Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Terima Kasih Pernah Singgah
12 Mei 2020 7:56 WIB
Tulisan dari Salsabila Jihan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sudah berapa kali sang fajar menyinari dunia kamu dan aku saat kita bersama?
ADVERTISEMENT
Aku sudah berkali-kali berjumpa dengan orang yang mempunyai karakter berbeda. Ya, menjalin hubungan sosial layaknya makluk sosial biasa, menyapa, berbincang, bersenda gurau, dan tertawa. Namun, diantara banyaknya manusia yang kutemui, kamu yang kupilih sebagai tempat untuk berkeluh kesah. Kamu yang kupilih sebagai rumah keduaku. Kamu yang kupilih untuk menemani hari-hariku.
Aku lupa, sudah berapa banyak pesan yang tercipta oleh kita sejak pertama kali aku memutuskan untuk menyapamu lewat pesan? Ribuankah? Jutaan mungkin? Yang isinya hanya pesan-pesan singkat yang sering dilontarkan orang-orang yang sedang kasmaran, seperti menanyakan kabar, menanyakan impian, warna favorit, makanan kesukaan, hingga kita kesulitan untuk mencari topik obrolan.
Aku masih ingat saat kamu membantuku mengerjakan tugas yang diberikan dosen kepadaku di depan kelas siang itu. Aku juga masih ingat saat kamu merajuk ingin menjemputku padahal kamu tahu kalau setiap pagi aku harus mengantar adikku ke sekolah.
ADVERTISEMENT
Bahkan aku masih ingat kapan dan di mana saat kamu memintaku untuk menjadi kekasih. Saat kita tertawa dan bercanda, berpegangan tangan, dan menu apa saja yang kita pilih saat kamu mengajakku makan di luar.
Tapi sekarang, kamu menghilang. Bahkan, aku sudah tidak bisa menghubungimu lagi untuk sekadar menanyakan bagaimana harimu atau bagaimana masakan ibumu hari ini. Padahal aku masih punya banyak kisah yang ingin diceritakan kepadamu. Masih banyak keluh kesah yang ingin aku sampaikan kepadamu.
Terkadang saat kamu update cerita di akunmu, rasa ingin menyapamu kian membesar. Aku hanya bisa melihatmu dalam satu media sosial. Sisanya? Aku rasa… aku hanya bisa menertawakan diriku saja.
Namun sekarang aku paham, kalau kita bukan siapa-siapa lagi. Aku kini yang menjadi orang asing bagimu dan kamu masih tetap orang yang sama bagiku. Kamu takut aku datang memporakporandakan hari-harimu lagi.
ADVERTISEMENT
Kedekatan kita dulu, sekarang hanya tinggal kenangan. Canda dan tawamu kini hanya bisa kusimpan dalam memoriku. Tapi apakah masih pantas ini disebut kenangan?
Banyak kenangan yang ingin kulupakan, namun dengan seenaknya, tanpa permisi, masuk menghantui pikiranku. Menghadirkan kembali kenangan yang ingin kusimpan rapat-rapat. Bahkan rencana-rencana yang pernah kita buat, merusak usahaku untuk melupakanmu.
Pernah, semua yang kuhadapi terasa asing saat kamu memilih untuk pergi. Aku belum bisa menerima bahwa kamu tidak lagi menganggapku ada. Namun, aku tetap berjuang untuk menghadapi jalan yang panjang ini, jalan untuk melupakanmu.
Aku rasa, aku sudah harus mengikhlaskan kita. Walau tidak mudah. Pelan-pelan saja, aku yakin bisa. Berdamai dengan diri sendiri dan hati. Meski sejujurnya yang ingin kupilih untuk menemani hari-hariku ialah kamu.
ADVERTISEMENT
Andai aku tahu jika seperti ini akhirnya, aku ingin kita tidak pernah dipertemukan.
Namun, aku tidak pernah menyesali tentang kita. Sebab kalau kita tidak pernah terjalin, aku dan kamu tidak bisa belajar bagaimana cara untuk mencintai dan merelakan.
(Salsabila Jihan - Politeknik Negeri Jakarta)