Pesan Toleransi dari Afi Nihaya Untuk Kita Semua

17 Mei 2017 6:56 WIB
ADVERTISEMENT
Afi Nihaya Faradisa (Foto: Facebook Afi Nihaya Faradisa)
Nama Afi Nihaya Faradisa mendadak viral di media sosial. Remaja asal Gambiran, Banyuwangi ini mendapat banyak pujian karena tulisan di Facebooknya yang insipiratif.
ADVERTISEMENT
Afi sering menuliskan status di Facebook, mulai dari kritikan, opini hingga kisah pribadinya. Tulisan yang dibuat siswi yang baru lulus SMA ini mendapat respons postif dari netizen. Bahkan pengguna Facebook banyak yang menjadi follower Afi. Dilihat kumparan.com Selasa (16/5) jumlah follower Afi mencapai 262.843 orang.
Afi mengaku senang karena apa yang ditulisnya bisa bermanfaat untuk orang lain. "Alhamdulillah. Saya senang karena tujuan saya untuk memberi kontribusi pengetahuan bagi para pembaca ternyata tersampaikan dan disambut baik," kata Afi kepada kumparan.com.
Salah satu tulisan Afi yang banyak mendapat pujian adalah soal keberagaman. Afi mengunggah tulisan itu di laman status Facebooknya, Senin (14/5) dengan judul "Warisan".
Dalam tulisannya Afi mengatakan setiap orang yang lahir ke dunia tidak bisa memilih dilahirkan dari rahim siapa, di negara mana dan agama apa. Semua yang diterima oleh bayi yang baru lahir adalah warisan orang tua mereka.
ADVERTISEMENT
"Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita. Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri," tulis Afi.
Sejak kecil, doktrin agama sudah ditanamkan orang tua. Seperti yang dialami Afi yang lahir di lingkungan keluarga Muslim. Dia sudah diajarkan bahwa Islam adalah agama yang benar.
"Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk neraka. Ternyata, teman saya yang Kristen juga punya anggapan yang sama terhadap agamanya. Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan, karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama mereka berkata," katanya.
Afi mengajak masyarakat untuk menyelami kembali makna Pancasila di mana setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya tapi tidak berhak memaksakan kehendaknya. Menurutnya bila sentimen mayoritas vs minoritas masih berkuasa maka sisi kemanusiaan bisa hilang dan menimbulkan perpecahan.
ADVERTISEMENT
"Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Indonesia kita. Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar '45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika," ucapnya.
Berikut tulisan lengkap dari Afi:
WARISAN
Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak.
Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan.
ADVERTISEMENT
Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan.
Untungnya, saya belum pernah bersitegang dengan orang-orang yang memiliki warisan berbeda-beda karena saya tahu bahwa mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan negara.
Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita. Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri.
.Sejak masih bayi saya didoktrin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk neraka.
Ternyata,
Teman saya yang Kristen juga punya anggapan yang sama terhadap agamanya. Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan, karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama mereka berkata.
ADVERTISEMENT
Maka,
Bayangkan jika kita tak henti menarik satu sama lainnya agar berpindah agama, bayangkan jika masing-masing umat agama tak henti saling beradu superioritas seperti itu, padahal tak akan ada titik temu.
Jalaluddin Rumi mengatakan, "Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu, memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh."
.Salah satu karakteristik umat beragama memang saling mengklaim kebenaran agamanya. Mereka juga tidak butuh pembuktian, namanya saja "iman".
Manusia memang berhak menyampaikan ayat-ayat Tuhan, tapi jangan sesekali coba menjadi Tuhan. Usah melabeli orang masuk surga atau neraka sebab kita pun masih menghamba.
.Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena masing-masing warisan mengklaim, "Golonganku adalah yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya".
ADVERTISEMENT
Lantas, pertanyaan saya adalah kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha, Hindu, bahkan ateis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?
.Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa.
Tapi tidak, kan?
Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama, hal itu akan menjamin kerukunan? Tidak!
Nyatanya, beberapa negara masih rusuh juga padahal agama rakyatnya sama.
Sebab, jangan heran ketika sentimen mayoritas vs. minoritas masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita mendadak hilang entah kemana.
Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Indonesia kita.
ADVERTISEMENT
Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar '45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam perspektif Pancasila, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak memaksakan sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai tolak ukur penilaian terhadap pemeluk agama lain. Hanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan.
Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.
ADVERTISEMENT
Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan.
Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir.
Afi Nihaya Faradisa
Tentu saja, Afi mendapat banyak komentar terkait tulisan ini. Ada yang bernada negatif, tak sedikit juga yang memuji karena positif. Apa pun itu, Afi punya cara yang elegan untuk meresponsnya: