Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
"Mabuk" Pilkada 2024: Harapan atau Ujian
29 Oktober 2024 13:27 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhamar Dani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 menjadi salah satu momen yang paling dinanti dalam perjalanan politik di Indonesia. Seperti halnya pesta demokrasi sebelumnya, gelaran ini menghadirkan beragam dinamika yang penuh warna. Mulai dari euforia masyarakat, tensi politik yang memanas, hingga harapan besar terhadap calon pemimpin yang akan menakhodai berbagai daerah di Indonesia. Namun, di balik gegap gempita ini, tak jarang kita menemukan fenomena yang sering disebut sebagai "mabuk pilkada".
Euforia yang Menyapu Seantero Negeri
ADVERTISEMENT
Ketika bicara tentang Pilkada, yang pertama kali mencuat adalah antusiasme masyarakat. Jalanan dipenuhi dengan spanduk, baliho, dan kampanye politik yang menggelegar. Debat kandidat di layar kaca hingga kampanye langsung di lapangan menjadi santapan sehari-hari masyarakat. Seakan semua mata tertuju pada perhelatan besar ini, berharap pemimpin baru akan membawa perubahan signifikan bagi daerah mereka.
Fenomena ini, yang oleh sebagian orang disebut sebagai "mabuk pilkada", menunjukkan bagaimana pemilihan kepala daerah dapat mendominasi wacana publik. Diskusi-diskusi di warung kopi hingga obrolan di media sosial dipenuhi dengan analisis politik dadakan, opini, serta dukungan bagi masing-masing kandidat. Masyarakat terlihat terbuai oleh harapan dan janji-janji perubahan yang disampaikan oleh calon-calon pemimpin tersebut.
Politik Uang dan Janji Palsu
ADVERTISEMENT
Sayangnya, euforia pilkada sering kali diwarnai oleh praktik-praktik yang kurang etis. Salah satunya adalah politik uang. Pada fase kampanye, banyak oknum yang memanfaatkan semangat masyarakat dengan menawarkan imbalan finansial sebagai bentuk "rayuan" untuk mendapat suara. Fenomena ini sering terjadi di berbagai daerah, di mana masyarakat dibuat mabuk oleh janji-janji instan atau bantuan-bantuan sementara yang sesungguhnya tidak memiliki dampak jangka panjang.
Janji-janji palsu dari kandidat juga sering kali menjadi pemicu rasa kecewa di kemudian hari. Banyak calon pemimpin yang berjanji memperbaiki infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan, hingga menciptakan lapangan pekerjaan, namun tak jarang janji-janji tersebut hanya sebatas retorika kampanye yang tidak terealisasi.
Fenomena "mabuk pilkada" juga tak bisa lepas dari polarisasi yang terjadi di tengah masyarakat. Banyak masyarakat terpecah menjadi kelompok-kelompok pendukung fanatik yang kerap berseteru satu sama lain, baik di dunia nyata maupun di media sosial. Polarisasi ini, jika tidak dikelola dengan bijak, dapat menimbulkan konflik sosial yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Kontestasi politik yang sehat seharusnya menjadi ajang pertukaran gagasan dan debat yang bermartabat. Namun, pada kenyataannya, pilkada sering kali justru memunculkan sentimen negatif, saling menjatuhkan, dan bahkan tindakan anarkis. Mabuk politik seperti ini sangat berbahaya karena merusak persatuan di antara masyarakat yang seharusnya justru semakin solid dalam momen penting seperti ini.
Harapan Semu
"Mabuk Pilkada" sering kali memberikan harapan semu kepada rakyat. Sehingga harapan semu tersebut yang selalu menyertai setiap momen pesta demokrasi. Pilkada 2024 ini merupakan salah satu praktik dalam sistem demokrasi bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang di gadang-gadang akan membawa perubahan di daerahnya. Namun semenjak Pilkada dilaksanakan 5 tahunan sekali yang hanya sekedar mengganti kepala daerah bukan memberikan perubahan yang diinginkan oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pemimpin-pemimpin daerah terpilih yang diharapkan dapat mengatasi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, seperti kemiskinan, infrastruktur yang tertinggal, pendidikan, hingga lapangan pekerjaan. Dan ternyata harapan-harapan ini, hanya tinggal harapan disaat para kepala daerah tersebut telah terpilih.
Pentingnya Edukasi Politik yang Benar
Agar masyarakat tidak "mabuk" oleh janji-janji politik, edukasi politik menjadi elemen yang sangat penting. Masyarakat perlu lebih kritis dalam menyikapi setiap informasi yang diterima dan tidak mudah terprovokasi oleh kampanye hitam atau berita bohong yang kerap muncul saat pilkada. Ada baiknya masyarakat harus lebih melek politik sehingga mereka tidak sekedar ikut-ikutan dalam menentukan masa depan di daerahnya.
Di dalam pemahaman islam, politik merupakan aktivitas dalam mengurusi segala urusan umat (masyarakat). Setiap aktivitas kepala daerah itu hanya untuk rakyatnya, bukan sebaliknya. Maka seorang kepala daerah harus memahami bahwa amanah yang diembannya itu akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah swt. Maka "mabuk pilkada" bisa menjadi ujian berat bagi rakyat. Karena apa yang dilakukan tersebut tidak sesuai yang diperintahkan oleh Allah dan akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.
ADVERTISEMENT
Pilkada 2024 jelas bukanlah pesta rakyat sebenarnya tetapi adalah pestanya para partai politik dan para kadernya. Jelas, bahwa setiap diadakan Pilkada bukanlah para calon itu yang dipilih langsung oleh rakyat tetapi dipilih oleh para elit partai politik. Sehingga ini bukan dinamakan dengan demokrasi pilihan dari rakyat dan untuk rakyat. Lantas apakah ini masih dinamakan demorasi?
Setelah terpilih, tentu para kepala daerah tersebut bertugas apakah untuk rakyat sesungguhnya? Pada masa sebelumnya banyak para kepala daerah hanya mementingkan partainya, dan para elit-elit politiknya. Sudah selayaknya dan seharusnya rakyat harus sadar dari mabuk pilkada tersebut. Agar kehidupan politik dan bernegara kita semakin baik kedepannya.