Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Relasi Kuasa dalam Perwujudan Keadilan Restoratif
15 November 2022 21:51 WIB
Tulisan dari Safira Annisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Moralitas dan nilai kemanusiaan kembali tercoreng di penghujung akhir tahun 2022. Tindak pidana perkosaan yang santer diperbincangkan terjadi di lingkup salah satu instansi pemerintahan kembali menambah panjang daftar kasus perkosaan di negeri ini. Peristiwa yang senyatanya terjadi di tahun 2019 lalu, kini kembali dibuka dengan seruan akses keadilan bagi korban.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari sejumlah sumber, tindak pidana perkosaan terjadi pada Desember 2019. Kejadian ini dialami sang korban, N yang merupakan tenaga honorer pada Kementerian Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah (Kemenkop UKM) oleh rekan-rekannya ketika mengadakan kegiatan dinas luar kantor di Kota Bogor. 4 (empat) orang pegawai ditetapkan sebagai tersangka setelah memperkosa di hotel lokasi kegiatan dengan status masing-masing tersangka terdiri atas 1 orang tenaga honorer, 1 orang tenaga outsourcing, 1 orang CPNS, dan 1 orang PNS. Terhadap tersangka yang berstatus honorer dan outsourcing dikenakan sanksi berupa pemecatan, sedangkan 2 orang pelaku lainnya dikenakan sanksi disiplin berat berupa penurunan jabatan.
Seiring bergulirnya proses penyidikan, korban kemudian menikah dengan salah satu pelaku yang masih berstatus lajang. Nyatanya usai pernikahan dilangsungkan, berakhir pula proses pidana kasus dimaksud. Proses penghentian penyidikan ditandai dengan dikeluarnya surat perintah penyidikan (SP3) dari pihak kepolisian di tahun 2020. Pasca dikonfirmasi, pihak korban menyatakan opsi pernikahan diinisiasi dan difasilitasi oleh pihak kepolisian, sementara didapati dalam forum lain kepolisian membantahnya dan mengatakan hal tersebut sebagai kesepakatan kedua belah pihak (korban dan pelaku).
ADVERTISEMENT
Harap akan keadilan bagi korban semakin jauh pasca tindakan sang suami yang sekaligus salah satu pelaku menggugat cerai korban dengan alasan ketidakharmonisan di antara keduanya.
Maka bergulirlah kembali perkara ini yang kemudian ditindaklanjuti secara serius oleh jajaran Kementerian yang dikomandoi Teten Masduki, Menteri Koperasi dan UKM, salah satunya dengan membentuk tim independen bersama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) serta aktivis perempuan.
Keadilan restoratif atau restorative justice dikemukakan Tony F. Marshall sebagai proses yang melibatkan para pihak dan masyarakat dengan lembaga hukum yang menanganinya. (Tony F Marshall, dalam bukunya Restorative Justice an Overview, 1999). Instrumen penerapan restorative justice tercantum dalam SK Dirjen Badilum Mahkamah Agung Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 yang dimaknai sebagai prinsip yang mengedepankan pemulihan kepada korban, tidak berat sebelah, tidak memihak, tidak sewenang-wenang, dan hanya pada kebenaran sesuai aturan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lebih lanjut, termasuk di dalamnya mempertimbangkan kesetaraan hak kompensasi dan keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan.
ADVERTISEMENT
Aturan MA dimaksud dalam konteks pemeriksaan pada perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum juga menyinggung mengenai teori relasi kuasa antara pelaku dengan korban. Dalam kasus a quo nuansa relasi kuasa nampak sangat kental mengingat kedudukan korban sebagai tenaga honorer sementara sebagian pelaku telah menjadi pegawai tetap.
Salah satu filsuf yang mengenalkan teori relasi kuasa, Michael Foucault memaknai relasi kuasa sebagai konsep hubungan kekuasaan yakni praktik kekuasaan dari subjek kepada objek melalui berbagai media dan rupa kekuasaan. Hal demikian tidak didapat dari cara represif melainkan secara manipulatif dan hegemonik. Sedangkan paham relasi dominasi mengandaikan relasi yang terjadi antar subjek berlangsung timpang dan secara tidak sejajar atau seimbang. Lebih lanjut, relasi dominasi dimaknai sebagai bentuk relasi kekuasaan yang asimetris dimana subjek yang didominasi memiliki keterbatasan ruang untuk bermanuver dan keterbatasan dalam menentukan tindakan yang dipilih (Foucault, 1982a)
ADVERTISEMENT
Kondisi tidak berimbang yang dialami korban dalam statusnya sebagai pegawai honorer tidak bisa serta merta diabaikan, terlebih kejadian berlangsung di lingkungan kerjanya. Secara faktual korban sudah tidak lagi bekerja dan berhenti dari jabatannya sementara kedua pelaku yang telah berstatus pegawai tetap masih tercatat menjadi pegawai kementerian dengan pembebanan sanksi disiplin berat. Opsi untuk melangsungkan pernikahan antara pelaku dengan korban juga semakin mengaburkan konsep keadilan dari sisi korban.
Ditinjau dari kondisi yang sedemikian rupa nampak ketimpangan relasi kuasa dalam hal ini pekerjaan, status, dan jabatan masih menjadi salah satu penghalang dalam memberikan solusi terbaik bagi korban. Terlebih dalam kurun waktu hampir 3 (tiga) tahun pasca kejadian rasa keadilan tak juga didapati korban hingga akhirnya perkara ini kembali bergulir.
ADVERTISEMENT
Komnas Perempuan menunjukkan data sepanjang tahun 2021 telah menerima laporan sebanyak 108 kasus kekerasan di lingkungan kerja oleh perempuan termasuk di dalamnya kasus kekerasan seksual, pelecehan seksual, dan pemerkosaan di lingkungan kerja. Hasil Catatan Tahunan Komnas Perempuan menyimpulkan pokok permasalahan suatu kasus kekerasan seksual berpotensi terulang dikarenakan sistem yang masih memandang hal tersebut sebagai masalah individual yang harus diselesaikan di luar tempat kerja. Sementara itu pemerkosaan berdampak secara fisik dan psikis bagi korban yang memerlukan penanganan serius. Terhadap korban kekerasan seksual di lingkungan kerja juga memberikan dampak tambahan berupa terhambatnya proses kerja, penurunan produktivitas kerja, bahkan hingga kehilangan pekerjaannya.
Di luar dari problema pemenuhan keadilan restoratif bagi korban, hal lain yang perlu menjadi sorotan bersama yakni kedudukan korban yang senyatanya “tidak terlalu jauh” dari pusaran di lingkup pemerintahan. Sebagai mantan pegawai yang bekerja di instansi pemerintahan, secara wajar sepatutnya jauh lebih mudah baginya mendapatkan akses dalam upaya pemenuhan keadilan. Pada lingkup unit kementerian pusat tentunya memiliki kemudahan akses dalam mendalami fakta, memproses, hingga menemukan solusi yang mampu memenuhi rasa keadilan korban. Upaya memberikan perlindungan dan pendampingan juga sepatutnya diberikan secara optimal sejak awal bergulirnya kasus dengan pemangku kepentingan terkait yang fokus dalam penanganan perkara. Sebuah ironi jika apa yang terjadi dan melekat di tubuh salah satu institusi pemerintahan nyatanya masih jauh dari keadilan bagi sejumlah pihak utamanya korban dan keluarga.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana masyarakat mampu percaya dan menaruh harap dalam penyelesaian kasus-kasus akar rumput lainnya?