Konten dari Pengguna

PENGISIAN JABATAN WAKIL PRESIDEN

Saiful Anam
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Sahid Jakarta, Direktur Pusat Riset Politik Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI)
27 Juni 2023 9:33 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Saiful Anam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
perebutan jabatan Wakil Presiden
zoom-in-whitePerbesar
perebutan jabatan Wakil Presiden
ADVERTISEMENT
Hingar bingar pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden mulai mengemuka sejak partai politik mulai mengajukan calon Presiden yang akan dimajukan pada pemilu 2024 yang akan datang. Tarik-menarik kepentingan antar parpol telah mulai tampak tidak hanya penentuan kandidat calon Presiden (capres) namun juga yang tidak kalah pentingnya adalah penentuan kandidat calon Wakil Presiden (cawapres).
ADVERTISEMENT
Capres yang digadang-gadang oleh partai politik mulai ditentukan, tentu tidak semua calon, karena hanya partai politik tertentu yang dapat mencalonkan pasangan, yaitu partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR pada pemilu 2019 yang lalu.
Jika melihat konfigurasi politik yang ada, penentuan kandidat cawapres lebih mendapatkan perhatian, karena selain penentuan capres telah jelas dan sudah dapat dipastikan orang-orangnya, namun perebutan untuk menyokong suara calon Presiden itulah yang menyebabkan perebutan dan penentuan kursi calon Wakil Presiden menjadi cukup memanas dan lebih menarik untuk dibahas daripada sekedar calon Presiden.
ADVERTISEMENT
Secara konstitusional capres dan cawapres diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum. Namun disinilah letak problem dan persoalannya dimana kadang kala menjadi rumit dan menimbulkan problem tarik menarik kepentingan dalam penentuan cawapres pasca amandemen Undang-Undang-Dasar 1945, dimana pada akhirnya secara praktis partai politik harus melakukan koalisi tidak hanya dalam menentukan capres, namun juga dalam penentuan cawapres.
Determinasi Kewenangan
Pragmatisme parpol dalam menentukan arah koalisi mengakibatkan tidak adanya koalisi yang mengarah kepada koalisi ideologis, kuat dan permanen baik di tingkatan pusat dan daerah. Namun lebih mengarah kepada koalisi yang bersifat untung-rugi guna mencapai tujuan akhir yakni mendapatkan kemenangan dengan cara apa pun. Partai politik berlomba-lomba mulai tebar pesona dan menarik simpati publik tidak hanya melalui kandidat capres yang diusungnya, namun juga berharap lebih dari efek elektoral dari cawapres yang akan diusungnya. Untuk itu tak ayal pada akhirnya tarik-menarik kepentingan justru lebih menarik dan dominan dalam penentuan cawapres, meskipun tidak didukung oleh instrumen pembatasan yang jelas antar kewenangan satu dengan lainnya.
ADVERTISEMENT
Fakta yang demikian sangat berpengaruh terhadap dinamika hubungan, peran dan fungsi Presiden dan Wakil Presiden apabila terpilih kelak. Dengan adanya kondisi tersebut akan mengakibatkan hubungan pemisahan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden menjadi tidak seimbang sehingga pada kenyataannya sering kali terdapat kepincangan antara kewenangan yang harus dijalankan baik oleh Presiden maupun oleh Wakil Presiden.
Hegemoni kekuasaan Presiden menjadi sangat dominan, sehingga fungsi dan peran Wakil Presiden menjadi tidak jelas bahkan hanya dijadikan sebagai pelengkap kekuasaan atau bahkan hanya dijadikan sebagai ban serep sehingga tidak cukup signifikan dalam memberikan kontribusinya dalam menuntaskan berbagai persoalan bangsa yang kian hari semakin pelik.
Determinasi Presiden selain diakibatkan oleh belum jelasnya batas-batas kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden, juga diakibatkan oleh mekanisme pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu pasangan sehingga pada akhirnya sering kali menimbulkan benturan kewenangan (conflict of authority) yang tidak jarang berujung kepada kerenggangan hubungan kewenangan antara Presiden dan wakil Presiden, terlebih lagi pada saat di penghujung jabatan keduanya mendekati pemilihan umum berikutnya apabila keduanya sama-sama berkeinginan untuk maju pada kontestasi berikutnya.
ADVERTISEMENT
Pemisahan Pengisian
Salah satu cara untuk mengantisipasi adanya konflik kewenangan dan tidak memposisikan Wakil Presiden seolah-olah hanya sebagai ban serep, sehingga baik Presiden dan Wakil Presiden sama-sama memiliki peran strategis dalam pembangunan yakni dengan cara membedakan dari segi mekanisme dan tata cara pengisiannya.
Pengisian jabatan Presiden hemat penulis tetap melalui sistem pemilihan langsung oleh rakyat yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, sehingga diharapkan semakin memperkuat semangat sistem Presidensialisme yang merupakan pilihan konstitusional pasca reformasi. Presiden harus menjadi sentral tunggal dan menjadi kekuatan rakyat atas segala popularitas dan kelebihan serta kekurangan yang dimilikinya.
Presiden benar-benar secara elektoral merupakan representasi dan kehendak rakyat, karena tidak membutuhkan efek elektoral dari cawapres yang dipilih dalam satu pasangan calon. Presiden cukup dipilih secara tunggal oleh rakyat, sehingga Presiden terpilih benar-benar mewakili kehendak keinginan rakyat yang memilihnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian untuk pengisian jabatan Wakil Presiden dapat menggunakan mekanisme hak untuk konfirmasi (right to confirm) parlemen yang dapat diwakili oleh MPR. Wakil Presiden dipilih melalui proses pengajuan 2 (dua) kandidat dari Presiden terpilih untuk kemudian ditentukan oleh MPR sebagai representasi lembaga perwakilan rakyat.
Dengan pemisahan mekanisme dan tata cara pengisian antara Presiden dan Wakil Presiden maka selain semakin menguatkan sistem Presidensialisme, juga menegasikan posisi dan kedudukan MPR sebagai lembaga yang khas dalam struktur ketatanegaraan yang ada didunia. MPR memiliki kewenangan yang jelas, tidak hanya melakukan hal-hal yang bersifat seremonial belaka, akan tetapi dapat memilih dan menentukan Wakil Presiden yang diajukan oleh Presiden atau lembaga yang telah melakukan proses seleksi sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu dapat kemudian memberikan batas-batas yang jelas tentang kewenangan antara Presiden dan Wakil Presiden. Presiden misalnya hanya berkedudukan sebagai Kepala Negara, sedangkan Wakil Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.
Presiden sebagai Kepala Negara hanya memiliki otoritas terhadap hal-hal yang bersifat vital seperti memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dan perjanjian internasional dengan negara lain, menyatakan keadaan bahaya, mengangkat duta dan konsul, menerima penempatan duta negara lain, memberi grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi serta memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya.
Sedangkan Wakil Presiden sebagai Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pemerintahan, mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR, menetapkan Peraturan Pemerintah, mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri, membahas dan memberi persetujuan atas RUU bersama DPR serta mengesahkan RUU termasuk APBN dan menetapkan Perppu serta menetapkan dan mengangkat kelembagaan negara lainnya;
ADVERTISEMENT
Dengan adanya pembedaan garis yang tegas baik dari segi pengisian serta tugas batasan wewenang antara Presiden dan Wakil Presiden, maka diharapkan produktivitas kelembagaan Presiden dan Wakil Presiden semakin produktif dalam upaya mengefektifkan pembangunan nasional, dan keduanya benar-benar dapat memfungsikan sebagai lembaga yang jelas tentang batasan peran, fungsi dan kewenangannya dalam rangka menatap tantangan zaman.
Dengan adanya pemisahan yang tegas dan jelas baik kewenangan dan tata cara pengisian antara Presiden dan Wakil Presiden pada akhirnya memang harus merubah konstitusi, namun saya kira bukan sesuatu yang sulit apabila adanya keinginan berpikir progresif demi efektivitas dan kemajuan bangsa.
SAIFUL ANAM
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Sahid Jakarta
Direktur Pusat Riset Politik Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI)
ADVERTISEMENT