Konten dari Pengguna

Diplomasi Kesehatan China-Filipina di Tengah Stagnasi Konflik Laut China Selatan

Salma Hartoto
Mahasiswa S1 Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada
4 Juli 2024 6:23 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Salma Hartoto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menteri Luar Negeri Cina (Wang Yi) dan Menteri Luar Negeri Filipina (Teodoro Locsin Jr.) dalam pertemuannya di Filipina tahun 2021 (Foto: Francis Malasig via Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Luar Negeri Cina (Wang Yi) dan Menteri Luar Negeri Filipina (Teodoro Locsin Jr.) dalam pertemuannya di Filipina tahun 2021 (Foto: Francis Malasig via Reuters)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Keadaan negara di seluruh dunia berada diambang keruntuhan saat pandemi COVID-19 berlangsung. Realita menghadapi jutaan kematian harus dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Tragedi ini seolah-olah menyerang berbagai negara tanpa pandang bulu. Akan tetapi, ironi timpangnya kemampuan ekonomi membuat negara-negara berkembang menjadi sasaran empuk keruntuhan perekonomian. Negara-negara dengan perekonomian yang masih berkembang memiliki kesulitan dalam mempertahankan stabilitasnya. Hal ini juga berimplikasi kepada minimnya fasilitas kesehatan yang memadai.
ADVERTISEMENT
Negara-negara di dunia, pada masa pandemi COVID-19, berkompetisi memperkuat dan mengusahakan bantuan baik ke negaranya sendiri maupun negara lain. Simbiosis mutualisme yang dapat diamati dari setiap negara menunjukkan adanya keharmonisan dalam dinamika internasional. Kendati demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada ketegangan konflik-konflik negara yang sejatinya belum mendapatkan penyelesaian. Studi kasus ini menarik untuk ditinjau menggunakan lensa idealisme politik untuk melihat keterkaitan antara bantuan kesehatan dan konflik antarnegara yang masih berstatus stagnan.

Diplomasi Kesehatan Cina dan Filipina di Masa Pandemi COVID-19

Cina, negara pertama yang menjadi lokasi penemuan virus COVID-19, mendistribusikan bantuan kepada negara-negara terdampak virus utamanya setelah dirilisnya vaksin COVID-19, yaitu CoronaVac, yang diproduksi oleh Sinovac Biotech Ltd. di Cina. Bantuan yang dikerahkan utamanya ditujukan kepada negara-negara berkembang dan Filipina menjadi salah satunya. Filipina menempati urutan kedua dalam korban COVID-19 tertinggi di dunia dengan hampir 10.000 kematian dan hampir 500 ribu kasus positif (Reuters VOA, 2021).
ADVERTISEMENT
Menanggapi hal tersebut, Cina memberikan bantuan sekitar 500 ribu dosis vaksin COVID-19 ke Filipina dan mengirimkan gelombang pertama paket perlengkapan uji COVID-19 (Reuters VOA, 2021). Sebagai timbal balik nya, Filipina menerima bantuan dan menindaklanjuti hal tersebut dengan membeli 25 juta dosis vaksin COVID-19 eksperimental Sinovac Biotech (Reuters VOA, 2021). Xi Jinping, sebagai Presiden Cina, menyatakan bahwa diplomasi kesehatan yang dilakukan Cina ke Filipina merupakan bentuk dari rasa kemanusiaan, solidaritas, kesetaraan, dan bantuan kepada negara-negara berkembang (Sitepu & Agsmy, 2022). Dalam kunjungannya ke Filipina pada tahun 2021, Wang Yi, Menteri Luar Negeri Cina, memberikan sebuah pernyataan pada pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri Filipina, Teodoro Locsin, bahwa Cina menganggap Filipina sebagai kawan dan tetangga. Dengan ini Cina berkomitmen untuk mendukung rakyat Filipina dalam penyelesaian pandemi COVID-19 (Reuters VOA, 2021). Disamping rasa tanggungjawab Cina dan dilandasi oleh rasa kemanusiaan terhadap negara terdampak, bantuan Cina kepada Filipina memunculkan berbagai spekulasi, utamanya disebabkan kedua negara memiliki sengketa maritim yang masih dalam status stagnan.
ADVERTISEMENT

Stagnasi Konflik Laut Cina Selatan

Hubungan diplomatik antara Cina dan Filipina yang membaik ini kontras dengan konflik yang mereka alami sejak awal abad ke-20, yaitu perebutan klaim atas Laut Cina Selatan oleh Cina dan lima negara pengklaim lainnya. Keenam negara tersebut diantaranya yaitu Cina, Filipina, Taiwan, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam. Setiap negara tersebut berebut klaim atas Laut Cina Selatan, utamanya dari aspek historis. Perebutan ini semakin memanas ketika minat terhadap Laut Cina Selatan mulai meningkat pada sekitar tahun 1950 (Mirski, 2015). Terdapatnya berbagai kekayaan minyak, gas, terumbu karang, dan kapal-kapal yang menggerakkan roda perdagangan dunia membuat Laut Cina Selatan menjadi wilayah perairan yang diminati berbagai negara. Jalur perdagangan dunia yang melewati kawasan Indo-Pasifik menjadikan Laut Cina Selatan sebagai salah satu rute komersial yang menyimpan berbagai sumber perekonomian dunia. Laut yang terbentang luas dari Selat Karimata, Selat Malaka, hingga Selat Taiwan ini menjadi sumber hampir seluruh minyak mentah yang diperdagangkan di dunia dengan kurang lebih 15 juta barel minyak mentah per hari melewati laut ini (Ajengrastri, 2018). Laut Cina Selatan memiliki beberapa pulau yang diperebutkan, yaitu pulau Paracel dan Pulau Spratly. Filipina mengklaim sebagian dari Pulau Spratly sebagai bagian dari wilayah Filipina (Mirski, 2015).
ADVERTISEMENT
Pergantian kepemimpinan di Filipina memberikan respons yang berbeda dalam menanggapi kasus Laut Cina Selatan ini. Pada masa kepemimpinan presiden ke-15 Filipina, kasus ini berhasil diserahkan kepada Mahkamah Arbitrase Internasional (Damping & Reni Windiani, 2020). Tindak lanjut dari hal ini yaitu Mahkamah Arbitrase Internasional mulai menanggapi kebijakan “Nine Dash Line” yang dibuat Cina. Kebijakan “Nine Dash Line” atau “sembilan garis putus-putus” ini merupakan garis imajiner yang dibuat oleh Cina, dimana garis ini berada di tengah laut dan menandakan kepemilikannya atas 90% dari Laut Cina Selatan (Damping & Reni Windiani, 2020). Hal ini diklaim Cina sebagai kepemilikan yang didasari oleh aspek historis (Damping & Reni Windiani, 2020).
Pada akhirnya, Mahkamah Arbitrase Internasional memberikan pernyataan bahwa pembuatan batas garis ini tidak dinilai sah secara hukum dan bertentangan dengan alokasi hak maritim pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait Hukum Laut (Damping & Reni Windiani, 2020). Namun seiring pergantian kepemimpinan presiden di Filipina, berganti juga kebijakan luar negeri Filipina dalam menanggapi hal ini. Sejak diangkatnya Rodrigo Duterte sebagai Presiden ke-16 Filipina Di tahun 2016, Kebijakan Luar Negeri Filipina cenderung mengedepankan kooperasi alih-alih konfrontasi (Damping & Reni Windiani, 2020). Presiden Rodrigo Duterte, dalam kebijakannya, berkomitmen untuk tetap mengusahakan dialog bilateral dalam penyelesaian konflik Laut Cina Selatan.
ADVERTISEMENT

Idealisme Politik dan Hukum Alam Manusia

Menurut Immanuel Kant dalam konsep idealisme politik yang muncul pasca Perang Dunia 1, peradaban manusia dan segala urusan didalamnya ditentukan oleh hukum alam manusia (Hadiwinata, 2017). Manusia dikatakan sebagai sebuah entitas yang lahir dengan sifat egois untuk memperoleh keuntungan pribadinya, namun memiliki tendensi untuk belajar melakukan kerjasama dan komunikasi antar sesama atau yang disebut dengan cosmopolitan behavior oleh Immanuel Kant dalam karyanya yaitu Perpetual Peace (1795). Tendensi ini diperlihatkan dalam diplomasi kesehatan antara Cina dan Filipina saat pandemi COVID-19. Komunikasi bilateral yang dilakukan serta berjalannya transaksi vaksin antara kedua negara mencerminkan adanya bentuk harmonisasi politik yang ideal. Akan tetapi, hal tersebut tidak semata-mata menandakan akhir dari sengketa maritim antara Cina dan Filipina yang didorong oleh kompetisi atas kebutuhan ekonomi nasional kedua negara dalam klaim Laut Cina Selatan.
ADVERTISEMENT
Fenomena pemberian bantuan dari Cina kepada Filipina merupakan sebuah upaya kerjasama untuk memperoleh keuntungan dan kebutuhan esensial melalui diplomasi kesehatan. Hal ini membuktikan bahwa jika dalam situasi mendesak, negara-negara memiliki kecenderungan untuk bekerjasama, walaupun berada dalam stagnasi suatu konflik. Alih-alih membaik, sengketa maritim antara Filipina dan Cina justru mengalami eskalasi pasca pandemi COVID-19. Terlebih lagi, pada pertengahan tahun 2024, terjadi perlawanan senjata antara masing-masing badan keamanan maritim di salah satu wilayah perairan yang juga diperebutkan (Calonzo & Venzon, 2024). Peristiwa ini membuktikan bahwa konflik Laut Cina Selatan tidak semata-mata dilupakan oleh kedua negara. Akan tetapi, dengan semakin kompleksnya kebutuhan dan juga sikap ketergantungan negara-negara pada bidang kesehatan, sifat natural negara mendorong kedua negara untuk melakukan kerjasama melalui diplomasi kesehatan.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, diplomasi kesehatan yang dilakukan oleh Cina merupakan sebuah alat untuk melakukan kerjasama dengan negara lainnya, salah satunya Filipina. Kerjasama ini dilakukan dengan mengesampingkan fakta bahwa terdapat konflik yang masih aktif antara kedua negara tersebut. Setiap negara memiliki kecenderungan untuk melakukan kerjasama dalam upaya memenuhi kepentingan nasionalnya. Hal ini dapat dilihat dari tindakan Filipina dalam respons nya terhadap bantuan dari Cina untuk menunjang kehidupan dan sebagai upaya menyelamatkan masyarakat negaranya dari pandemi COVID-19. Filipina juga menunjukkan sikap resiprokalnya terhadap bantuan dari Cina dengan memesan vaksin dalam jumlah yang cukup signifikan. Akan tetapi, hal ini tidak berarti konflik berkepanjangan Laut Cina Selatan semata-mata merupakan sesuatu yang alamiah dan tidak dapat mencapai penyelesaian yang absolut. Untuk menyelesaikan sengketa yang menahun dan melibatkan berbagai negara ini diperlukan komitmen bersama baik dari negara, organisasi internasional, maupun badan hukum internasional. Implementasi hukum internasional yang maksimal diikuti oleh kepatuhan negara yang terlibat dapat membawa dunia lebih dekat kepada perdamaian positif.
ADVERTISEMENT
Referensi :
Ajengrastri, A. (2018). Laut China Selatan rute “utama” perdagangan minyak mentah. Www.aa.com.tr. https://www.aa.com.tr/id/ekonomi/laut-china-selatan-rute-utama-perdagangan-minyak-mentah/1240838
Calonzo, A., & Venzon, C. H. (2024). How China Sea Clash Caused Philippine Sailor to Lose His Finger. Www.bloomberg.com. https://www.bloomberg.com/news/articles/2024-06-25/how-china-sea-clash-caused-philippine-sailor-to-lose-his-finger
Damping, G., & Reni Windiani. (2020). Perubahan Kebijakan Luar Negeri Filipina Terhadap China di Bawah Kepemimpinan Presiden Rodrigo Duterte Terhadap China dalam Konflik Laut China Selatan. Journal of International Relations Universitas Diponegoro, 6(4), 619–628. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jihi/article/view/28836/24471
Hadiwinata, B. S. (2017). Studi Dan Teori Hubungan Internasional : Arus utama, alternatif, Dan Reflektivis (p. 107). Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Kant, I. (1795). Perpetual peace. Createspace Independent Publishing Platform.
Mirski, S. (2015, June 8). The South China Sea Dispute: A Brief History. Default. https://www.lawfaremedia.org/article/south-china-sea-dispute-brief-history
ADVERTISEMENT
Reuters VOA. (2021, January 16). Filipina, China Sepakat Jalin Kerja Sama untuk Pemulihan Pasca-Pandemi. VOA Indonesia. https://www.voaindonesia.com/a/filipina-china-sepakat-jalin-kerja-sama-untuk-pemulihan-pasca-pandemi/5740211.html
Sitepu, Q. F., & Agsmy, A. A. (2022). Pandemi COVID-19 dan Diplomasi Medis Tiongkok: Manifestasi Nilai Kemanusiaan atau Kepentingan Politik. Jurnal Hubungan Internasional, 15(1), 111–128. https://doi.org/10.20473/jhi.v15i1.29111