Konten dari Pengguna

Limitasi Proliferasi SALW sebagai Tantangan bagi Asia Tenggara

Salsabila Nada N
Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada
18 Juni 2022 15:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Salsabila Nada N tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wilayah Asia Tenggara seperti tergambar di peta. Foto: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Wilayah Asia Tenggara seperti tergambar di peta. Foto: Pexels
ADVERTISEMENT
Sebagai kawasan yang juga tidak terlepas dari konflik dan ketegangan, Asia Tenggara kerap dihadapkan dengan ancaman keamanan yang muncul dari dalam kawasan itu sendiri. Dorongan integrasi regional yang menghapus batasan geografis membuka celah bagi pertumbuhan ancaman keamanan, khususnya di wilayah dengan riwayat konflik, ketegangan, dan kekerasan.
ADVERTISEMENT
Mulanya, studi keamanan di Asia Tenggara tidak terlalu mendapat banyak perhatian hingga ketegangan muncul di kawasan, tepatnya tahun 2011. Pada tahun 2011 dan 2013, Wezeman (2019) memaparkan adanya konfrontansi bersenjata yang melibatkan Kamboja, Thailand, Filipina, dan Malaysia. Walaupun konfrontasi disebutkan dalam skala kecil, peristiwa tersebut diwarnai dengan kekerasan khususnya oleh kelompok bersenjata. Dalam kata lain, kedua kasus tersebut telah menjadi titik awal bagi kawasan dalam mengelola pengeluaran dan kekuatan militer serta akuisisi senjata (Wezeman, 2019).
Layaknya Asia Selatan, Asia Tenggara memiliki “Golden Crescent”-nya sendiri yang dikenal sebagai “Golden Triangle”. Wilayah ini dikenal dengan produksi narkoba yang juga ditunjang oleh perdagangan small arms and light weapons (SALW) secara ilegal. Selama beberapa periode, SALW mulai diperdagangkan dengan uang hasil transaksi narkoba yang diperoleh dari daerah penanam opium di Golden Triangle, dimana cakupan negaranya yaitu Myanmar, Kamboja, dan Thailand (Gautam, 2003). Sebagian besar sirkulasi SALW berpusat pada wilayah Golden Triangle dengan Thailand yang menjadi daerah transit utama dari Kamboja. Hal ini disebabkan oleh kedekatan geografis Thailand dan Kamboja yang memungkinkan para pedagang untuk berbaur dengan turis dan warga negara asing ketika mereka melakukan perdagangan SALW.
ADVERTISEMENT

Semakin terkikisnya batasan geografis bersamaan dengan peningkatan teknologi dan komunikasi menciptakan ruang yang lebih luas bagi SALW untuk terus bersirkulasi. Walaupun konflik bersenjata di Asia Tenggara menunjukkan penurunan yang signifikan, menjadi penting untuk melihat sirkulasi SALW di tengah warga sipil, baik yang terlibat maupun tidak terlibat dalam konflik. Sebagaimana beberapa negara Asia Tenggara memiliki riwayat konflik dan kekerasan, ruang yang masih tercipta agar SALW dapat beredar merupakan bentuk ancaman bagi keamanan yang tidak dapat dihindarkan. Urgensi menciptakan regulasi untuk mengontrol proliferasi SALW di Asia Tenggara kemudian menjadi krusial.

Secara umum, Asia Tenggara pada dasarnya memiliki pendekatan yang ketat berkaitan dengan pengendalian SALW (Pérez Esparza et al., 2021). Indonesia, Malaysia, dan Singapura mengatur SALW berlisensi terkenal menjadi sulit diperoleh; sementara itu di Brunei, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam, SALW juga dilarang keras (Alpers dan Picard dalam Pérez Esparza et al., 2021). Berbeda dengan negara yang telah disebutkan, Thailand dan Filipina memiliki persediaan SALW legal bagi warga sipil (Pérez Esparza et al., 2021).
Walaupun pendekatannya tergolong ketat, dunia yang berbasis digital memperluas fasilitasi pasar SALW secara ilegal. Beberapa negara di kawasan misalnya Thailand, platform media sosial—seperti Line, Twitter, Facebook, dan YouTube—digunakan untuk mengiklankan dan menjual SALW dan untuk mendiseminasi informasi mengenai konversi serta pembuatannya (Pérez Esparza et al., 2021). Pérez Esparza et al. (2021) juga menekankan bagaimana cadangan SALW dalam skala besar yang diperoleh oleh warga sipil dapat melipatgandakan peluang bagi SALW untuk bersikulasi secara ilegal, seperti yang telah ditunjukkan oleh beberapa kasus di Thailand dan Filipina. Bentuk ancaman yang muncul kemudian tidak hanya datang dari perdagangan secara konvensional yang melibatkan kelompok bersenjata, melainkan juga dari tingginya arus digitalisasi yang memfasilitasi pasar gelap.
ADVERTISEMENT
Tantangan kemudian muncul ketika negara-negara di Asia Tenggara harus memberikan respon terhadap proliferasi SALW yang muncul. Upaya mereka tercatat melalui ASEAN Declaration on Transnational Crime tahun 1997 diikuti dengan pembentukan ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC). Namun, beberapa upaya yang dilakukan melalui AMMTC masih terkendala oleh prioritas domestik negara-negara anggota (Hiswi, 2018).
Terlepas dari fakta bahwa kepentingan bersama mereka didasarkan atas upaya mengontrol proliferasi SALW di kawasan, Hiswi (2018) menekankan beberapa negara di Asia Tenggara memiliki kepentingan yang berbeda berkaitan dengan perdagangan ilegal SALW. Dikutip dari Nsia-Pepra & Pearson, terdapat manfaat ekonomi yang diperoleh negara dari perdagangan SALW baik legal maupun ilegal (Hiswi, 2018). Dalam kata lain, perdagangan SALW menjadi aktivitas ekonomi yang menunjang kelompok atau tertentu di sebuah negara.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari kondisi tersebut, diperlukan adanya kegiatan ekonomi alternatif untuk menggantikan daya tarik yang timbul dari perdagangan ilegal SALW (Hiswi, 2018). Selain itu, menjadi sebuah tantangan bagi kawasan ini untuk mendorong negosiasi yang diperlukan untuk kebijakan regional walaupun beberapa langkah awal telah dilakukan.

Oleh karena itu, penting untuk mengintegrasikan pendekatan struktural dalam upaya mengontrol proliferasi SALW di Asia Tenggara. Inisiatif utama dalam meminimalisir proliferasi SALW sudah semestinya berpusat pada negosiasi perdamaian yang akomodatif dan komprehensif di wilayah konflik bergejolak. Hal ini kemudian akan mengakibatkan permintaan terhadap SALW menurun karena pihak yang terlibat berupaya untuk mempertahankan kerangka keamanan (Pérez Esparza et al., 2021). Negara juga seharusnya terdorong untuk menciptakan proses pendefinisian dan memprioritaskan ancaman keamanan nasional sebagai hal krusial dengan implikasi positif pada proliferasi SALW di kawasan (Pérez Esparza et al., 2021). Dengan demikian, tantangan berkelanjutan yang dihadapi oleh Asia Tenggara dalam merespon proliferasi Asia Tenggara dapat menemui langkah baru yang lebih pragmatis dan kolektif.

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Referensi
Gautam, C. (2003). Proliferation of Small Arms in South Asia and Human Security. Institute of Peace and Conflict Studies. http://www.ipcs.org/comm_select.php?articleNo=952.
Hiswi, P. (2018). Resolving the Illicit Trade of Small Arms and Light Weapon through ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC). Otoritas: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 8(2), 110-123. https://doi.org/10.26618/ojip.v8i2.1311
Pérez Esparza, D., Pérez Ricart, C., & Weigand Vargas, E. (2021). Gun Trafficking and Violence: From The Global Network to The Local Security Challenge. Palgrave Macmillan.
Wezeman, S. (2019). Arms flows to South East Asia. Stockholm International Peace Research Institute.