Konten dari Pengguna

Memori yang Tertinggal : Bagaimana Otak Merekam dan Menyimpan Pengalaman Buruk

Salamah Ats-tsaqifah
Mahasiswa S1 Psikologi Universitas Brawijaya
5 Desember 2024 11:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Salamah Ats-tsaqifah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi orang yang sedang terngiang-ngiang oleh pengalaman yang buruk. Sumber: Freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi orang yang sedang terngiang-ngiang oleh pengalaman yang buruk. Sumber: Freepik.com
Pernahkah kalian mengalami suatu kejadian yang buruk atau berbahaya dan terus terngiang-ngiang akan kejadian tersebut? Kita semua percaya bahwa setiap orang pasti pernah mengalami kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa buruk dan berbahaya. Bahkan banyak diantara mereka yang justru terjebak dan terperangkap dalam momen-momen atau kejadian-kejadian tersebut. Selain itu, pengalaman buruk dan berbahaya juga menyebabkan sebagian besar dari kita menjadi terngiang-ngiang atau mungkin sampai memiliki trauma yang berkepanjangan. Mengapa hal itu dapat terjadi? Pernahkah kamu memikirkan penyebab di balik terekamnya momen-momen berbahaya ini? Dalam artikel ini, kita akan membahas dan mengulas bagaimana hal itu dapat terjadi secara psikologis.
ADVERTISEMENT
Penyimpanan Memori pada Otak
Foto: Freepik.com
Tahukah kalian dimana otak menyimpan ingatan? Ingatan dalam otak manusia disimpan di beberapa bagian. Bagian yang paling penting dalam penyimpanan ingatan ini adalah hipokampus, yaitu bagian dari sistem limbik yang terletak di lobus temporal (temporal lobe). Hipokampus ini sendiri terletak pada kedua sisi otak, baik di sisi kanan maupun kiri dan berfungsi sebagai pengolah memori spasial, penguat memori, serta tempat transit memori dari penyimpanan jangka pendek ke penyimpanan jangka panjang.
Ketika kita mengalami kejadian buruk atau berbahaya, hipokampus mulai mengolah dan mengirim kejadian tersebut ke penyimpanan memori jangka panjang yang pada akhirnya akan membuat ingatan tersebut terekam dan terngiang-ngiang di pikiran kita.
Pengaruh Emosi dalam Penyimpanan Memori
ADVERTISEMENT
Foto: Freepik.com
Selain hipokampus, ada satu bagian otak lain yang berperan penting dalam perekaman dan penyimpanan memori negatif yaitu amigdala. Amigdala juga merupakan bagian dari sistem limbik serta bekerja sama dengan hipokampus dalam menyimpan memori. Namun bedanya, amigdala juga berfungsi dalam mengatur emosi saat suatu kejadian itu berlangsung, seperti cemas atau takut. Selain itu, amigdala juga berfungsi dalam proses pembentukan memori yang bersifat emosional. Hal ini menyebabkan ingatan-ingatan yang mengandung emosi di dalamnya cenderung bertahan lebih lama dibandingkan ingatan yang tidak mengandung emosi. Ingatan emosional pada diri seseorang umumnya bersifat permanen, berbeda dengan ingatan tanpa emosi yang mudah dilupakan.
Sehingga ketika ada suatu kejadian buruk menimpa diri kita, perasaan takut, cemas, dan resah yang muncul memicu amigdala untuk merekam dan menyimpan ingatan tentang kejadian tersebut. Hal inilah yang menyebabkan amigdala dapat berdampak buruk bagi seseorang karena sulit untuk menghilangkan memori yang membekas dalam dirinya.
ADVERTISEMENT
Sistem Pertahanan Otak
Otak kita memiliki sebuah mekanisme bertahan hidup yang mengarah pada perhatian lebih terhadap suatu pengalaman menegangkan atau mungkin ancaman. Kejadian-kejadian yang buruk dan berbahaya seringkali diproses lebih intens oleh amigdala, sehingga akan sulit untuk dilupakan dan sering terngiang-ngiang. Hal ini juga dipicu karena otak membutuhkan ‘pengalaman belajar’ dari hal-hal buruk agar di masa depan dapat menghindari dan melindungi diri dari kejadian yang serupa. Ini disebut sebagai mekanisme adaptif, yaitu modifikasi untuk menyesuaikan dan mengatasi perubahan di lingkungan yang berhubungan dengan respon emosional.
Berdasarkan penjelasan dan pemahaman di atas terkait pembentukan dan penyimpanan memori, kita dapat mengetahui bahwa terngiang-ngiang akan suatu pengalaman buruk dan berbahaya adalah hal yang wajar dan sangat mungkin terjadi. Sehingga, kita perlu untuk belajar meningkatkan pengontrolan emosi seperti kecemasan atau ketakutan agar nantinya pengalaman-pengalaman buruk itu tidak menjadi sebuah trauma berkepanjangan atau bahkan justru memicu munculnya PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).
ADVERTISEMENT
Salamah Ats-Tsaqifah, Mahasiswa S1 Psikologi Universitas Brawijaya