Konten dari Pengguna

Menilik Jejak Mahasiswa Perantau, Pelaku Sirkulasi: Antara Adaptasi dan Imitasi

Salma Rasyida Fitri
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UMY
24 Januari 2025 12:02 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Salma Rasyida Fitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mahasiswa yang merantau ke Yogyakarta – Salma Rasyida Fitri
zoom-in-whitePerbesar
Mahasiswa yang merantau ke Yogyakarta – Salma Rasyida Fitri
ADVERTISEMENT
Ketika membicarakan alasan untuk melakukan mobilitas sosial non permanen, tidak hanya satu yang akan tercetus. Ada banyak alasan mengapa masyarakat melakukan sirkulasi, salah satunya demi mengejar pendidikan yang lebih tinggi. Fenomena banyaknya mahasiswa yang merantau untuk menyambung studi menjadikan kampus bersifat heterogen secara daerah asal.
ADVERTISEMENT
Kegiatan sirkulasi membawa mahasiswa yang melakukannya pada budaya baru. Secara otomatis, pembiasaan diri atau adaptasi perlu dilakukan. Akan tetapi, proses adaptasi tidak semudah membalikkan tangan bagi sebagian orang. Gifatul Hidayah (20), mahasiswa asal Padang yang saat ini tengah menjalani studi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, merasakan struggle yang dapat kita amati sebagai bukti nyata. Sebagai mahasiswa yang telah menjalani mobilitas sirkulasi selama dua tahun terakhir, ada beberapa hal yang ia klaim sebagai usaha dalam beradaptasi.
Penyebab sulitnya beradaptasi bagi mahasiswa yang merantau tidak dipengaruhi oleh satu atau dua hal saja. Gifa mengakui bahwa ada ketakutan tersendiri saat kali pertama akan merantau ke Yogyakarta. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya kerabat atau sahabat yang ia miliki di Yogyakarta sebagai support system. “Soalnya kan, di Yogya cuma sendiri, ngga kenal siapa-siapa,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Syifa Restyawati (19), seorang mahasiswa yang merantau dari Merauke ke Yogyakarta, mengatakan bahwa kendala yang cukup menantang adalah perbedaan dalam penggunaan bahasa. Demi melanjutkan pendidikannya, pembiasaan diri terhadap bahasa lokal perlu dipahami.
“Perbedaan budaya lumayan banyak ya, tapi kalau menyinggung tentang yang paling terasa ya perbedaan bahasa. Di Merauke biasanya pakai sa-ko, tapi begitu di Yogya hampir semuanya pakai aku-kamu. Jadi agak kaget,” imbuh Syifa.
Penggunaan bahasa yang berbeda memang menjadi kendala yang cukup serius ketika menjadi pelaku sirkulasi. Terkadang, untuk beberapa keperluan, menguasai bahasa lokal akan sangat menguntungkan. Kabar baiknya, Yogyakarta, daerah tujuan mobilitas sirkulasi Gifa dan Syifa, tidak selalu menggunakan Bahasa Jawa dalam keperluan sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh keragaman latar belakang mahasiswa lain yang turut mewarnai kampus-kampus di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
“Perbedaan bahasa ini sebenarnya masalah yang kalau kita meleng sedikit saja, bisa beda lagi. Buktinya, ngga usah soal perbedaan daerah asal deh, istilah atau slank baru aja sudah di mana-mana, dan ngga semua orang dari daerah yang sama bisa mengerti. Gimana kalau beda daerah asal? Akan lebih banyak lagi orang-orang yang perlu mencari tahu dulu maknanya,” ungkap Syifa.
Selain itu, orang-orang dari daerah asal dan daerah yang dituju biasanya memiliki karakter yang berbeda. Terkadang, hal ini diperburuk oleh stereotip yang melekat pada etnis atau kebudayaan tertentu yang diwariskan pada masyarakat bertahun-tahun silam. Bagi Gifa dan Syifa, perbedaan karakter pada orang-orang baru inilah yang terkadang mereka rasakan.
Syifa mengatakan bahwa karena karakter setiap orang berbeda-beda, respon yang diberikan oleh orang lain ketika ia melakukan sesuatu tidak selalu sama. Hal ini menjadikan faktor yang membuat Syifa perlu beradaptasi bertambah satu.
ADVERTISEMENT
“Beradaptasi sama lingkungan baru juga berarti belajar berinteraksi lagi sama orang-orang yang baru. Apalagi kalau ngga ada kenalan sama sekali kaya saya, belajar karakter orang lain yang baru pertama kali ketemu itu juga perlu. Bayangkan sesama mahasiswa, dikumpulkan jadi satu di Yogyakarta dari daerah asal yang berbeda-beda,” tutur Gifa.
Selain perbedaan karakter orang-orang baru yang perlu dipelajari, cara diri sendiri dalam beradaptasi juga mempengaruhi kecepatannya. Hal ini dapat kita buktikan dengan perbedaan waktu yang dibutuhkan Syifa dan Gifa dalam beradaptasi. Syifa mengaku baru dapat beradaptasi dengan kebudayaan baru setelah 6 bulan dan benar-benar terbiasa setelah satu tahun.
“Sebenarnya balik lagi ke pribadi masing-masing. Kalau saya pribadi memang agak sulit buat beradaptasi, jadi makan waktu sekitar satu tahun,” jelas Syifa.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Gifa mengatakan memerlukan waktu sekitar 6 bulan untuk membiasakan diri. Sebab, selain kebiasaan baru, ia juga mengeklaim bahwa ia merupakan seseorang yang kurang pandai dalam berbasa-basi, sehingga terkadang kesulitan beradaptasi dengan orang yang baru ia kenal.
“Saya emang bukan tipe yang gampang basa-basi. Lebih condong ke komunikasi yang to the point, jadi terkadang buat menjalin hubungan sama orang baru lagi agak sulit,” tutur Gifa.
Perlu diingat kembali, bahwa adaptasi adalah hal yang cukup berbeda dari sekadar toleransi. Gifa dan Syifa, yang merupakan pelaku sirkulasi, mau tidak mau mesti menyesuaikan diri dengan kebudayaan sekitar. Hal ini disebabkan oleh adanya kemudahan yang didapatkan ketika dapat menyesuaikan diri dengan kebudayaan dan kebiasaan yang baru.
ADVERTISEMENT
Demi menyelaraskan kehidupan pendidikan dan nonpendidikan, Gifa mengatakan bahwa adaptasi adalah hal yang tidak dapat dihindari. Sebab, beradaptasi dengan lingkungan sekitar cenderung memudahkan kehidupan yang dijalani di daerah tujuan. “Rasa makanan di Yogya cenderung manis, beda sama di Padang yang kebanyakan pedes, tapi diikuti aja polanya, biar nyambung dan semuanya jadi lebih gampang,” tuturnya.
Kebudayaan baru yang dijejalkan pada para pelaku sirkulasi melahirkan kemungkinan adanya imitasi atau peniruan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Jika adaptasi ini terjadi secara mulus, langkah selanjutnya boleh jadi adalah terjadinya imitasi. Rasa terbiasa terkadang menyebabkan rasa nyaman, sedangkan rasa nyaman dan terbukanya seseorang dengan hal-hal baru makin mempermudah proses imitasi berlangsung.
Akan tetapi, fenomena yang ada pada Gifa dan Syifa ternyata membuktikan hal tersebut tidak selalu terjadi. Keduanya mengeklaim bahwa rasa terbiasa buah dari adaptasi yang mereka lalui tidak serta merta menciptakan perilaku imitasi. Syifa mengaku bahwa penggunaan bahasa yang ia sesuaikan dengan daerah tujuan hanya sekadar untuk mempermudah kehidupannya di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
“Kalau ketemu sama teman yang dari Merauke di sini juga, tentu pakai bahasa yang biasanya saya pakai di sana. Kebiasaan di Yogya bisa dibilang hanya untuk mempermudah aja, itu pun ngga sampai meniru cara bicara atau gaya masakan yang ada di sini,” ungkapnya.
Gifa menuturkan bahwa meskipun terdapat perbedaan yang mengharuskan dirinya beradaptasi, menjalaninya secara perlahan akan cukup membantu. “Ada satu lagi yang unik. Saya lihat sapu di Yogya pendek, beda sama yang di Padang,” pungkasnya sambil tertawa.