Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Buruh Bergaji Minim di Lumajang,Ketika Hak Asasi Manusia Dipertaruhkan
1 November 2024 10:49 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Sintia Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, ratusan buruh berjuang setiap hari menghadapi kenyataan pahit, upah minim yang jauh dari kata layak. Masalah ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga mencerminkan pelanggaran hak asasi manusia yang berdampak langsung pada kualitas hidup mereka.
Lumajang dikenal dengan sektor agraria dan industrinya. Namun, di balik kemajuan ekonomi daerah, banyak buruh di pabrik, perkebunan, dan usaha kecil menengah (UKM) masih menerima upah jauh di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK). Fakta ini sangat memprihatinkan, mengingat UMK Lumajang 2024 telah ditetapkan sebesar Rp2,256,837, angka yang dianggap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak di era sekarang.
ADVERTISEMENT
Bayangkan, dengan pendapatan yang minim, buruh harus bertahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bukan hanya soal makan, mereka juga harus memikirkan biaya pendidikan anak, kesehatan, hingga tempat tinggal yang layak. Ini bukan hanya soal uang, tetapi soal hak dasar mereka sebagai manusia.
Setiap buruh memiliki hak untuk hidup dengan layak, dan ini bukan sekadar tuntutan, melainkan hak asasi manusia yang diakui oleh konstitusi. Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan." Namun, bagaimana jika upah yang diterima tidak mampu mengangkat mereka dari garis kemiskinan.
Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang telah diratifikasi Indonesia juga menegaskan bahwa setiap pekerja berhak atas upah yang adil. Sayangnya, di Lumajang, realitas sering kali berbeda. Buruh dengan gaji minim berada dalam kondisi kerja yang buruk, tanpa jaminan sosial yang memadai, apalagi akses terhadap perlindungan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Nasib Buruh yang Terperangkap Siklus Kemiskinan
Upah rendah bukan hanya soal nominal, tetapi dampaknya luas. Banyak buruh yang bekerja dari pagi hingga malam hari tidak bisa memberikan pendidikan yang layak untuk anak-anaknya, mengakibatkan mereka terjebak dalam siklus kemiskinan antar-generasi. Sementara itu, kesehatan sering kali diabaikan karena biaya medis yang mahal dan tidak terjangkau.
Tidak sedikit buruh yang harus mencari pekerjaan tambahan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Mereka berjuang tanpa henti hanya untuk bertahan, tetapi kondisi hidup mereka tetap stagnan. Ini adalah bentuk ketidakadilan struktural yang mengakar dalam sistem ketenagakerjaan kita.
Mengapa Ini Bisa Terjadi?
Faktor utama yang memicu rendahnya upah buruh di Lumajang adalah lemahnya penegakan hukum terkait UMK dan minimnya pengawasan ketenagakerjaan. Banyak pengusaha di sektor informal yang tidak memberikan upah sesuai aturan karena merasa tidak ada konsekuensi serius. Ditambah lagi, kekuatan tawar buruh yang rendah membuat mereka sulit untuk menuntut hak-hak mereka.
Di sisi lain, buruh di Lumajang sering kali tidak memiliki akses terhadap informasi tentang hak-hak mereka. Minimnya kesadaran ini membuat mereka lebih rentan terhadap eksploitasi. Tanpa serikat pekerja yang kuat dan pemerintah yang tegas dalam pengawasan, ketidakadilan ini terus berlanjut.
ADVERTISEMENT
Peran Pemerintah dan Solusi yang Ditunggu
Sudah saatnya pemerintah daerah dan pusat memperkuat peran mereka dalam melindungi buruh Lumajang. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran upah minimum harus menjadi prioritas. Pemerintah juga perlu meningkatkan pengawasan ketenagakerjaan di sektor-sektor yang rentan terhadap pelanggaran upah.
Selain itu, memberikan edukasi kepada buruh mengenai hak-hak mereka sangat penting. Serikat buruh harus diperkuat agar dapat menjadi perpanjangan tangan untuk memperjuangkan hak dan keadilan bagi buruh. Sementara itu, dialog sosial antara buruh, pengusaha, dan pemerintah perlu ditingkatkan untuk menciptakan kesepakatan yang adil bagi semua pihak.
Saatnya Berubah
Kisah buruh bergaji minim di Lumajang bukan hanya cerita sedih tentang ketidakadilan ekonomi, tetapi tentang pelanggaran hak asasi manusia. Jika kita ingin melihat Lumajang, dan Indonesia secara keseluruhan, menjadi negara yang benar-benar adil, kita harus mulai dari hal-hal mendasar, memastikan setiap buruh mendapatkan haknya atas penghidupan yang layak. Inilah saatnya pemerintah, pengusaha, dan masyarakat bersatu untuk mengakhiri ketidakadilan ini. Dengan memberikan hak yang layak kepada buruh, kita tidak hanya meningkatkan kesejahteraan individu, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan manusiawi.
ADVERTISEMENT