Corona dan Hilangnya Memori Sejarah

Saidah Rauf
Dosen pada Program Studi Keperawatan Masohi, Poltekkes Kemenkes Maluku
Konten dari Pengguna
6 September 2021 20:23 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Saidah Rauf tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepekan setelah peringatan hari kemerdekaan, kami sekeluarga bercengkrama di halaman depan rumah. Saya dan suami menceritakan tentang kisah dan pengalaman kami tentang berbagai hal di masa lalu termasuk keseruan dan kemeriahan perayaan hari kemerdekaan setiap bulan Agustus.
ADVERTISEMENT
Kisah paling epik yang suami saya ceritakan adalah pengalamannya saat SMP melewatkan malam 17 Agustus di Gunung Salahutu bersama teman-teman sekolahnya. Saya juga tidak mau kalah semangat menceritakan pengalaman meriahnya suasana perayaan kemerdekaan dahulu.
Berbagai jenis mata lomba mulai dari kegiatan olahraga dan seni, aktivitas yang serius seperti cerdas cermat dan lomba pidato kemerdekaan hingga lomba sederhana untuk lucu-lucuan semisal lomba lompat karung, membawa kelereng dengan sendok, panjat pinang, dan lainnya yang selalu dihadirkan untuk menyemarakkan
Canva
suasana. Suasana di halaman rumah menjadi riuh dan penuh kegembiraan setiap kali saya dan suami berbagi peristiwa masa lalu tentang keseruan perayaan hari kemerdekaan yang terekam dalam kepala.
“Di masa depan Abang harus cerita apa dong ke anak-anak? Sudah dua kali Agustus, kita hanya tinggal di rumah saja. Tak ada lomba apa-apa atau kegiatan yang menarik” Komentar datar dan pelan dari anak saya Ibnu sesaat setelah mendengarkan berbagai kisah masa lalu yang saya dan suami sampaikan.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan anak sulung saya ini membuka fakta bahwa pandemi Corona bukan hanya telah membatasi ruang gerak manusia tapi juga menyumbat gerak peristiwa yang bisa dijadikan kisah masa lalu atau sejarah di masa depan. Anak-anak saya dan mungkin anak-anak lain di Indonesia, berpotensi mengalami kemandulan narasi untuk menuturkan kisah perayaan kemerdekaan yang meriah dan penuh warna bagi generasi mendatang akibat serangan Corona.
Mengingat pandemi yang diprediksi belum tentu berakhir hingga tahun depan dan dugaan bahwa Indonesia adalah negara paling akhir di dunia yang akan terbebas dari Corona, saya jadi kasihan pada nasib anak-anak saya kelak. Kehilangan momen bersejarah pada perayaan 17 Agustus dua tahun ini saja sudah sebuah kerugian, apalagi jika ini harus berlanjut hingga satu atau dua tahun mendatang. Corona benar-benar telah mengancam hilangnya memori sejarah dalam isi kepala anak-anak bangsa.
ADVERTISEMENT
Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan anak-anak saya ceritakan ke anak cucu mereka jika ada yang bertanya seperti ini “Kakek, apa yang kakek lakukan dulu saat perayaan hari kemerdekaan?” Anak-anak saya mungkin mengalami kesulitan menjawab pertanyaan sederhana semacam ini. Bukan karena kehilangan kata tapi kemiskinan peristiwa dalam ingatan.
Situasi perayaan kemerdekaan di masa pandemi saat ini sangatlah berbeda dengan kondisi kami dahulu. Memori tentang kemeriahan perayaan hari kemerdekaan adalah peristiwa baku yang selalu hadir dari waktu ke waktu dalam ingatan saya. Memori tentang kemeriahan peringatan hari kemerdekaan tidak akan terbentuk dalam serabut saraf di otak anak-anak generasi pandemi karena peristiwa semacam itu tidak lagi mereka saksikan atau alami sendiri. Jika ketiadaan ingatan tersebut terus berlanjut, terjadi berulang-ulang, maka tak akan ada kenangan yang bisa diceritakan tentang spesialnya perayaan hari kemerdekaan di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan anak saya tadi hanya sebuah ungkapan biasa, tapi bagi saya hal itu adalah wujud sebuah kegelisahan. Kekhawatiran tentang nilai-nilai historis seperti apa yang bakal menarik mereka ceritakan ke generasi berikutnya. Seperti suami mengisahkan spirit nasionalisme saat memegang bendera merah putih di puncak gunung atau saya yang keluar sebagai juara lomba puisi dan pidato kemerdekaan, meski hanya juara harapan.
Anak-anak dan remaja generasi pandemi tak dapat merasakan sendiri betapa menegangkan sekaligus menenangkannya menjaga kelereng tetap stabil di atas sendok hingga garis finish atau tertawa setelah jatuh terguling-guling saat lompat karung. Mereka tidak dapat menyaksikan pentas solidaritas saat sekelompok laki-laki bergumul dengan licinnya oli bekas dan terinjak-injak hanya demi mengambil hadiah yang tergantung di ujung pohon pinang. Kisah konstruktif seperti apa yang dapat dituturkan pada anak cucu mereka nanti jika selama pandemi, kegiatan yang mereka lakukan hanyalah aktivitas membosankan yang dilakukan berulang-ulang sepanjang hari. Seputar kamar, ruang tamu, teras, kamar mandi, ruang makan, dapur, dan halaman rumah.
ADVERTISEMENT
Memori masa pandemi di kepala mereka mungkin hanya dipenuhi dengan kekesalan tentang keterbatasan pergaulan secara normal dengan teman sebaya. Aktivitas belajar yang melelahkan dan membosankan melalui zoom, google meet, atau aplikasi lainnya yang dilakukan dalam keadaan sunyi di kamar sendiri. Pola interaksi antara siswa dengan guru yang cenderung kaku dan sering terganggu gara-gara jaringan internet yang tidak lancar. Belum lagi tugas-tugas individu yang seolah menggandakan diri selama belajar daring di masa pandemi.
Bukan hanya itu, berbagai kompetisi tingkat sekolah yang terpaksa dibatalkan akibat Corona sehingga menghilangkan kesempatan anak-anak untuk memiliki pengalaman mengembangkan diri, berkompetisi, dan membangun kepercayaan diri dari sebuah perlombaan. Kisah anak-anak di antara dua tahun perayaan hari kemerdekaan ini adalah melulu tentang belajar daring, diri sendiri, rumah, saudara, orang tua, dan keluarga.
ADVERTISEMENT
Hilangnya khasanah peristiwa di masa lalu bukanlah peristiwa sepele. Ini tidak hanya tentang memori perayaan hari kemerdekaan saja, tetapi juga berbagai peristiwa penting dalam keseharian untuk membentuk ingatan dan pengalaman hidup yang mungkin lenyap disergap Corona. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh seseorang di masa lalu membentuk sejarah diri dalam wujud memori jangka panjang atau memori autobiografi.
Memori autobiografi sangat penting bagi perkembangan seseorang karena mengandung pengetahuan tentang diri sekaligus membentuk identitas atau jati diri seseorang di tengah masyarakat. Memori autobiografi memungkinkan manusia untuk menghubungkan peristiwa masa lalu dengan kejadian masa kini serta rencana masa depan. Memori jangka panjang tentang kisah diri di masa lalu adalah jembatan antara sejarah diri dengan keadaan hari ini dan tindakan di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Kisah-kisah yang diceritakan orang tua saat ini dalam bentuk narasi sejarah masa lalu merupakan sebuah pembelajaran reflektif dan konstruktif untuk membantu anak-anak belajar tentang hal-hal yang perlu dipelihara, dikembangkan atau harus dihindari. Kebiasaan atau peristiwa sejarah yang istimewa atau baik perlu dipertahankan dan dikembangkan di masa kini dan masa depan, sementara peristiwa atau perbuatan yang kurang baik di masa lalu sebaiknya dihindari.
Memperingati hari kemerdekaan dengan meriah dan gembira merupakan sebuah kebiasaan baik di masa lalu sebagai sebuah bentuk penghargaan terhadap jasa para pahlawan, memupuk rasa persatuan dan kesatuan, menumbuhkan nasionalisme, serta kecintaan terhadap tanah air. Kebiasaan ini hanya akan lestari di masa depan, jika di masa kini terbentuk memori sejarah dalam kepala generasi muda bangsa ini.
ADVERTISEMENT