Konten dari Pengguna

Wanita Perbatasan Menjawab: Pendidikan Buat Kami Banyak Pilihan dan Terjamin

Salsabilla Chairunnisa
Kadet Mahasiswa UNHAN RI Belu-NTT (a learner who loves to play with freedom, choice, journey and life within)
10 Maret 2023 7:25 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Salsabilla Chairunnisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Siswi Perbatasan RI-RDTL, Imelda Moku (17) (3/3/2023)/ Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Siswi Perbatasan RI-RDTL, Imelda Moku (17) (3/3/2023)/ Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Era modern saat ini peran perempuan mudah dijumpai di berbagai bidang profesi kehidupan manusia yang mayoritas terdapat di lingkungan pusat perkotaan. Tak heran kesetaraan gender dan kebebasan berekspresi dapat dirasakan secara sadar di kota-kota besar nan kompleks bagi para perempuan dengan terjangkaunya akses pendidikan serta teknologi yang memadai dan mendorong pemikiran peradaban masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Namun, bagaimana dengan mereka yang berada di daerah 3T (Daerah Terdepan, Terpencil dan Tertinggal) yang jauh dari kata modern dan serba terbatas dengan segala akses yang ada?
Pada Jumat 3 Maret 2023 lalu saya (Salsa, kadet mahasiswa UNHAN Belu) sempat mewawancarai seorang siswi SMK Perikanan Kakuluk Mesak bernama Imelda Moku.
SMK ini berada di daerah Perbatasan RI-RDTL Nusa Tenggara Timur (NTT) mengenai bagaimana kebebasan yang ia dapatkan sebagai perempuan di lingkungan rumahnya sendiri.
“Kita kan punya kebun sawah, pokoknya dalam rumah sendiri mau keluar tidak bisa, yang keluar laki-laki," kata Imelda Moku.
“Berat sih, kalau misalnya dewasa ini kan mau keluar tidak baik, mau ke sana juga tidak baik, pokoknya kita punya orang tua pikiran negatif terus," tambahnya
ADVERTISEMENT
Dari pernyataan tersebut, terlihat jelas bahwa perspektif orang tua dalam mendidik seorang anak menjadi salah satu faktor berpengaruh terhadap kebebasan seorang anak dalam mengenali, mengeksplor dan mengembangkan potensi dalam dirinya.
Stereotipe dan stigma masyarakat mengenai kerangkeng tugas utama seorang perempuan yaitu 3UR (Kasur, Dapur dan Sumur) nyatanya masih subur melanggengkan konsep patriarki dan mengurung kebebasan perempuan.
Tak sampai di situ, peran tradisi adat yang berkembang kental di masyarakat setempat juga mengambil andil besar dalam penentuan masa depan seorang perempuan. Mereka yang terikat dengan adat tak punya pilihan lain selain menikah di usia muda karena tuntutan ekonomi maupun beban moril keluarga dengan risiko mengalami keguguran dan kematian ibu muda.
“Kan di sini ada orang (suku) Tetun dan orang (suku) Dawan, kebanyakan orang Dawan yang nikah duluan di bawah umur karena adat”, ucap Imelda Moku (17).
ADVERTISEMENT
Dalam Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2015 mencatat Angka Kematian Ibu Menurut Pulau (per 100.000 kelahiran hidup) di mana sebanyak 489 tertinggi di daerah 3T yaitu Pulau Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Di mana mayoritas para ibu yang mengalami keguguran berentang usia di bawah 20 tahun.
“Intinya belajar yang baik, sekolah ju harus yang baik supaya bisa hidup layak dan membanggakan kedua orang tua”, ucap Imelda Moku (17).
Di luar hal itu, akses Pendidikan yang memadai menjadi kunci utama bagi perempuan daerah perbatasan 3T agar dapat mengubah pandangan masyarakat dan memilih jalan hidupnya sendiri.

Dengan Pendidikan Kesejahteraan & Pilihan Perempuan Lebih Terjamin

Makan Bersama Anak-anak penjaga warung pinggiran pantai WINI, TTU, NTT/Dok. Pribadi
Badan Pusat Statistik (BPS) 2021 mencatat, penduduk perempuan berumur 7-24 tahun menurut status pendidikannya rata-rata sebanyak 8,60% perempuan hanya mencapai bangku perkuliahan, 15,62% perempuan hanya mencapai bangku Sekolah Menengah Atas, 15,88% perempuan hanya mencapai bangku Sekolah Menengah Pertama, 35,30% perempuan hanya mencapai bangku Sekolah Dasar, dan sisanya 24,59% tidak pernah bersekolah ataupun bersekolah kembali.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, mereka yang jauh dari akses Pendidikan mayoritas memilih putus sekolah untuk melanjutkan hidup dengan bekerja serabutan lewat keterbatasan skill, berdagang keliling hingga mengikuti pilihan terakhir dengan menikah muda karena tuntutan adat dan meringankan beban moril keluarga dengan risiko kematian dini di umur yang belum mampu dan siap.
Di mana Badan Pusat Statistik (BPS) 2021 mencatat, penduduk Nusa Tenggara Timur (NTT) usia 15 tahun ke atas yang bekerja mencapai 2,725 juta orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1,39 juta orang atau 51,14% merupakan penduduk dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah.
Terlepas dari realitas persoalan tersebut, kita sebagai masyarakat yang secara sadar sering menyaksikan dan merasakan ketimpangan kesetaraan gender di kalangan perempuan baik yang berada di daerah perkotaan, semi perkotaan, perdesaan, terkhusus di daerah 3T Indonesia sudah sepatutnya bahu-membahu merespons dengan penuh empati terkait persoalan ini.
ADVERTISEMENT
Selain merupakan bagian dari peranan dan tugas besar pemerintah dalam memberikan akses pendidikan memadai dalam menyamaratakan pembangunan nasional dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai masyarakat tentu kita dapat mengambil andil besar melalui buah dukungan moril kepada para perempuan untuk mengubah perspektif masyarakat kolot dengan terus konsisten menempuh pendidikan dan percaya akan hak kebebasan setara yang dimilikinya.