Konten dari Pengguna

Menilik Kepemimpinan Transformasional Presiden Gus Dur pada Era Reformasi

Salma Saadah
Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara di Universitas Indonesia.
17 Desember 2021 20:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Salma Saadah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: Kumparan
ADVERTISEMENT
Siapa yang tak kenal Gus Dur? Presiden keempat Indonesia yang memiliki nama asli Abdurrahman Wahid ini bisa dibilang memiliki gaya ‘nyentrik’ dalam kepemimpinannya. Beliau kerap melontarkan pernyataan “Gitu aja kok repot,” dalam mengomentari persoalan, sikap seseorang, ataupun lembaga. Kalimat tersebut mungkin mengesankan sikap permisif. Namun, sebenarnya di balik pernyataan tersebut terdapat filosofi tentang membentuk perspektif hidup yang lebih positif. Sebagai seorang pemimpin, cara menghadapi masalah merupakan skill yang krusial, karena cara seseorang menghadapi masalah erat sekali hubungannya dengan seberapa cepat dan efisien seseorang memecahkan persoalan tersebut. Gus Dur mencoba bereaksi lebih santai dalam menghadapi persoalan, sehingga masalah yang kelihatannya “tidak dapat diatasi” lambat laun akan lebih memungkinkan untuk dikelola. Sehingga, beliau yang notabene adalah seorang presiden akan memiliki lebih banyak waktu untuk memikirkan hal-hal yang benar-benar merupakan masalah besar bangsa.
ADVERTISEMENT

Melampaui Darah Biru Politik

Gus Dur bukan merupakan seorang pemimpin yang termasuk dalam perspektif The Great Man Theory atau yang ketika lahir tiba-tiba memiliki bakat memimpin. Atau dengan kata lain, aspek genetis atau “darah biru” sangat berpengaruh. Walaupun dalam diri Gus Dur mengalir darah kepemimpinan dari kakeknya K.H. Hasyim Asy’ari dan ayahnya K.H. Wahid Hayim, hal itu tidak dijadikan legitimasi oleh Gus Dur dalam memperoleh perannya sebagai seorang pemimpin. Lahir dan tumbuh di dunia pesantren yang berada di pinggiran secara struktural, Gus Dur berjuang keras melakukan advokasi untuk membuktikan bahwa dunia pesantren bukanlah dunia tertutup, hingga akhirnya dapat masuk ke wilayah istana dan negara. Jadi, bisa dikatakan pribadi Gus Dur sebagai seorang pemimpin lebih cocok berada dalam perspektif behavioral trait theory, yang keberhasilannya bergantung pada perilaku, bukan faktor genetis bawaan lahir.
ADVERTISEMENT

Kekuasaan Besar sebagai Penyongsong

Berbicara mengenai kepemimpinan, tak lepas kaitannya dengan kekuasaan. Tanpa kekuasaan, Gus Dur tak akan bisa menjalankan role leadership nya dengan lancar. Tentunya, kekuasaan Gus Dur bersumber pada position power yang melekat pada jabatannya sebagai presiden. Dengan menjadi presiden, ia mendapat legitimate power berupa wewenang formal yang tertuang dalam UUD 1945. Salah satu praktek kontroversial legitimate power oleh Gus Dur adalah menghidupkan kembali agama, kepercayaan China, mencabut dwifungsi TNI, membubarkan departemen sosial dan penerangan, serta mendirikan Departemen Eksplorasi Laut, cikal bakal Kementerian Kelautan dan Perikanan sekarang.
Tidak seperti personal power atau kekuasaan pribadi, position power bersifat sementara, mengikuti jabatan yang diemban. Sidang Istimewa MPR RI memaksa Presiden Abdurrahman Wahid lengser dari kursi kepemimpinannya. Sehingga, berakhirlah kekuasaan Presiden yang hanya berumur satu setengah tahun itu. Dengan berakhirnya jabatan Gus Dur sebagai seorang presiden, maka hilang pula position power yang selama ini dipangkunya.
ADVERTISEMENT
Sumber kekuasaan kedua yang dimiliki Gus Dur yaitu personal power atau kekuasaan yang bersumber pada kualitas pribadinya. Sebelum menjadi presiden, Gus Dur sempat menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Muktamar 1984. Terpilihnya Gus Dur sebagai ketua umum PBNU menunjukkan bahwa beliau memiliki mutu kepribadian yang mumpuni, yaitu pertama at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal. Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, serta yang keempat tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama.
Selain itu, kualitas keilmuan Gus Dur juga diakui di dalam maupun luar negeri. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya penghargaan yang ia peroleh seperti Bapak Ombudsman Indonesia oleh Ombudsman RI pada 2010, Global Tolerance Award, Friends of the United Nations, New York, Amerika Serikat pada 2003, Penghargaan sebagai tokoh pluralisme oleh Simon Wiesenthal Center pada 2008, dan masih banyak yang lainnya.
ADVERTISEMENT

Transformatif Menjadi Kunci

Gus Dur dapat dikatakan sebagai pemimpin yang transformatif. Sesuai dengan namanya, gaya kepemimpinan transformasional adalah proses yang mengubah dan mentransformasikan. Gus Dur sadar akan nilai pluralisme yang selama ini ditindas untuk kepentingan politik semata dengan mengatasnamakan persatuan dan kesatuan, sehingga pada saat menjabat sebagai presiden, beliau sangat kuat mendorong pluralisme untuk menjadi kesadaran kolektif bangsa. Hal ini terlihat dari kebijakannya berkaitan dengan penghidupan kembali kepercayaan dan adat istiadat China, yang dilarang pada masa Orde Baru. Selain itu, beliau juga memegang visi kuat bahwa semua warga negara, apapun kepercayaan dan keyakinannya memiliki kedudukan yang setara di hadapan hukum dan konstitusi. Oleh karena itu, jika ada warga negara yang dilanggar hak konstitusinya, beliau tidak pernah ragu untuk membela. Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menobatkan Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme dan Multikulturalisme juga dapat menjadi bukti perjuangan Gus Dur yang sekarang menjelma menjadi kesadaran bangsa. Terakhir, kita pasti ingat betapa kebebasan informasi sangat dibatasi pada masa Orde Baru. Berbeda dengan Orba, Gus Dur malah menjunjung tinggi value atau nilai kebebasan pers dan kebebasan mengemukakan pendapat yang membawa perubahan besar pada iklim sosial-politik hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Gus Dur sebagai pemimpin yang memiliki personal power kuat dan gaya kepemimpinan transformatif telah membawa berbagai kontribusi besar bagi Indonesia melalui penguatan demokrasi, pluralisme, dan multikulturalisme. Pemikiran dan wacana yang dibawa Gus Dur, baik soal keagamaan, kenegaraan, maupun kemanusiaan sering kali sukar dicerna oleh publik, terutama masyarakat awam pada masa itu. Namun, hal lain yang perlu dicatat adalah pemikiran-pemikiran dan gaya beliau sebagai seorang pemimpin yang dahulu dianggap kontroversial, kini justru menjadi arus pemikiran banyak kaum muda.