Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Jeritan Hati Seorang Ibu
11 Mei 2018 16:20 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
Tulisan dari Salika Najiyya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Nak, rasanya baru kemarin sore ibu meninggalkanmu. Di saat engkau mulai bisa tengkurap. Waktu itu, Ibu sedang berada di penampungan dan menunggu keberangkatan ke luar negeri.
ADVERTISEMENT
Engkau yang lincah dan lucu, tak pernah tahu, bahwa hari itu adalah hari perpisahan antara kau dan ibu. Ada perih yang ibu rasakan, saat bola matamu menatap, dan geliat lucu disertai senyum kau berikan untuk Ibu.
Kala itu ibu berusaha menahan, agar airmata tidak menetes. Walau sebenar mata ini sudah mendung. Nak, Harapan ibu akan kuat menjalani masa terberat perpisahan kita. Di mana ibu tak lagi bisa menyusuimu, memandikanmu, mengganti popok dan menggendongmu.
Di usia yang seharusnya butuh kasih seorang Ibu. Maafkan ibu Nak, bukan ibu tak menyayangimu. Kebutuhan ekonomi keluarga kecil kita tidak memungkinkan untuk ibu terus di sampingmu. Sedangkan kebutuhan gizimu harus tercukupi.
Pasca kecelakaan ayahmu yang menyebabkan ia harus di operasi dan kehilangan pekerjaan, ibu tak mampu berbuat apa-apa. Sedangkan modal dari toko kelontong ibu habis di hutang tetangga.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya batin ini perih, tak sanggup melihatmu harus berpisah dengan ibu. Namun apalah daya. PJTKI sudah memberitahukan pada ibu, hari itu untuk segera berangkat menjadi seorang buruh.
Demi membayar hutang dan menebus motor kakekmu yang digadaikan untuk biaya persalinan ibu. Ibu janji tidak akan lama meninggalkanmu.
Namun, negeri beton ini sangat menggiurkan untuk ibu tetap bertahan. Dua tahun janji ibu untuk kembali hanya sebatas cuti saja.
Nak, Ibu pulang dengan sebuah harapan bisa memelukmu, memanjakanmu dan membahagiakanmu. Namun saat itu kau sangat malu dan tidak mau mendekat. Kau selalu sembunyi di balik tubuh nenekmu.
Ibu harus sabar, mungkin kau butuh waktu untuk menerima belai kasih orang yang telah melahirkanmu.
ADVERTISEMENT
Dua minggu sudah ibu di Indonesia. Tibalah saatnya ibu kembali ke negeri seberang. Tanpa ibu sadari apa yang kau lakukan saat itu. Kau mengunci pintu rumah dan menyembunyikan kuncinya. Kau berdiri di depan pintu sambil merentangkan tanganmu. Ibu masih ingat, wajah polosmu mengatakan "Ibu jangan pergi lagi".
Tak kuasa rasanya aku menatapmu. Kupeluk tubuhmu erat. Air mata mengucur deras.
"Anakku, ibu sudah ditunggu pesawat, dan ibu akan bekerja mencari uang untuk membeli mobil-mobilan untukmu. Mana kuncinya nak?"
Dengan lugunya ia melepas pelukanku dan ke kamar mengambil kunci. Di serahkannya kunci itu kepadaku. Namun ia dengan kekuatan kecilnya menarik meja dan diletakkan persis di depan pintu keluar.
"Ya Allah, anakku ...!" Ia tak berkata apapun, namun ibu mengerti maksudmu nak. Kau tak ingin ibu meninggalkanmu. Maafkanlah Ibu untuk kesekian kalinya. Ibu harus pergi untuk menebus rumah yang sudah ibu gadaikan untuk tambahan biaya kecelakaan ayahmu.
ADVERTISEMENT
Ibu pun melangkah pergi tanpa menolehmu lagi. Derai tangis ibu mengurai hingga sampai di bandara Juanda.
Rasanya baru kemarin sore ibu meninggalkanmu. Kini kau sudah berusia 10 tahun dan tumbuh menjadi anak yang pandai dalam asuhan nenek dan kakekmu. Rumah Ibu pun sudah bisa ditebus.
Ibu bangga padamu nak, semoga kelak engkau bisa menjadi seorang sarjana. Untuk itu, izinkanlah ibu mengais rezeki di negeri seberang, hingga cukup tabungan untuk masa depanmu.

Baju mungilmu ibu bawa sampai sekarang. Saat kau masih bayi merah.
Bertumbuhlah jadi anak yang kuat, jangan pantang menyerah. Karena kau ada dalam setiap doa ibu.
Hong Kong, 11 Mei 2018