Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Mengungkap Kebenaran MBTI : Fakta Ilmiah atau Pseudoscience
5 Desember 2024 11:17 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Salamah Ats-tsaqifah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

MBTI (Myers-Briggs Type Indicator) atau alat ukur pengklasifikasian tipe kepribadian seseorang bukanlah hal yang asing bagi masyarakat. Biasanya tes MBTI ini banyak digunakan untuk tes psikotes pada bidang pendidikan, karir, bisnis, industri, dan masih banyak lagi. Umumnya alasan utama diadakannya tes MBTI atau tes psikotes ini adalah untuk mengenali sifat, karakteristik, cara berpikir, kecerdasan, dan talenta seseorang. Namun, apakah tes MBTI ini fakta ilmiah yang hasilnya benar-benar akurat atau hanya sebuah pseudoscience yang terlanjur dipercaya oleh banyak orang? Mari kita membahasnya bersama.
ADVERTISEMENT
Sebelum membahas inti utamanya, mari kita ulas sedikit tentang sejarah awal adanya MBTI ini. MBTI dikembangkan pada tahun 1940-an oleh seorang penulis dan novelis asal Amerika Serikat, Isabel Briggs Myers, dan ibunya, Katherine Cook Briggs, yang dilandaskan oleh teori psikologi Carl Gustav Jung. Mereka memiliki pendapat bahwa dari kepribadian ini perempuan dapat bekerja di bidang industri, yang mana saat itu perempuan sangat sulit untuk mendapat keadilan dan hak-haknya.
MBTI ini sendiri dibagi ke dalam empat kategori utama, yaitu Ekstrovert-Introvert, Sensing-Intuitive, Thinking-Feeling, serta Judging-Perceiving. Dari empat kategori tersebut, memunculkan 16 cabang yang kemudian dikenal sebagai 16 tipe kepribadian.
Meskipun banyak digunakan, banyak dari para ahli dan psikolog yang menilai bahwa tes ini tidak mempunyai landasan ilmiah yang kuat dan karakteristik kepribadian seseorang terlalu kompleks untuk dideskripsikan menggunakan tes MBTI. Para ahli dan psikolog tersebut juga menyatakan bahwa tes ini mengesampingkan faktor-faktor eksternal seperti situasi yang mungkin saja berpengaruh pada pola pikir dan jawaban seseorang saat mengerjakan tes tersebut. Sehingga seringkali seseorang mendapatkan hasil yang berbeda saat mengerjakan tes MBTI ini.
ADVERTISEMENT
Beberapa psikolog juga menyatakan bahwa tes ini hanya memperkuat statement atau stereotip seseorang tentang kepribadiannya. Misal, seseorang yang mendapat kategori ‘thinking’ bukan berarti dia selalu bersikap rasional dan tidak memiliki empati atau perasaan, karena pada kenyataannya manusia tidak mungkin selalu bersikap rasional, ada kalanya dia terhanyut dalam emosi dan empati yang muncul dalam pikirannya. Atau mungkin bisa saja seseorang menggunakan hasil tes ini untuk melakukan pembelaan diri seperti “ya wajar lah kalo aku gampang nangis, MBTI-ku kan feeling”, padahal kenyataannya menangis sendiri disebabkan oleh pengaruh hormon prolaktin dan hormon prolaktin pada wanita jumlahnya lebih banyak daripada hormon prolaktin milik pria. Hal ini membuktikan bahwa tes MBTI hanyalah sebuah gambaran umum dari karakteristik yang ada, karena pada kenyataannya karakteristik manusia adalah sesuatu yang kompleks dan rinci yang tidak dapat disimpulkan dan diklasifikasikan melalui 16 tipe tersebut.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa tes MBTI adalah salah satu contoh pseudoscience dan tidak dapat dijadikan sebagai parameter untuk melihat kepribadian seseorang. Jika ingin mengetahui lebih jelas terkait kepribadian atau karakteristik pribadi, kita dapat mengonsultasikannya dengan psikolog. Namun, bukan berarti tes MBTI ini adalah sesuatu yang terlarang, sehingga jika kalian tertarik atau mungkin penasaran dengan tes ini, kalian dapat mencobanya, namun jangan dijadikan sebagai acuan untuk hal-hal lain yang tidak ada kaitannya dengan hal ini.
Salamah Ats-Tsaqifah, Mahasiswa S1 Psikologi Universitas Brawijaya