Kedudukan Hukum Ekonomi Syariah pada Tata Kelola Hukum Nasional Indonesia

Said Fikri
Menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
20 November 2022 16:25 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Said Fikri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hukum ekonomi syariah, foto: https://www.pexels.com/id-id
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hukum ekonomi syariah, foto: https://www.pexels.com/id-id
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bangkitnya rancangan Ekonomi syariat di dalam keprakarsaan ekonomi kapitalis dan sosialis dimulai di media 1940 dan dalam dekade berikutnya muncul konsep Hukum Ekonomi syariat yang tersebar di banyak negara. Sekarang ini pemerintah Malaysia, Pakistan dan di banyak negara lain telah menjalankan program sentralisasi sistem redistribusi Islam, yakni zakat. Lalu, lebih dari 60 negara lewat Bank Islam memberikan penawaran terkait system free interes yang dipakai menjadi alternatif corak perbankan konvesional serta sistem bunga yang dianutnya. Meski kajian mengenai ekonomi syariat telah berlangsung sejak dahulu, hampir seumur dengan agama Islam itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Jika menilih keadaan yang muncul di Indonesia, datangnya elemen Islam yang bernama ekonomi syariat pada cita-cita hukum ekonomi Indonesia, artinya bukan menggiring ekonomi nasional ke arah pemikiran ekonomi agama tertentu, namun disebabkan ekonomi syariat telah lama muncul dan tumbuh tak cuma di NKRI, namun dalam cakupan global. Sistem ekonomi syariat menjadi salah satu dari sistem ekonomi lain yakni kapitalis dan sosialis.
Dijelaskan oleh Asshiddiqie, dalam sudut pandang hukum ekonomi, Indonesia tak harus terperangkap dalam pembahasan terkait pemikiran ideologi ekonomi. Ekonomi syariat posisinya punya sebuah fondasi yang kokoh mulai dari formal syar’i sampai dengan konstitusi. Dipandang dari formal syar'i, posisi dari ekonomi syariat punya fondasi dalil yang kokoh. Sedangkan dalam bahasan negara, ekonomi syariat ini memiliki landasan konstitusional.
ADVERTISEMENT
Sistem Ekonomi syariat dalam sebuah sudut dan Hukum Ekonomi syariat dalam sudut yang lain jadi sebuah persoalan yang wajib disusun berdasar pada cita-cita Undang-Undang yang ada di Indonesia. Guna menyusun sebuah sistem hukum ekonomi syariat dibutuhkan niat yang khusyuk dari warga dalam menjalankan untuk aturan dan kebijakan Fiqih di sektor ekonomi, di sisi lain guna menyusun sebuah sistem Hukum Ekonomi syariat dibutuhkan niat besar dari politik guna mengambil dan mengakusisi hukum Fiqih dengan pengadaptasian kepada keadaan yang ada di lingkungan Indonesia. Adopsi yang dilakukan menjadi sebuah ijtihad para fukoha, ulama juga pemerintah, alhasil hukum akan punya sifat memaksa menjadi unit hukum yang sistematis bertajuk Kompilasi Hukum Ekonomi syariat (KHES)
KHES artinya mengesahkan, menjalankan dan mengualifikasikan hukum ekonomi syariat di NKRI. Apabila KHES tak dirangkap, alhasil hakim pengadilan agama bisa menentukan perkara ekonomi syariat dengan berpedoman pada kitab fiqih yang ada dalam banyak macam mazhab, sebab tak adanya pedoman hukum positif yang sifatnya telah dikualifikasi. Kemudian, muncul adanya disparitas dalam keputusan antar satu pengadilan dengan pengadilan lainnya, dari hakim satu ke hakim lainnya. Ini bisa membuktikan terwujudnya peribahasa populer yakni “lain hakim lain pendapat dan keputusan”. KHES telah disahkan dalam wujud kebijakan MA No. 2 tahun 2008 mengenai kompilasi hukum ekonomi syariat. KHES ini telah mendapatkan revisi pengadaptasian aturan syariat yang telah ada, contohnya fatwa DSN (Dewan syariat Nasional).
ADVERTISEMENT