Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Aurat Perempuan dalam Mazhab Syafi'i
10 Mei 2022 17:31 WIB
Tulisan dari Salsadilla Azzahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Islam adalah agama yang sangat memuliakan dan menghargai wanita. Diantara bukti bahwa Islam sangat menjaga wanita adalah turunnya perintah untuk perempuan muslimah menutup auratnya. Diantara tujuan utama perempuan menutup auratnya adalah agar mereka tidak mudah dikenali dan terhindar dari hal-hal yang tidak baik atau mencelakai mereka.
ADVERTISEMENT
Di dalam kitab Al-Mausu'ah Al-Fighiyah Al-Kuwaitiyah yang diterbitkan oleh Kementerian Wakaf Negara Kuwait, aurat didefinisikan sebagai :
"Bagian tubuh laki-laki atau perempuan yang haram terbuka atau terlihat."
Di kalangan ulama Mazhab Syafi’i, aurat perempuan dibagi dalam tiga kategori
Pertama, aurat perempuan di dalam shalat. Batasnya adalah seluruh anggota tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
Kedua, aurat perempuan terhadap pandangan lelaki yang bukan mahramnya (ajnabi). Bagiannya yaitu semua anggota tubuh tanpa kecuali, termasuk wajah dan kedua telapak tangan.
Ketiga adalah aurat perempuan ketika bersama dengan mahramnya. Bagian yang boleh terlihat seperti aurat laki-laki.
Sementara mayoritas pakar hukum Islam, baik dari kalangan Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, maupun Hanbali menyatakan wajah dan telapak tangan bukan bagian dari aurat perempuan yang wajib ditutup. Perempuan boleh menutup wajahnya dengan cadar, tetapi juga boleh membuka wajahnya atau tidak memakai cadar.
ADVERTISEMENT
Di kalangan Mazhab Syafi’i, penggunaan cadar ini bersilang pendapat. Pendapat pertama menyatakan, memakai cadar bagi wanita adalah wajib. Pendapat kedua adalah sunah, sedangkan pendapat ketiga adalah khilaf al-awla atau menyalahi yang utama, karena utamanya tidak bercadar.
Menurut Zakariya Al-Anshari
Di kalangan Mazhab Syafi’i, pengenaan cadar ini bersilang pendapat. Pendapat pertama menyatakan, memakai cadar bagi wanita adalah wajib. Pendapat kedua adalah sunah, sedang pendapat ketiga adalah khilâf al- awla atau menyalahi yang utama, karena utamanya tidak bercadar.
Apa yang dikemukakan oleh Zakariya Al-Anshari pada dasarnya bukan hal baru. Jauh sebelumnya, Abdul Malik Al-Juwaini, telah menjelaskan hal tersebut. Bahkan menurutnya larangan melihat wajah dan kedua telapak tangan apabila ada indikasi kuat dapat menimbulkan fitnah sudah menjadi ijma’ para ulama.
ADVERTISEMENT
Lain halnya jika tidak ada indikasi kuat akan menimbulkan fitnah, para ulama tidak sampai mengharamkannya karena didasarkan kepada firman Allah swt "... kecuali yang (biasa) terlihat..." (QS. An-Nur [24]: 31), di mana menurut mayoritas pakar tafsîr maksudnya adalah wajah dan kedua telapak tangan.
Pandangan mayoritas ulama ini mengindikasikan bahwa soal pemakaian cadar oleh perempuan terkait sebagai upaya preventif untuk menghindari hal negatif (Sadd Adz-dzari’ah). Karena wajah perempuan dikhawatirkan berpotensi sebagai sumber fitnah, maka ia harus diberi cadar.
Sejarah Rasulullah saw
Dalam sejarah kehidupan Muhammad saw tidak ditemukan penjelasan memadai jika Rasulullah menetapkan pemakaian cadar bagi para isterinya. Begitu juga penjelasan dari para sahabat perempuan. Sehingga hal tersebut menunjukkan bahwa cadar, meskipun terus ada sampai setelah datangnya Islam, hanya menjadi sebatas mode pakaian yang dikenal atau dipakai sebagian perempuan.
ADVERTISEMENT
Pandangan ini dikemukakan Abdul Halim Abu Syuqqah dalam Tahrir al-Mar`ah fi ‘Ashr ar-Risalah (Pembebasan Perempuan di Era Rasul).
Lantas, bagaimana dengan isteri Rasulullah dimana ketika keluar rumah menutup seluruh anggota tubuh termasuk wajah?
Menurut Abdul Halim Abu Syuqqah, perintah ini berkaitan dengan kedudukan mereka yang berbeda dengan perempuan lain. Sebab, mereka dikhususkan dengan kewajiban memakai hijab di dalam rumah. Dan ketika keluar rumah mereka menutup seluruh anggota tubuh termasuk wajah sebagai bentuk memperluas hijab yang diwajibkan.
Baik cadar, maupun pakaian penutup kepala dan tubuh perempuan yang dikenal dengan nama hijab, sudah dikenal di kalangan bangsa kuno seperti bangsa Persia di Iran. Orang Arab justru meniru orang Persia yang memeluk Zardasyt (agama yang hidup pada masa itu). Orang-orang Persia ini dikenal punya pandangan negatif terhadap perempuan. Lantaran dianggap makhluk tidak suci, mereka diminta menutup mulut dan hidungnya. Salah satu alasannya agar napas mereka tidak mengotori api suci. Budaya berbusana masyarakat Arab juga mengikuti busana masyarakat Byzantium (Romawi), bangsa yang saat itu merupakan bangsa maju.
ADVERTISEMENT
Dalam An-Niqab Fi Syariah Al-Islam (Cadar menurut Syariat Islam) yang terbit pada 2008, tokoh Ikhwanul Muslimin, Abdul Halim Abu Syuqqah, menyatakan setuju dengan pandangan tersebut. Mantan Direktur Sekolah di Doha Qatar ini menulis jika cadar adalah salah satu jenis pakaian yang digunakan oleh sebagian perempuan pada zaman Jahiliyyah, lalu menjadi model penutup muka di kalangan perempuan muslim hingga saat ini.