Konten dari Pengguna

Kepercayaan: Kunci Mengatasi Krisis

M. Said Didu
Pengamat kebijakan publik.
22 Maret 2020 15:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M. Said Didu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi corona. Foto: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi corona. Foto: Maulana Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap terjadi krisis—krisis apa pun—dipastikan akan menguji kepercayaan publik terhadap kemampuan pemimpin mengatasi krisis yang sedang terjadi. Saat krisis, rasionalitas publik, objektivitas data dan informasi, serta rekam jejak pemimpin akan menentukan tingkat kepercayaan publik.
ADVERTISEMENT
Kepercayaan publik tidak bisa direkayasa saat terjadi krisis. Sehingga saat terjadi krisis penyampaian informasi harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan sejujur-jujurnya. Sekali melakukan kesalahan informasi maka sangat sulit kembali meyakinkan publik untuk mendapatkan kepercayaan—apalagi jika pemimpin memiliki rekam jejak yang tidak konsisten dan tidak transparan.
Pada krisis 1998, kepercayaan yang pertama hilang adalah bahwa dengan pelemahan rupiah maka Indonesia tidak punya kemampuan devisa untuk membayar utang (swasta dan pemerintah).
Pak Harto mencoba mengembalikan kepercayaan tersebut dengan meminjam uang ke IMF atau pada dasarnya "menyerahkan" kebijakan ekonomi diatur oleh IMF—karena saat bersamaan terjadi juga penurunan kepercayaan politik, maka resep IMF tidak cukup mengembalikan kepercayaan publik kepada Pak Harto, sehingga Pak Harto memilih berhenti sebagai Presiden dan digantikan oleh Pak Habibie.
ADVERTISEMENT
Pak Habibie melakukan banyak sekali perubahan untuk meningkatkan kepercayaan, baik kepercayaan politik maupun kepercayaan kebijakan ekonomi. Selain konsisten melanjutkan kesepakatan antara Pak Harto dengan IMF (Letter of Intent—LoI), Pak Habibie melakukan kebebasan pers, membebaskan tahanan politik, memisahkan Bank Indonesia menjadi independen, dan lain-lain.
Salah satu kebijakan yang berpengaruh dalam meningkatkan kepercayaan terhadap Pak Habibie adalah saat menandatangani "penghentian" produksi pesawat N-250 yang merupakan pesawat ciptaan beliau serta menghentikan semua bantuan pemerintah ke seluruh Industri strategis yang beliau bangun puluhan tahun.
Ini bagaikan seorang ayah yang membunuh "anaknya" demi keselamatan negaranya. Sebagai Presiden, Pak Habibie bisa saja bernegosiasi ulang dengan IMF untuk menunda atau membatalkan butir kesepakatan dalam LoI tersebut, tapi demi menyelamatkan bangsa, Pak Habibie memilih "membunuh anaknya". Itulah pentingnya kepercayaan.
ADVERTISEMENT
Buah dari rangkaian kebijakan tersebut Pak Habibie berhasil memperbaiki perekonomian dalam waktu yang sangat singkat, antara lain menurunkan kurs Rupiah dari Rp 16.950 menjadi Rp 6.500, juga menurunkan tingkat suku bunga Bank dari sekitar 70% menjadi sekitar 18%.
Walau berhasil mengembalikan kepercayaan ekonomi, namun kepercayaan politik sulit diperoleh secara optimum. Kepercayaan politik Pak Habibie dirusak setelah Indonesia kalah pada referendum pembebasan Timor Timur. Inilah yang menjadi senjata pamungkas lawan-lawan politik Pak Habibie sehingga dalam voting pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak pada Sidang Umum Istimewa MPR.
Karena merasa tidak lagi mendapatkan kepercayaan politik maka Pak Habibie tidak maju lagi menjadi calon Presiden—walau masih punya hak dan masih punya dukungan kuat. Sekali lagi itulah pentingnya kepercayaan.
Petugas PMI memakai kacamata pelindung untuk melakukan penyemprotan cairan disinfektan pada Wisma Atlet di Kemayoran, Jakarta, Sabtu (21/3). Foto: ANTARA/M. Risyal Hidayat
ADVERTISEMENT
Krisis yang sedang terjadi 2020 dipicu oleh pandemi Corona yang menyebabkan:
Gejala tersebut sepertinya terjadi kombinasi turunnya kepercayaan publik atas kemampuan pemerintah menangani pandemi corona serta juga karena fondasi ekonomi Indonesia yang memang lagi rapuh. Penyebabnya antara lain tingginya utang luar negeri, terjadinya defisit fiskal, defisit perdagangan, dan defisit transaksi berjalan.
Pemerintah di bawah kepemimpinan Pak Jokowi dituntut untuk mampu mengembalikan kepercayaan minimal dalam 3 (tiga) hal:
ADVERTISEMENT
Agenda yang sangat mendesak adalah mengembalikan kepercayaan atas keseriusan penanganan pandemi corona. Ini menjadi penting karena awalnya pemerintah terkesan "menggampangkan" kasus pandemi corona.
Berbagai pernyataan pejabat bahkan terkesan menjadikan kasus pandemi corona sebagai candaan.
Saat semua negara dan WHO menganggap bahwa kasus pandemi corona sangat serius, muncul pernyataan-pernyataan dan kebijakan yang kontroversial.
Saat negara lain membatasi pergerakan manusia muncul kebijakan mengundang wisatawan dari luar negeri dengan pemberian berbagai insentif, bahkan menyediakan anggaran Rp 72 miliar untuk membiayai influencer.
Pernyataan Bapak Wapres bahwa corona bisa diatasi dengan kunut dan minum susu kuda liar, pernyataan Menteri Kesehatan bahwa infeksi corona bisa sembuh sendiri, peragaan salam sikut untuk hindari infeksi corona oleh kepala KSP, pernyataan tenaga ahli utama KSP Pak Ali Mochtar Ngabalin bahwa virus corona tidak bisa hidup di iklim tropis, serta berbagai pernyataan candaan lain oleh berbagai pejabat.
ADVERTISEMENT
Atas pernyataan-pernyataan pejabat tersebut Dirjen WHO meminta agar pemerintah Indonesia serius mempersiapkan langkah-langkah mengatasi pandemi corona. Demikian juga halnya dengan pemerintah Singapura dan Australia yang menyatakan tidak percaya atas langkah penanganan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Peningkatan kepercayaan terhadap pemerintah untuk mengatasi mengatasi krisis ekonomi yang sedang terjadi sangat tergantung pada kemampuan mengembalikan kepercayaan terhadap kemampuan mengatasi pandemi corona.
Karena mayoritas partai politik adalah pendukung pemerintah, maka saat ini terkesan bahwa kepercayaan politik masih baik-baik saja. Tapi jika terjadi kegagalan dalam mengatasi krisis corona dan krisis ekonomi, tidak ada yang bisa memastikan bahwa kepercayaan politik tidak akan berubah.
Apa pun kebijakan yang akan diambil, sebaiknya lupakan dulu tentang politik, fokuslah pada upaya menyelamatkan nyawa manusia—rakyat Indonesia—hanya itu satu-satunya pintu untuk membuka munculnya kepercayaan.
ADVERTISEMENT