Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menatap Masa Depan Demokrasi: Bersuara atau Dipenjara?
29 Desember 2020 21:58 WIB
Tulisan dari Salsabila N Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Disfungsi UU ITE di Negara Demokrasi yang Tidak Demokratis
ADVERTISEMENT
Masih ingat dengan kasus Bintang Emon yang seketika viral setelah menggunggah postingan video yang berisi kritik terkait proses pengadilan kasus penyerangan Novel Baswedan di akun media sosialnya? Ya, setelah viralnya video tersebut Bintang langsung diserbu oleh para buzzer dengan berbagai tuduhan sampai fitnah penggunaan narkoba. Tak hanya itu, kritik sah Bintang kemudian justru dinilai sebagai ujaran kebencian yang bisa terjerat pasal 28 ayat (2) UU ITE.
ADVERTISEMENT
Kasus yang menimpa Bintang Emon hanya contoh kecil warga negara yang berusaha mengeluarkan suara guna menegakkan keadilan namun malah menjadi boomerang untuk diri sendiri. Kondisi tersebut menunjukkan bagaimana kebebasan berpendapat dan berekspresi di media sosial ini sangat memperihatinkan.
Jika kita melihat pada amanah konstitusi, kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang dijamin dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Dengan amanah tersebut, setiap orang bebas untuk mengeluarkan pikirannya secara lisan maupun tulisan baik dalam bentuk buku, diskusi, tulisan, maupun pers baik dalam media daring atau luring.
Pasal Karet UU ITE
UU ITE sebagai cyber law pertama Indonesia disahkan dengan tujuan untuk melindungi masyarakat di media berbasis internet dari tindakan kejahatan yang merugikan hak asasi manusia. Dari sifat melindungi itu maka UU ITE memuat pembatasan dalam kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam pasal 27, 28, dan 29 UU ITE. Secara normatif, UU ITE memiliki maksud yang baik menjadi penengah atas kebebasan berekspresi yang dijamin dalam media sosial dan memberikan tanggung jawab sosial dengan pembatasan yang relevan. Namun, UU ITE menimbulkan dilema etis dan normatif dalam implementasinya, karena dianggap membatasi setiap orang untuk mengeluarkan pendapat di media sosial.
ADVERTISEMENT
Dua pasal karet yang menjerat banyak korban yakni pasal 27 ayat (3) terkait pencemaran nama baik dan pasal 28 ayat (2) terkait ujaran kebencian. Delik penghinaan pasal 27 ayat (3) dinilai sangat subjektif, karena hakikatnya perasaan penghinaan atau pencemaran nama baik adalah hak korban untuk menentukan apakah korban merasa dihinakan atau tidak. Selain itu identitas yang dihina serta penggunaan kata yang merujuk penghinaan atau pencemaran nama baik juga sulit untuk diukur, sehingga UU ITE sendiri terlihat tidak memiliki batasan yang jelas. Masyarakat yang berniat mengkritik tidak akan mendapat kesempatan karena sudah tergugat dengan pencemaran nama baik/penghinaan terlebih dahulu.
Ketidak jelasan batasan serta penentuan yang objektif pada pasal 28 ayat (2) juga kerap digunakan untuk membungkam kritikan yang ditujukan kepada pemerintah. Seolah-olah dengan pasal ini, kritikan yang harusnya dikaji untuk bisa menciptakan solusi malah berdalih pada sebuah permasalahan ujaran kebencian. Rumusan yang tidak jelas pada dua pasal tersebut membuat UU ITE mudah dimanfaatkan untuk membalas dendam bahkan menjadi senjata untuk menjebak siapapun sehingga mencederai tujuan hukum UU ITE.
ADVERTISEMENT
Serangan Buzzer
Ketakutan tidak hanya dari ancaman UU ITE saja, kehadiran buzzer yang menggiring opini publik serta melakukan penyerangan terhadap seseorang yang mengkritik penguasa. Buzzer juga berpengaruh dalam implementasi demokrasi karena menciptakan kegaduhan yang dapat memanipulasi diskusi di media sosial, sehingga diskusi yang terjadi tidak lagi tulus karena keresahan yang dirasakan masyarakat.
Shita Laksmi selaku pengamat tata kelola internet menyatakan bahwa adanya penyerangan oleh buzzer dapat berakibat timbulnya chilling effect. Chilling effect merupakan kondisi penekanan terhadap kebebasan berpendapat dan bentuk ekspresi lainnya yang sah karena takut dengan dampaknya (Townend, 2017). Adanya chilling effect ini kemudian mendorong seseorang lebih memilih bungkam atau self censorship atas kondisi sosial politik yang ada di masyarakat (Link et al., 2013). Masyarakat menjadi takut untuk bersuara mengenai kebijakan pemerintah yang tidak adil di sekelilingnya dan takut berteriak terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh penguasa karena khawatir dianggap penghinaan.
ADVERTISEMENT
Dampaknya pada Demokrasi
Indeks Kebebasan Berpendapat Indonesia mulai menurun sejak tahun 2014 yang semula berstatus Free menjadi Partly Free (CNN Indonesia, 2020). Turunnya status tersebut bisa diartikan bahwa ada kemunduran proses demokrasi terkait pelaksanaan kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. Pasal karet UU ITE menjadi sorotan atas turunnya status ini dikarenakan berpotensi menciptakan tebang pilih bagi para penegak hukum yang hanya akan menindaklanjuti konten media sosial yang mengkritisi dan membahayakan rezim pemerintah.
Tentunya hal tersebut menutup peluang bagi masyarakat untuk mengajukan koreksi atas regulasi yang nyatanya menghambat tercapainya demokrasi. Selain itu, praktik pemidanaan yang sering ditempuh pemerintah menunjukkan sempitnya kapasitas ruang publik untuk menggelar diskusi terbuka yang dapat menjawab kebutuhan pengguna internet khususnya media sosial di Indonesia. Sehingga masyarakat tidak memiliki kesempatan apapun dalam memperjuangkan hak bersuara ini.
ADVERTISEMENT
Ancaman pidana UU ITE dan serangan buzzer membuat masyarakat kini mulai takut dan tidak menyuarakan pendapat mereka atas kebijakan publik yang dibuat oleh penguasa. Jika hal tersebut mulai terjadi maka tandanya ada masalah besar dalam jalannya demokrasi. Negara demokrasi yang berjalan di atas penguasa yang anti kritik terhadap masyarakat, maka dapat dipastikan negara tersebut telah berlangsung secara otoriter. Hal tersebut senada dengan pendapat Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto yang menyebut Indonesia sudah memasuki rezim otoritarianisme gaya baru terutama sejak era pemerintahan Joko Widodo (CNN Indonesia, 2020).
Wijayanto menyebut hal tersebut karena Indonesia sudah memenuhi empat indikator negara penganut otoritarianisme seperti yang dijelaskan dalam buku How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Empat indikator yang digunakan adalah (1) the rejection, in words or action, of the democratic rules of the game, (2) the denial of the legitimacy of political opponents, (3) toleration or encouragement of violence, dan (4) a willingness to curtail civil liberties of opponents, including the media.
ADVERTISEMENT
Satu dari empat indikator yang disebutkan di atas berkaitan dengan kebebasan berpendapat terkait pembatasan oleh penguasa terhadap kebebasan hak sipil, termasuk media (a willingness to curtail civil liberties of opponents, including the media). Eksploitasi teknologi dengan maksud untuk mengalahkan kelompok kritis yang menolak kebijakan pemerintah yang dianggap bertentangan dengan hak sipil terlihat dengan cara pengambilalihan akun media sosial, doxing, influencer politik dan dibantu oleh akun-akun buzzer dan bot serta ancaman pidana peraturan perundang-undangan.
Media sosial seakan menjadi alat represi yang terus dijadikan senjata politik yang secara tidak langsung mengarah pada kehancuran demokrasi. Jika kebebasan berpendapat dan berekspresi terus dikekang maka tidak menutup kemungkinan bahwa cepat atau lambat demokrasi akan mati di negeri ini. Pembunuhnya tidak lain adalah penguasa yang terpilih dalam sistem demokrasi negara itu sendiri dan tidak menutup kemungkinan kondisi kebebasan bersuara akan terkurung seperti di zaman sebelum reformasi (Levitsky and Ziblatt, 2018).
ADVERTISEMENT
Penulis:
Arundhati Taqwa, Drastiana Shinta, Salsabila Nidia, dan Syafira Aslikhati (Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia).
Referensi:
BBC Indonesia. (2020). Bintang Emon: Warganet sebut serangan siber terhadap komika Bintang Emon “fitnah” dan ’mengekang kebebasan berpendapat. https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-53052896
CNN Indonesia. (2020). LP3ES Sebut Indonesia Penuhi Empat Kriteria Negara Otoriter. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200614142106-20-513183/lp3es-sebut-indonesia-penuhi-empat-kriteria-negara-otoriter
Link, W. A., Brown, D., Ward, B., & Bone, M. (2013). Creating citizenship in the nineteenth-century South. Creating Citizenship in the Nineteenth-Century South, May, 1–302. https://doi.org/10.1093/jahist/jau290
Steven Levitsky, D. Z. (2018). How Democracies Die: What History Reveals About Our Future. United States: Crown.
Townend, J. (2017). Freedom of expression and the chilling effect. The Routledge Companion to Media and Human Rights, 73–82. https://doi.org/10.4324/9781315619835
ADVERTISEMENT