Pentingnya Edukasi Afektif dalam Penanggulangan COVID-19

Saidah Rauf
Dosen pada Program Studi Keperawatan Masohi, Poltekkes Kemenkes Maluku
Konten dari Pengguna
16 Agustus 2021 16:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Saidah Rauf tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintah pusat telah memutuskan perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) hingga tanggal 16 Agustus 2021. Sehari sebelum perayaan hari Kemerdekaan bangsa. Entah nanti akan ada perpanjangan lagi atau dihentikan. Kebijakan ini diambil untuk menekan laju pertambahan kasus COVID-19 di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebagai alumni COVID-19 dan mantan pelaku isolasi mandiri, saya mendukung kebijakan PPKM ini. Kita harus bertahan dalam keterbatasan karena virus Corona harus diperangi habis-habisan. Jangan biarkan ia bernapas bebas dalam udara Ibu Pertiwi.
Sejak pemberlakuan PPKM bulan Juli lalu, kasus konfirmasi positif menunjukkan penurunan yang signifikan. Namun, apakah trend penurunan kasus konfirmasi positif di Indonesia mampu dipertahankan setelah kebijakan PPKM ini dihentikan? Perlu diingat bahwa PPKM hanya satu solusi mencegah COVID-19, sementara ketaatan terhadap Protokol Kesehatan (Prokes) seperti memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, serta melakukan vaksinasi tetap perlu dilakukan oleh segenap warga agar terhindar gigitan virus Corona.
Kenyataannya, kesadaran melakukan prokes masih rendah di masyarakat Indonesia. Di sisi lain, meskipun partisipasi masyarakat terhadap program vaksin makin tinggi, cakupan vaksinasi baru sebesar 25% dari total 208,265,720 jiwa sasaran vaksin (Kemenkes RI, per tanggal 16 Agustus 2021). Masih sangat jauh dari harapan terbentuknya kekebalan komunitas sehingga Corona bisa ditumpas. Fakta ini cukup mengarahkan pada jawaban pertanyaan sebelumnya bahwa PPKM berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan bisa jadi tidak tuntas menanggulangi COVID-19 jika penerapan Prokes dan cakupan vaksin pada masyarakat belum sesuai dengan dengan target yang diharapkan.
ADVERTISEMENT
Butuh kesadaran diri tinggi akan bahaya COVID-19 yang tak kasat mata agar masyarakat mau menjalankan prokes secara sukarela. Korban yang berguguran telah terbilang ratusan ribu nyawa. COVID-19 melibas ratusan tenaga kesehatan, putra-putri harapan bangsa. Tidak sedikit keluarga yang berduka. Anak yang tiba-tiba menjadi yatim, piatu, atau sekaligus yatim dan piatu pun tersebar di setiap daerah di mana virus ini bertakhta.
Pada situasi genting ini, menjaga diri dengan taat menerapkan prokes adalah kewajiban bukan pilihan. Kondisi ini menimbulkan urgensi bagi pemerintah untuk mengubah gaya atau strategi edukasi bagi masyarakat agar dapat sama-sama menghalau serangan COVID-19.
Komponen edukasi tentang COVID-19 yang ditampilkan oleh pihak yang berwenang selama ini cenderung masih ditujukan untuk mengaktifkan aspek kognitif dan psikomotorik dari masyarakat. Misalnya menyampaikan data harian pasien yang terkonfirmasi positif, pasien sembuh, dan pasien meninggal serta kampanye penerapan prokes. Padahal menurut Stefano Paliagro dan kawan-kawan dalam penelitiannya yang dipublikasikan pada jurnal PLOS ONE, informasi tentang peningkatan kasus dan jumlah kematian tidak berpengaruh terhadap keinginan masyarakat untuk percaya bahwa COVID-19 adalah penyakit berbahaya sehingga butuh perilaku pencegahan dan penanganan segera.
ADVERTISEMENT
Di tengah hantaman hoaks dan berbagai teori konspirasi yang merajalela, komponen edukasi yang hanya memfokuskan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman (kognitif) semata rasanya tidak cukup. Pola-pola penyampaian informasi dan edukasi yang menekankan pada aspek afektif atau rasa publik dalam penanggulangan COVID-19 tampaknya belum mendapat perhatian lebih.
Dalam dunia edukasi, stimulasi pada afeksi seseorang termasuk ranah dalam taksonomi Bloom untuk mengubah perilaku seseorang selain ranah kognitif dan psikomotorik. Ranah afektif mengacu pada strategi edukasi dengan memicu bagimana cara seseorang untuk menangani hal-hal secara emosional, seperti perasaan, nilai, penghargaan, empati, semangat, motivasi, dan sikap. Efektivitas edukasi yang melibatkan rasa telah terbukti dapat meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat ketika menghadapi tragedi. Masyarakat umumnya mudah terbawa dengan suatu pesan jika pesan tersebut mampu menyentuh dimensi rasa.
ADVERTISEMENT
Hingga setahun lebih pandemi melanda negeri ini, saya rasanya belum melihat ada stasiun TV yang memberitakan korban tragedi COVID-19 dengan cara yang sama seperti mewawancarai anggota keluarga korban atau memberitakan korban yang meninggal akibat kecelakaan sarana transportasi atau bencana alam lain. Padahal, mohon maaf, jumlah korban yang meninggal karena virus ini dalam sehari dapat setara dengan sepuluh kasus kecelakaan sarana transportasi udara.
Edukasi afektif mungkin bisa dimulai dengan menayangkan kisah inspirasi sukses melawan COVID-19 dari pasien-pasien gejala sedang sampai berat yang sembuh. Menggali pengalaman mereka tentang gejala-gejala yang dirasakan dan apa upaya yang dilakukan serta kesulitan yang dialami saat menjalani perawatan. Bisa juga dengan mewawancarai individu-individu yang terpaksa anggota keluarganya menjadi korban kekejaman COVID-19. Alternatif lain lagi adalah menampilkan profil tenaga kesehatan yang telah menjadi korban saat berjuang di garda terdepan dengan kisah-kisah inspiratif dan heroiknya. Tayangan ini seharusnya mendapat porsi penayangan yang besar, diputar berulang-ulang. Bila mungkin, tayang layaknya iklan.
ADVERTISEMENT
Penerapan edukasi yang lebih menyentuh sisi afeksi atau perasaan warga merupakan strategi yang patut dicoba. Strategi ini diharapkan mampu memunculkan kesadaran masyarakat dan empati sehingga masyarakat secara kesatuan mau secara sukarela divaksin dan menerapkan prokes. COVID-19 adalah penyakit yang tidak bisa dilawan hanya oleh sekelompok atau sebagain orang. Setiap warga negara harus bergerak dalam kesatuan. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Semoga COVID-19 segera angkat kaki dari bumi Pertiwi. Merdeka!