Konten dari Pengguna

Tirto Adhi Soerjo: Pelopor Pers Indonesia

Salsabila Rahadatul 'aisy
Mahasiswa Universitas Negeri Semarang
11 November 2022 17:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Salsabila Rahadatul 'aisy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Raden Mas Djokomono atau lebih dikenal dengan nama Tirto Adhi Soerjo, lahir di Blora Jawa Tengah tahun 1880. Tirto adalah seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, ia juga dikenal sebagai perintis persurat kabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Merupakan putra dari Raden Mas Ngabehi seorang pegawai kantor pajak dan merupakan keturunan bangsawan. Karena statusnya sebagai keturuanan bangsawan, Tirto mendapat kesempatan pendidikan Eropa dan bergabung dalam sekolah kedokteran bernama STOVIA di Batavia pada tahun 1893-1900. Alih-alih menjadi dokter, Tirto malah tertarik di dunia kepenulisan. Saat itu, ia sering menulis surat ke berbagai surat kabar besar seperti Bintang Betawi, Chabar Hindia Olanda, dan Pembrita Betawi.
ADVERTISEMENT
Surat kabar terakhir menjadi situs karir Tirto dan sempat menjadi redaktur dalam waktu singkat. Selain mengirimkan surat kabar, Tirto juga berkarir dalam bidang jurnalistik pada tahun 1901. Terlalu sibuk bekerja sebagai jurnalis, Tirto akhirnya dikeluarkan setelah belajar di STOVIA selama enam tahun. Tahun 1903 cita-cita Tirto yang ingin memimpin surat kabar tercapai atas bantuan bupati Cianjur yang diberi nama Soenda Berita.
Surat kabar yang dibuat oleh Tirto menjadi surat kabar pertama yang dikelola dan dibiayai oleh warga bumi putera. Tirto berpendapat bahwa Hindia Belanda tidak dipersatukan oleh agama, etnis, atau kekerabatan yang sama, tetapi oleh pengalaman bersama mereka sebagai "orang terperintah" karena feodalisme dan penguasaan sumber daya ekonomi oleh perusahaan-perusahaan Belanda, karena waktu itu lemahnya kekuasaan Priyayi.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan ini, pada tahun 1907 Tirto mendirikan koran mingguan yang diberi nama Medan Prijaji. Surat kabar ini merupakan surat kabar pertama di nusantara yang awak redaksinya orang pribumi, di terbitkan menggunakan bahasa Melayu dan seluruh pekerjanya merupakan orang-orang pribumi. Tirto sadar bahwa koran itu penting bukan hanya untuk kepentingan ekonomi tetapi juga untuk kepentingan politik.
Ketika Medan Prijaji masih sebagai koran mingguan, Medan Prijaji menetapkan motto: “SOEARA bagai sekalian Radja-radja asali dan fikiran, Prijaji dan saudagar-saudagar Boemi Poetra dan officier-officier serta saudagar-saudagar dari bangsa jang terprentah laennja jang dipersamakan dengan Anak negri, di seloeroeh Hindia Olanda”
Medan Prijaji yang tadinya koran mingguan diubah menjadi koran harian yang mempunyai motto: “Orgaan boeat bangsa jang terprentah di H.O. Tempat akan memboeka swaranja Anak Hindia’’. Tirto juga menegaskan bahwa pilihan dalam ranah jurnalistiknya yakni untuk memberikan pembelaan terhadap warga lewat tulisan dan jika diperlukan disediakan pula bentuk hukum untuk para korban penindasan. Dalam Medan Prijaji Tirto menulis dengan tajam dan penuh kritikan terhadap pemerintah. Tanpa rasa takut, Tirto juga menulis berbagai penyelewengan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.
ADVERTISEMENT
Menurut Tirto, berita itu harus dicari dan tidak harus menunggu dari kantor pemerintah Hindia Belanda. Dalam mencari berita inilah Tirto perpetualang dalam dunia politik, dan karena tulisannya yang sangat berani, mulai saat itu Tirto berurusan dengan aparat keamanan dan pengadilan Hindia Belanda kemudian diseret ke pengadilan. Tidak hanya itu tetapi juga ia mendapatkan hukuman dan dijerat dengan delik pers dan kemudian Tirto diasingkan ke Lampung selama tiga bulan. Selama tiga bulan di Lampung Tirto terus menulis berita. Setelah pulang dari Lampung kemudian ia mendapat kasus lagi ketika mengungkapkan kasus korupsi di Jawa Timur. Tirto merupakan sedikit dari warga bumi putera yang mempunyai kesadaran untuk menumbuhkan kebangsaan di kalangan warga bumi putera.
ADVERTISEMENT
Melalui surat kabar inilah gagasan nasionalisme pertama kali ditulis dan dibaca, dan itu membentuk kesadaran nasionalisme pertama di luar perbedaan agama, etnis, dan organisasi. Tidak puas dengan usahanya yang membangun negeri melalui media jurnalistik, pada tahun 1906 mendirikan Sarekat Prijaji yang bertujuan untuk memajukan kaum pribumi dan diumumkan di seluruh koran-koran yang ada di Hindia Belanda.
Sarekat Prijaji bukan hanya soal politik tapi juga soal dagang. Tirto juga bergabung dalam organisasi kebangsaan Boedi Utomo, akan tetapi organisasi Sarekat Prijaji dan Boedi Utomo tidak bisa mencapai masyarakat secara luas, kemudian Tirto meninggalkan dua organisasi ini. Pada tanggal 5 april 1909 Tirto mendeklerasikan organisasi bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) yang bertujuan untuk mempersatukan umat islam di Hindia Belanda, di dalam organisasi ini Tirto juga bergerak bersama kaum pedagang.
ADVERTISEMENT
Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh Tirto telah banyak melahirkan tokoh-tokoh pergerakan, Tirto pula yang menyatukan tradisi pergerakan dan tradisi pers untuk satu tujuan, yakni kesadaran berbangsa. Selain mendirikan Medan Prijaji dan Sarekat Prijaji, pada tahun 1908 Tirto juga merintis pendirian surat kabar Poetri Hindia yang menjadi koran pertama untuk pribumi perempuan. Selain itu, Tirto juga sangat mendukung emansipasi wanita dan menjadi donatur di sekolah perempuan yang ada di Jawa Barat yang didirikan oleh Dewi Sartika.
Pada tahun 1909-1912 koran harian Medan Prijaji menjadi surat kabar yang diperhitungkan, sampai pada masa titik puncak kejaannya koran ini memiliki pelanggan hingga 2000 orang mulai dari bupati, raja, dan terutama priyayi. keberanian koran Medan Prijaji sering menjadi sasaran balik pihak-pihak yang merasa sangat dirugikan.
ADVERTISEMENT
Keberanian Tirto dan Medan Prijaji dalam mengkritik pemerintah akibatnya banyak serangan dari pemerintah kolonial dan omset yang terus merosot membuat Medan Prijaji tidak bisa melunasi biaya percetakan. Akhirnya pada tanggal 20 agustus 1912 Medan Prijaji berhenti terbit karena tidak bisa melunasi pembayaran. Pada tahun 1913 Tirto dinyatakan bersalah dan mendapat hukuman pemgasingan ke Ambon.
Dua tahun pulang dari Ambon, suasana pulau Jawa sudah banyak berubah dan organisasi kebangsaan semakin banyak, puluhan tokoh muncul. Kepulangan Tirto tidak luput dari perhatian para kaum pergerakan, nama Tirto yang tidak lagi memimpin di surat kabar mulai banyak dilupakan oleh orang-orang. Setelah kepulangan nya dari pengasingan, hotel Medan Prijaji yang dulunya kantor Medan Prijaji telah dibeli oleh sahabatnya, dan Tirto tinggal di hotel Medan Prijaji. Gerakan politik Tirto yang sangat berpengaruh adalah gerakan melawan kekuasaan, gerakan feminisme, dan gerakan pers nasional.
ADVERTISEMENT
Atas kiprah dan perjuangannya dalam dunia jurnalistik Indonesia, ia kemudian dinobatkan sebagai bapak pers nasional oleh dewan pers Indonesia pada tahun 1973 dan pahlawan nasional pada 3 november 2006, Tirto juga dikenal sebagai tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dan perintis persurat kabaran dan kewartawanan nasional Indonesia.