos di seluruh dunia, lho. Cerita-cerita tersebut memuat metafora yang sebenarnya merupakan penggambaran terhadap apa terjadi pada kehidupan manusia itu sendiri, termasuk kesadaran dan ketidaksadaran kolektif yang Campbell ambil istilahnya dari psikolog Swiss, Carl Jung (Lawson, 2005).
Tujuan perjalanan kehidupan yang berbeda setiap orangnya
Dari Bray (2017), perjalanan hidup adalah kendaraan untuk tujuan perubahan diri, perkembangan psikologis, dan transformasi psikologi spritualitasnya. Masing-masing orang memiliki tujuan self-actualization yang berbeda-beda, dilihat berdasarkan hasil pembelajaran dari dinamika kehidupan mereka sendiri.
Perjalanan tokoh utama untuk menjadi pahlawan atau dalam konteks kehidupan kita, berusaha mengaktualisasikan diri, tidak pernah terjadi semudah itu, ya guys. Pasti ada tahapan-tahapan yang harus dilewati seseorang dalam perjalanan kehidupannya untuk menemukan jati diri mereka. Sebenarnya ada banyak fase-fase yang dijelaskan Campbell, namun secara garis besar ada tiga tahapan.
ADVERTISEMENT
1. Panggilan untuk melakukan misi
Dalam bahasa kerennya, a call to adventure. Manusia sebagai tokoh utama dalam ceritanya akan menyadari bahwa mereka harus memulai perjalanan, sebuah misi dalam kehidupan yang harus terselesaikan.
Ini terjadi saat mereka mulai meragukan bahwa kehidupan yang biasa mereka jalani hanya baik-baik saja, disadari bahwa ada hal yang tidak beres yang selama ini berusaha disangkal. Hal ini disebabkan dari pergolakan alam bawah sadar seperti munculnya trauma-trauma yang dialami selama hidup yang menuntut untuk memenuhi panggilan akan pencarian makna (Campbell, 2004).
Kita ambil contohnya, ya guys. Misal dalam novel Demian, sang tokoh utama Emil Sinclair menyadari bahwa dia yang selama ini berada di dunia terang, pada pergolakan batinnya akan membenarkan gagasan tokoh Demian mengenai eksisnya keburukan dalam dunia yang selama ini terus direpresi (the unconscious).
ADVERTISEMENT
2. Melaksanakan misi "pencarian jati diri"
Campbell melanjutkan, setelah panggilan dari alam bawah sadar nih guys, mulailah pencarian akan jati diri tersebut dengan berbagai kesulitan yang dihadapi. Seperti hidup kita yang terus-menerus akan selalu dipenuhi berbagai masalah, entah itu dalam ranah fisik atau psikis.
Dalam pencarian tersebut mereka akan menemukan mentor, arketipe guru yang akan membimbing mereka dengan pendidikan dan pengalamannya. Seperti tokoh Dumbledore, mentor bagi Harry Potter, atau Gandalf untuk tokoh Frodo Baggins dalam cerita The Lord of the Rings.
Hasil pembelajaran yang diterima nantinya ditentukan bagaimana sang tokoh utama mampu mengintegrasikan kesadaran dan ketidaksadarannya menjadi kesatuan. Dalam cerita kepahlawanan ini ditandai dengan kemenangan akan kesatuan sang tokoh utama terhadap karakter antagonis cerita, sang penjahat.
ADVERTISEMENT
Kalian pasti dapat melihatnya dari setiap klimaks cerita, kan. Seperti saat Harry Potter mampu mengalahkan Voldemort, Anakin Skywalker mengalahkan Death Vader, atau Naruto mengalahkan Uchiha Madara.
3. Kembali dari misi
Apakah kalian tahu novel best-seller karya Paulo Coelho yang berjudul Sang Alkemis? Sang tokoh utamanya memulai perjalanan untuk menemukan harta karunnya. Namun, pada akhirnya dia menemukan bahwa harta karunnya berada pada tempat kembalinya, dirinya sendiri, tempat dia memulai petualangan tersebut. Inilah yang disebut fase return (kembali) menurut pengertian Campbell.
Saat memenangkan kemenangan karena telah membentuk satu kesatuan diri, sang tokoh utama pada akhirnya kembali ke komunitas mereka, ke tempat mereka kembali.
Campbell mengatakan, pahlawan sendirilah yang membimbing masyarakat bukan dibimbing oleh masyarakat, dan memang begitulah tugasnya. Layaknya kita untuk bisa mengimplementasikan apa yang kita peroleh untuk memberdayakan orang lain, atau setidaknya untuk diri kita sendiri, komunitas atau diri, asal di mana kita kembali.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks kehidupan, saat kita menghadapi masalah yang terus berkelanjutan, kita dapat mengatasinya (coping) dengan cara kita sendiri yang didapatkan dari pembelajaran pengalaman-pengalaman hidup yang dialami. Pahlawan dalam diri kita akan hadir saat dibutuhkan.
Cerita-cerita memang merupakan ladang sarana kita untuk mengenal kehidupan dari berbagai contoh memukau mengenai bagaimana mengatasi kekacauan dalam hidup sehingga pada akhir cerita, sang tokoh utama atau mungkin dalam konteks cerita kita nanti, menemukan jati dirinya. "Kita didefinisikan sebagai manusia sebagian oleh kebutuhan kita akan cerita." (Gottschall, 2014).
Referensi:
Ascough, H. (2018). Once upon a time: using the hero’s journey in development stories. Canadian Journal of Development Studies / Revue Canadienne D’études Du Développement, 1–17. doi:10.1080/02255189.2018.1479634
ADVERTISEMENT
Bray, P. (2017). The Hero-Journey, Hamlet and Positive Psychological Transformation. Journal of Humanistic Psychology, 58(5), 525–555. doi:10.1177/0022167816689357
Campbell, Joseph. 1968. The Hero with a Thousand Faces. 2nd ed. Princeton, NJ: Princeton University Press
LAWSON, G. (2005). The Hero’s Journey as a Developmental Metaphor in Counseling. The Journal of Humanistic Counseling, Education and Development, 44(2), 134–144. doi:10.1002/j.2164-490x.2005.tb00026.x