Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Konten dari Pengguna
Kebijakan Indonesia dalam Menyikapi Kasus Laut China Selatan pada Tahun 2021
8 Februari 2023 19:56 WIB
Tulisan dari Ayu Salma Zoraida Kalman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Laut cina selatan merupakan laut dengan berbagai macam keragaman hayati dan komoditasnya yang melimpah. Semakin lama semakin di eksplorasi laut china selatan, dan ditemukan mineral, minyak bumi dan gas alam. Komoditas tersebut diperkirakan bisa mencapai triliunan dollar. Hal tersebutlah yang kerap memicu sengketa panas terhadap LCS oleh negara-negara kawasan. Kawasan- kawasan yang termasuk dalam wilayah LCS antara lain China, Taiwan, Malaysia, Filiphina, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia terdapat laut Natuna utara yang bersinggungan dengan Laut Cina Selatan, dimana pernah ada konflik ketika China memasuki laut natuna untuk memancing ikan. Hal tersebut dianggap ilegal karena laut natuna merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Dalih dari Cina mengapa mereka dapat memasuki kawasan tersebut ialah argument traditional fishing zone. Meskipun Indonesia bukan merupakan Claimant State dari LCS , namun Indonesia memiliki kepentingan nasional khususnya dalam menjaga kedaulatan di wilayah laut Natuna.
Selanjutnya, LCS menjadi perebutan banyak pihak kawasan China, Taiwan, Malaysia, Filiphina, Brunei Darussalam, dan Vietnam . Termasuk Tiongkok yang mengaku secara sepihak terhadap LCS . Konflik sengketa Laut cina selatan ini sudah terjadi tahun 1974-2011 yang berarti sudah terjadi selama 20 tahun. Akan tetapi tahun 2021 mencuat kembali berita klaim laut cina selatan oleh Tiongkok. Hal ini membuat banyak pihak terpicu oleh perilaku tiongkok terutama negara-negara asean yang berbatasan dengan LCS.
Berdasarkan hal yang dipaparkan diatas terdapat statement question, yaitu “ kasus apa yang terjadi pada tahun 2021 di Laut China Selatan? Dan bagaimana Indonesia menyikapi terhadap kasus Laut China tersebut?” dengan begitu artikel ini akan membahas statement question tersebut menggunakan teori decision making process atau pengambil keputusan. Teori pengambilan keputusan yang dimaksud berkaitan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan politik luar negeri. Teori pengambil keputusan memiliki beberapa unsur. Keempat unsur tersebut adalah strategi, pengambil keputusan, lingkungan internal dan kepentingan pemerintah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa politik luar negeri merupakan kegiatan berupa pertahanan dan perlindungan kepentingan negara
ADVERTISEMENT
Menurut Biro Hidrografis Internasional, Laut Cina Selatan disebut sebagai perairan yang memanjang dari arah barat daya ke arah timur laut, berbatasan di sebelah selatan dengan 3° lintang selatan antara Sumatra dan Kalimantan dan di sebelah utara berbatasan dengan Selat Taiwan dari ujung utara Taiwan hingga ke arah pantai Fukien, Tiongkok. Luas perairan LCS sendiri diperkirakan mencapai 3.500.000 km2. Terdapat 250 pulau kecil dan terumbu karang, yang diyakini memiliki sumber daya melimpah yang dapat memberikan manfaat bagi negara disekitarnya. China sebagai konsumen minyak nomor dua terbesar setelah AS, mengimpor 52 persen minyaknya dari Timur Tengah dan mencoba meningkatkan kebutuhan minyaknya dari Laut China Selatan. Pada tahun 1970 di temukanlah 25 triliun kubik gas alam dan 213 barel minyak oleh peneliti. Selain barang tambang yang melimpah, komoditas lain seperti perikanan merupakan salah satu yang menjadi kontribusi terutama di Tiongkok, Vietnam, dan Thailand.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, pada tahun 2021, konfrontasi AS-Tiongkok kembali memanas. Alasannya adalah isu Laut China Selatan. Masalah pertama adalah dengan Tiongkok, yang mengklaim seluruh Laut China Selatan berada di bawah kedaulatan Tiongkok. Mendengar pernyataan tersebut, negara-negara yang berbatasan dengan Laut China Selatan menjadi Marah. Filipina semakin merasa kesal terhadap Tiongkok, karena beberapa waktu yang lalu kapal militer Tiongkok kerap berpatroli di sekitar perairan yang juga diklaim oleh filipin, namanya Julian Felipe Reef sedangkan jika merujuk pada klaim Tiongkok namanya Whitsun Reef. Sekitar 200 kapal China kerap mengusir nelayan Filipina yang mencari ikan di kawasan itu.
Masyarakat Filipina merasa tidak nyaman dan meminta Tiongkok untuk menghentikan aksi ini. Namun Tiongkok belum menghentikan tindakannya. Mendengar hal tersebut, Amerika Serikat langsung turun tangan sebagai sekutu Filipina. Dalam pernyataan Menteri Luar Negeri AS Anthony Brinken, AS mengatakan China harus berhenti menyerang dan mengancam kapal-kapal Filipina. Selain itu, Blinken juga mengingatkan China untuk mematuhi hukum internasional dan tidak menunjukkan sikap provokatif.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2016, Pengadilan Arbitrase PBB menolak klaim sepihak China terhadap LCS, memutuskan bahwa klaim mereka tidak sah. Namun, China mengabaikan hal tersebut dan terus membangun pangkalan militer di beberapa pulau buatan.
Dalam hal ini, Indonesia menegaskan kepada dunia internasional bahwa Indonesia tidak memiliki klaim atas sengketa Laut China Selatan dan tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan Tiongkok. Namun, ini menarik karena Laut China Selatan bersinggungan dengan Laut Natuna Utara. Berdasarkan kepentingan nasional tersebut, Indonesia memandang geopolitik dan geostrategi yang tepat untuk menghadapi eskalasi di kawasan.
Menurut Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Indonesia akan mengambil sikap netral dalam eskalasi Laut China Selatan, karena Amerika Serikat dan China merupakan mitra strategis dalam mencapai kepentingan nasional Indonesia. Netralitas ini telah ditunjukkan oleh Indonesia dalam menjaga hubungan baik dengan kedua belah pihak, seperti Menteri Pertahanan Prabowo Subianto melakukan kunjungan ke Amerika Serikat untuk memperkuat kerja sama di bidang pertahanan dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan melakukan kunjungan ke Tiongkok meningkatkan investasi di Indonesia. Ini merupakan penerapan dari Hedging Strategy. Dimana menerapkan strategi hedging Indonesia dalam menghadapi klaim China di Laut China Selatan yaitu:
ADVERTISEMENT
Pertama, bersikap pragmatis di bidang ekonomi agar bisa menjalin hubungan ekonomi dengan semua negara yang terlibat konflik Laut China Selatan. Kedua, mencapai keseimbangan tidak langsung dengan menjalin kerja sama militer dengan negara-negara besar, baik China maupun Amerika Serikat. Ketiga, menolak dominasi, yaitu menolak salah satu kekuatan besar. Keempat, komitmen yang mengikat, terutama dengan menjalin kemitraan strategis.