Konten dari Pengguna

Ketika Buddha Bicara tentang Cinta, Al-Qur’an pun Mengiyakan

Mahmudi
Mahmudi adalah seorang Praktisi Sosial yang lahir di Bangkalan pada 19 Juli 2000. Ia memiliki latar belakang pendidikan S1 Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Ia juga aktif dalam kegiatan literasi dan politik
12 Mei 2025 16:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mahmudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi oleh penulis
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi oleh penulis
ADVERTISEMENT
Konon, hidup Siddhartha Gautama dimulai dalam kemewahan istana. Ia adalah pangeran dari Kapilavastu, yang sejak kecil dijauhkan dari segala bentuk penderitaan oleh ayahnya. Namun takdir membawanya melihat tiga hal yang mengusik nuraninya: seorang tua renta, orang sakit, dan mayat yang dibawa ke kremasi.
ADVERTISEMENT
Tiga peristiwa itu menyadarkan Siddhartha bahwa hidup tak selamanya indah. Ada usia, sakit, dan kematian—dan semua manusia pasti akan mengalaminya. Sejak saat itu, ia meninggalkan kehidupan istana demi mencari jawaban atas penderitaan manusia. Perjalanan itu kelak menjadikannya Buddha: Sang Tercerahkan.
Apa yang dilakukan Siddhartha Gautama sesungguhnya bukan hanya laku spiritual, tetapi juga tindakan welas asih. Ia tak mencari pencerahan untuk dirinya sendiri, melainkan demi membantu makhluk lain bebas dari derita. Ia mengajarkan cinta kasih universal (metta) dan belas kasih (karuna) tanpa syarat. Ajaran ini, meskipun berasal dari agama yang berbeda, punya resonansi yang dalam dalam Islam—terutama di dalam Al-Qur’an.
Dalam Dhammapada, Buddha berkata: “Kebencian tidak akan berakhir dengan kebencian, tetapi hanya dengan cinta kasih. Inilah hukum yang abadi.” Ia mengajarkan bahwa musuh tak dikalahkan dengan amarah, tetapi dengan pengertian dan kasih.
ADVERTISEMENT
Substansi dari ungkapan tersebut penulis menemukan kesamaan dalam Al-Qur’an misalnya dalam firman Allah : “Janganlah kebencian terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 8)
Dua ajaran dari tradisi yang berbeda ini sepakat pada satu hal: cinta dan keadilan harus melampaui kebencian. Welas asih bukan sekadar sikap manis, tapi keberanian moral untuk mengasihi mereka yang berbeda atau bahkan menyakitimu.
Buddha meletakkan cinta sebagai fondasi hidup. Ia mengajarkan agar kasih sayang diberikan bukan hanya kepada orang terdekat, tetapi kepada semua makhluk hidup. Islam pun menempatkan kasih sayang sebagai sifat Tuhan yang paling utama: Ar-Rahman dan Ar-Rahim, misalnya dalam QS. Al-Baqarah: 195, Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
ADVERTISEMENT
Kebaikan dalam Islam mencakup memberi makan, menolong orang miskin, memuliakan tamu, hingga menyayangi hewan. Ajaran-ajaran ini sangat selaras dengan laku welas asih yang ditekankan oleh Siddhartha Gautama.
Perjalanan spiritual Siddhartha dan ajaran Islam sesungguhnya bertemu di titik yang sama: menjadikan manusia lebih lembut, adil, dan penuh kasih. Dalam QS. Al-Anbiya: 107, Allah menyebut Nabi Muhammad sebagai: “Rahmat bagi seluruh alam.”
Kata rahmat bermakna kasih sayang yang menyeluruh tak terbatas hanya untuk umat tertentu, tapi untuk semesta. Inilah titik temu yang membuat kita bisa melihat bahwa pesan agama, jika disarikan dari esensinya, tak pernah bertolak belakang: semuanya menyerukan cinta dan kemanusiaan.
Merenungkan kisah Siddhartha Gautama, kita belajar bahwa langkah menuju kedamaian bukan dengan menghakimi yang lain, tapi memahami bahwa penderitaan adalah bahasa universal—dan cinta adalah jawabannya.
ADVERTISEMENT
Di tengah zaman yang sering membuat manusia terpecah karena beda agama atau ideologi, kita perlu kembali pada ajaran dasar: kebaikan. Karena ketika Buddha bicara tentang cinta, Al-Qur’an pun sebenarnya sedang mengiyakan.