Oknum Tidak Berwenang Sebagai Pelaksana Penggusuran

SALSABILA AGUSTRIANA
Mahasiswa Jurnalistik, Universitas Padjadjaran.
Konten dari Pengguna
25 Desember 2022 11:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari SALSABILA AGUSTRIANA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Gambar (Sumber: Foto Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gambar (Sumber: Foto Pribadi)
ADVERTISEMENT
Seiring bertambahnya tahun, semakin pesat juga kemajuan teknologi saat ini, Indonesia semakin gencar melakukan perbaikan sarana dan prasarana demi mendukung mobilitas warga dan masyarakat. Pembangunan infrastruktur dengan model dan desain yang semakin canggih dan bervariasi kerap diperhatikan pemerintah. Pembangunan tersebut meliputi pusat perbelanjaan, jalan tol, revitalisasi jalur kereta api dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Tentu saja pembangunan tersebut membutuhkan banyak lahan luas, sebagai dampak dari pembangunan tersebut lahan atau tanah para warga sekitar menjadi sasaran pemerintah. Hingga kini, penggusuran lahan masih menjadi isu negatif karena identik dengan tindakan yang menimbulkan konflik seperti keributan, kekerasan, pemaksaan, dan pengusiran.
Kasus penggusuran biasanya terjadi kepada masyarakat miskin yang tinggal di pusat kota, tempat dimana ekonomi negara berlalu-lalang setiap harinya. Penelitian menemukan bahwa 46% penggusuran hunian dan 80% kasus penggusuran unit usaha dilaksanakan sepihak tanpa musyawarah dengan warga terdampak. Aparat tidak berwenang seperti POLRI atau TNI juga marak dilibatkan untuk mengintimidasi warga terdampak saat proses penggusuran.
Selain para aparat, banyak oknum yang lebih tidak berwenang disangkut pautkan untuk mengintimidasi para warga sekitar. Oknum tersebut biasanya adalah organisasi masyarakat (Ormas) atau sekelompok preman yang tidak segan untuk melukai warga dengan cara ancaman atau kekerasan fisik. Bahkan sudah banyak kasus kekerasan yang dilakukan ormas atau preman hingga melukai warga yang terdampak penggusuran. Bagaimana kabar hak asasi manusia?
ADVERTISEMENT
Trauma Mendalam Anyer Dalam
Merangkum sedikit kejadian di Anyer Dalam, satu tahun sudah terlewati sejak peristiwa 18 November 2021 yang melibatkan warga Jalan Anyer Dalam dengan pihak PT KAI, hingga hari ini trauma mendalam masih dirasakan oleh para korban penggusuran di Jalan Anyer Dalam. Sejak penggusuran yang dilakukan oleh PT KAI tersebut, salah satu korban bernama Eti (59) harus kehilangan rumah dan warung miliknya tempat dimana dirinya mencari nafkah setiap hari.
Kronologi kejadian penggusuran Eti ceritakan, bagaimana detik-detik para petugas dengan topi putih, preman, dan aparat yang berjumlah ratusan bahkan ribuan tersebut mengepung kawasan Jalan Anyer Dalam dan memaksa menerobos masuk kedalam rumahnya. Para preman yang tidak berwenang berusaha untuk mengosongkan rumah miliknya, dan memaksa dirinya untuk segara angkat kaki dari kediamannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Penggusuran paksa yang dilakukan PT KAI tersebut hingga kini belum memiliki akhir kejelasan. Para korban penggusuran masih sibuk memperjuangkan hak-hak mereka dan mencari keadilan melalui persidangan. Hal yang disesalkan oleh para korban penggusuran adalah dimana hati nurani PT KAI? Para korban berharap setelah penggusuran setidaknya dibangunkan rumah kembali, atau paling tidak diberikan uang ganti rugi.
Sengketa tanah menjadi permasalahan yang terjadi saat ini, PT KAI masih bersikukuh bahwa lahan tersebut merupakan milik mereka. Sama hal nya dengan para warga Anyer Dalam yang masih berjuang menegaskan bahwa rumah dan tanah tersebut merupakan peninggalan orang tua mereka sejak puluhan tahun lamanya, mereka bahkan sudah puluhan tahun membayar PBB (Pajak, Bumi dan Bangunan).
ADVERTISEMENT
Pasal 1963 dan 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa warga yang telah menghuni suatu tanah dengan itikad baik dalam jangka wantu lebih dari 20 tahun secara berturut-turut tanpa klaim dari pihak manapun, dapat mendaftarkan tanah mereka untuk memperoleh status kepemilikan. Apabila lebih dari 30 tahun, hak tersebut bersifat mutlak.
Penggusuran Paksa
Resolusi Komisi HAM PBB Nomor 1993/77 tentang Penggusuran Paksa dan Komisi HAM PBB Nomor 2004/28 tentang Larangan Penggusuran Paksa menyatakan bahwa penggusuran paksa bertentangan dengan ketentuan HAM internasional dan mengandung unsur “a gross violation of a broad range of human rights, in particular the right to adeuate housing” (pelanggaran berat serangakaian lingkup HAM, khususnya hak atas perumahan yang layak.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pasal 28H Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, menerangkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan. Hakikatnya penggurusan paksa dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Dari kasus yang terjadi di Anyer Dalam, seperti yang diketahui para warga terbagi menjadi dua kubu, yaitu sebanyak 13 rumah setuju rumahnya diruntuhkan dan menerima uang ganti rugi, sedangkan 12 rumah lainnya menolak rumah nya untuk digusur. Ke-12 warga yang menempati rumah tersebut memiliki kesepakatan agar rumah mereka tidak digusur, namun pada akhirnya rumah mereka tetap dikepung dan diruntuhkan oleh PT. KAI tanpa ada ganti rugi.
Dari hal ini maka bisa dipastikan para warga Anyer Dalam yang tidak setuju untuk digusur rumahnya tidak terpenuhi standar hak-hak nya. Antara lain, para warga tidak diberikan kembali rumah yang layak pasca penggusuran dan tidak adanya ganti rugi berupa uang bagi para warga terdampak.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus penggusuran paksa sendiri kerap kali melibatkan oknum yang tidak memiliki wewenang. Pengerahan para oknum tersebut disewa oleh pihak penggusur untuk mengancam, mengintimidasi, dan mengawasi kawasan lahan yang akan digusur. Mereka bahkan memiliki tugas lain seperti menghasut dan menyebarkan fitnah pada warga sekitar.
Kasus kekerasan oleh preman atau ormas dalam kasus penggusuran paksa tidak sedikit, banyak artikel menyeruak terkait dugaan kekerasan yang dilakukan preman saat penggusuran dilakukan. Hal ini juga terjadi pada kasus penggusuran di Anyer Dalam, PT KAI menyewa preman dan ribuan petugas dengan topi putih untuk mengintimidasi korban agar segera mengosongkan rumah yang mereka huni tersebut, mereka bahkan tidak segan untuk menerobos masuk.
Para masyarakat miskin yang tidak memiliki kekuatan tentu tidak bisa melakukan apapun untuk melawan, mereka hanya bisa menangis dan memprotes untuk mendapatkan keadillan. Penggunaan preman dan organisasi masyarakat untuk mengintimidasi dalam kasus penggusuran sangat disayangkan, masih banyak jalan alternatif lain untuk mencapai kesepakatan dalam penggusuran rumah. Pihak penggusur bisa bermusyawarah terlebih dahulu dengan memberikan harga ganti rugi yang sesuai dengan rumah tersebut, sehingga para warga tergusur bisa terjamin hak-hak nya.
ADVERTISEMENT