Konten dari Pengguna
Femisida: Saat Tubuh Perempuan Masih Dianggap Milik Orang Lain
27 Oktober 2025 12:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
Kiriman Pengguna
Femisida: Saat Tubuh Perempuan Masih Dianggap Milik Orang Lain
Femisida bukan hanya sekadar kejahatan, tetapi dari budaya yang menormalisasi kekerasan terhadap perempuan. Indonesia mungkin tak separah Amerika Latin, tapi apakah kita benar-benar aman? #userstorySalma Shafira
Tulisan dari Salma Shafira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Bayangkan, setiap hari sebelas Perempuan di Amerika Latin dibunuh dengan alasan hanya karena mereka perempuan. Sebelas nyawa hilang begitu saja; bukan karena alasan perang, melainkan karena alasan kebencian. Angka itu bukan sekadar data, itu merupakan ketakutan yang menunggu giliran di lain tempat. Ia mencerminkan ketakutan yang meluas dalam masyarakat di mana kekerasan terhadap perempuan masih dianggap dapat diterima. Di saat yang sama, Indonesia mengalami peningkatan tindakan kekerasan serupa, sering disamarkan sebagai “pelanggaran biasa”. Pertanyaan utama: Apakah perempuan di Indonesia benar-benar aman?
ADVERTISEMENT
Bayang-Bayang Gelap Amerika Latin
Pada tahun 1976, Diana Russell memperkenalkan istilah femicide, yang digunakan untuk mendefinisikan tindakan pembunuhan terhadap perempuan secara khusus karena jenis kelamin mereka. Di Amerika Latin, gagasan ini berkembang menjadi apa yang kini dikenal sebagai feminicidio, istilah yang mewakili kebencian mendalam yang berasal dari budaya macho yang menormalkan dominasi laki-laki atas perempuan.
Amerika Latin merupakan salah satu negara yang paling berbahaya di dunia sebagai tempat tinggal bagi perempuan. Data yang dirilis oleh CEPAL pada tahun 2024 menunjukkan bahwa setidaknya 3.897 perempuan dibunuh pada tahun 2023 di 27 negara di kawasan ini. Ini berarti rata-rata sebelas perempuan dibunuh setiap hari.
Negara-negara seperti Honduras, Brasil, dan Republik Dominika mencatat tingkat feminisida tertinggi; dalam kebanyakan kasus, pembunuhnya adalah pasangan mereka saat ini atau mantan pasangan perempuan tersebut. Kekerasan ini, selain melampaui insiden terisolasi, mencerminkan masalah budaya yang menempatkan perempuan sebagai objek, seolah tubuh dan hidupnya dapat dikendalikan sesuka hati.
ADVERTISEMENT
Gambaran Suram di Indonesia
Indonesia mencerminkan pola-pola mengkhawatirkan yang juga terlihat seperti di Amerika Latin meskipun angka statistiknya tidak separah di sana. Masalah kekerasan terhadap perempuan semakin sering terjadi setiap tahunnya. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan, 2024) mencatat 289.111 kasus kekerasan yang menimpa perempuan, termasuk sejumlah besar pembunuhan. Namun, tidak ada undang-undang yang secara khusus mendefinisikan femisida sebagai jenis kejahatan yang terkait dengan gender.
Karena belum terdapat hukum yang mengenal istilah femisida, banyak kasus pembunuhan perempuan di Indonesia hanya dianggap sekadar “pembunuhan biasa”. Sebenarnya, banyak dari kasus ini secara penting terkait dengan gender yakni berasal dari sistem patriarki yang menempatkan perempuan dalam posisi rentan di mana mereka menghadapi potensi manipulasi dan kekerasan. Sebagai perempuan, tidak mudah rasanya untuk tidak mendengar berita tentang kekerasan gender yang hampir muncul setiap minggu. Adanya kasus baru menjadi pengingat bahwa ruang aman bagi perempuan di negeri ini masih rapuh.
Di Indonesia, budaya patriarki yang dominan sering kali menyalahkan perempuan atas kekerasan yang dialami. Respons umum terhadap situasi mulai dari pelecehan hingga pembunuhan sering kali mencakup pertanyaan seperti: “Mengapa dia keluar begitu larut?”, “Pakaiannya terlalu provokatif” atau “Mengapa dia tidak menolak?”. Pertanyaan-pertanyaan ini hanya memperkuat hambatan sosial yang sudah mengakar serta menghambat rasa aman perempuan.
ADVERTISEMENT
Ketika Perlindungan Hukum Terbukti Tidak Cukup
Perbedaan yang mencolok antara pendekatan yang diambil di Amerika Latin dan Indonesia terlihat dalam respons hukum mereka. Sebagian besar negara di Amerika Latin telah menetapkan undang-undang khusus untuk mengadili pelaku pembunuhan terhadap perempuan. Di sisi lain, di Indonesia, tindakan membunuh perempuan belum secara resmi diklasifikasikan sebagai kejahatan yang didasarkan pada diskriminasi gender.
Akibatnya, banyak kasus tidak tercatat dalam statistik resmi karena femisida belum diakui secara hukum. Tanpa data yang akurat, pemerintah sulit menyusun kebijakan perlindungan yang efektif. Kondisi ini menjebak perempuan Indonesia dalam pola kekerasan yang berulang.
Menangani Masalah Pokok: Patriarki dan Penerimaan Kekerasan
Masalahnya berakar dari satu hal yang sama yaitu patriarki. Sebuah pemahaman sosial yang memberi kuasa pada laki-laki dan menempatkan perempuan bukan sebagai mitra, melainkan pendukung semata. Selama pola pemahaman ini tetap berjalan, perlakuan buruk terhadap perempuan akan selalu dianggap tidak penting.
ADVERTISEMENT
Masalah ini melampaui mereka yang melakukan tindakan kekerasan, ia juga mencakup atmosfer yang memicu perilaku semacam itu. Pembunuhan terhadap perempuan menjadi merajalela ketika pihak berwenang mengabaikan laporan dan menganggapnya sebagai sekadar “masalah keluarga”, ketika seseorang lebih fokus pada pakaian korban daripada pelaku, dan ketika masyarakat umum sibuk menghakimi korban.
Saatnya Indonesia Mengakui Femisida
Kita tidak boleh menunda tindakan hingga statistik Indonesia tingkatnya sebesar di Amerika Latin. Pemerintah harus mengakui bahwa femisida adalah kejahatan serius yang berasal dari prasangka berdasarkan gender. Meskipun pengakuan hukum hanyalah langkah awal, ini merupakan langkah krusial untuk menjamin keadilan bagi mereka yang telah menderita.
Selain itu, penting untuk meningkatkan pemahaman masyarakat. Media, sekolah, dan kelompok masyarakat harus berperan aktif dalam mengubah fokus cerita, dari menyalahkan korban menjadi memastikan mereka terlindungi baik secara fisik maupun mental.
ADVERTISEMENT
Pembunuhan terhadap perempuan bukan hanya peristiwa tragis yang terjadi di negara lain. Hal ini mencerminkan kondisi masyarakat kita sendiri, menunjukkan bahwa perempuan masih belum aman. Meskipun angka di Indonesia mungkin tidak semengerikan di Amerika Latin, kurangnya laporan kasus tidak berarti keamanan terjamin. Diam saja hanya akan membiarkan tindakan kekerasan semacam ini terus berlanjut.
Kita harus mengalihkan fokus dari mempertanyakan “apa alasan di balik pembunuhan seorang perempuan?” ke mengkritisi “mengapa kita membiarkan tindakan semacam itu terjadi sejak awal?”

