Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengejar Kesuksesan: Apakah Budaya Hustle Membantu atau Merugikan Kita?
10 Desember 2024 13:59 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari SALWA FITRIAH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hustle Culture— dikenal dengan slogan populernya “grind now, shine later,” telah menjadi simbol kerja keras di era modern ini khususnya di kalangan Generasi Z. Budaya ini mempromosikan keyakinan bahwa kesuksesan hanya bisa dicapai melalui kerja tanpa henti dengan dedikasi penuh. Namun, apakah hustle culture benar-benar strategi yang menjanjikan untuk masa depan? atau justru menjadi racun yang merusak kesejahteraan diri?. Menurut Balkeran (2020), hustle culture memberikan ilusi bahwa pengorbanan ekstrem adalah satu-satunya jalan menuju pencapaian besar. Di dunia yang semakin kompetitif ini, hustle culture sering kali dianggap sebagai landasan untuk meraih kesuksesan, baik secara finansial maupun profesional.
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian orang, hustle culture adalah motivasi yang mengajarkan nilai ketekunan dan fokus, sehingga dapat memberikan rasa kontrol atas pencapaian karier. Artinya, individu didorong untuk terus bekerja keras dengan mengorbankan waktu dan mengabaikan kesehatan dengan keyakinan bahwa ini adalah harga yang pantas dibayar untuk masa depan yang lebih baik. Hustle culture berhasil menciptakan narasi bahwa mereka yang bekerja lebih keras akan mendapat imbalan yang lebih besar— dalam bentuk finansial maupun pengakuan sosial (Balkeran, 2020).
Meski demikian, semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa mengejar kesuksesan secara berlebihan justru memberikan dampak buruk bagi siapapun yang menjalankannya. World Health Organization (2021) melaporkan bahwasanya orang yang bekerja lebih dari 55 jam per minggu memiliki risiko 35% lebih tinggi terkena stroke dan 17% lebih tinggi mengalami penyakit jantung. Selain itu, dalam penelitian yang ditulis oleh Gallup pada tahun 2022 menunjukkan bahwa terdapat 44% pekerja mengalami burnout akibat budaya kerja ekstrem tersebut. Meskipun hustle culture dapat menghasilkan pengakuan sosial berupa apresiasi atas kerja keras dan dedikasinya yang tampak di mata orang lain, tetapi pada jangka waktu yang lebih panjang bisa berbalik menjadi kerugian yang tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik tetapi juga mental.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan dari Forbes (2023), terdapat lebih dari 60% pekerja muda merasa tekanan untuk bekerja keras tiada henti karena pengaruh media sosial yang terus menampilkan kehidupan orang lain yang tampak sukses berkat kerja keras mereka. Hal ini kemudian semakin memperburuk mentalitas individu yang terkadang tidak ”realistis” dalam mencapai kesuksesan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Perlow dan Porter pada tahun 2020 menunjukkan bahwa, meskipun individu dalam hustle culture merasa lebih produktif, namun sebenarnya mereka justru mengalami penurunan dalam kualitas pekerjaan karena terjebak dalam rutinitas yang monoton yang cenderung tidak memiliki waktu untuk beristirahat. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun bekerja keras menjadi salah satu kunci kesuksesan, waktu untuk refleksi dan pemulihan juga menjadi penting untuk menjaga kualitas dan efektivitas kerja.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, hustle culture bisa menjadi motivasi untuk sebagian orang ketika pekerja merasa termotivasi untuk terus berjuang ketika mereka melihat hasil dari upaya keras yang telah mereka lakukan. Sehingga kemudian menjadi lebih percaya diri dan merasa puas atas pencapaian mereka meskipun banyak hal yang mereka korbankan di balik pencapaian tersebut. Dengan semakin banyaknya penelitian yang mengungkapkan dampak buruk hustle culture dan mindset masyarakat yang semakin kritis, banyak yang mulai mempertanyakan apakah sebenarnya hustle culture benar-benar memberikan kebahagiaan jangka panjang, atau justru hanya memuaskan kebutuhan sosial dan material sementara?
Tak bisa dipungkiri, teknologi digital saat ini memainkan peran penting dalam memperkuat narasi hustle culture. Pada platform media sosial X, tak sedikit penggunanya yang mengunggah pencapaian profesional mereka yang menunjukkan hal tersebut merupakan hasil dari “kerja keras” tanpa henti yang mereka lakukan. Biasanya pengguna membagikan bagaimana mereka bergelut dengan pekerjaannya selama berjam-jam tanpa istirahat dan membuat narasi bahwa “usaha kerja keras akan membuahkan hasil”. Hashtag #GrindTime yang kerap digunakan oleh pengguna dengan menganut hustle culture terbukti mendapatkan perhatian bagi siapa saja yang melihat unggahan tersebut— memperkuat narasi bahwa “kerja keras adalah kunci kesuksesan”.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan Marxisme, hustle culture dianggap sebagai manifestasi dari eksploitasi kelas pekerja, di mana tenaga kerja yang diinvestasikan oleh pekerja tidak sepenuhnya kembali kepada mereka dalam bentuk kesejahteraan. Budaya ini mendorong pekerja untuk bekerja secara berlebihan dengan iming-iming “kesuksesan” atau “pengakuan sosial”, padahal manfaat dari hustle culture yang dilakukan oleh pekerja pada akhirnya yang menikmati adalah kelas borjuis melalui akumulasi nilai surplus yang dilakukan oleh pekerja— memperkuat kesenjangan kelas.
Dilansir dari laman artikel sociology learners terkait “theory of surplus value”, tertulis bahwa Marxis melihat adanya hubungan kapitalis yang terjadi melalui proses akumulasi nilai surplus. Nilai surplus sendiri didefinisikan sebagai keuntungan yang diperoleh pemilik modal dari tenaga kerja, tetapi para pekerja mendapatkan upah/gaji yang tidak setara dengan nilai yang mereka hasilkan. Marx juga mengatakan bahwa kapitalisme memunculkan persaingan antar pekerja— menciptakan alienasi sesama manusia akibat dari persaingan untuk mencapai pengakuan sosial.
ADVERTISEMENT
Parahnya lagi, pekerja yang menganut budaya hustle culture dapat teralienasi dari diri sendiri. Ketika pekerja hanya berorientasi pada “pencapaian” dan “pengakuan sosial”. Mereka akan mengabaikan kebutuhan dasar mereka sebagai manusia seperti beristirahat dan pentingnya menjaga kesehatan fisik maupun mental. Dengan demikian, kritik Marxis terhadap kapitalisme memperlihatkan bagaimana hustle culture berkontribusi pada siklus ketimpangan kelas yang terus-menerus terjadi serta terpisahnya pekerja dari kehidupan sosialnya.
Meski begitu, hustle culture tetap memiliki sisi positif— mengajarkan kita tentang pentingnya tekad, kerja keras dan ketekunan untuk mencapai tujuan. Hustle culture memainkan peran sentral dalam memberikan dorongan individu untuk meningkatkan keterampilan, mencari peluang baru dan membuktikan bahwa mereka dapat meraih kesuksesan di usia dini bagi kalangan Generasi Z. Namun, apakah dorongan ini cukup untuk menjamin kebahagiaan dan kepuasan jangka panjang?
ADVERTISEMENT
Bagaimana Cara Mengatasi Hustle Culture?
ADVERTISEMENT
Meskipun, hustle culture mengajarkan nilai-nilai positif dalam bekerja untuk mencapai kesuksesan, namun kesejahteraan jangka panjang menjadi masalah utama yang perlu diperhatikan. Untuk itu, penting untuk menyeimbangkan kerja dan istirahat, menghindari perbandingan dengan orang lain serta mempraktikkan mindfulness untuk menjaga keseimbangan fisik dam mental. Mempertimbangkan kesejahteraan pribadi sebagai prioritas utama dalam menjalani karier menjadi penting untuk menghindari dampak negatif jangka panjang.
Daftar Pustaka
Balkeran, A. (2020). Hustle Culture and the Implications for Our Workforce. CUNY Acad
emic Works. From https://academicworks.cuny.edu/bb_etds/101/
Forbes. (2023). The impact of social media on young workers: The pressure to work hard without rest. Forbes. Retrieved from https://www.forbes.com
Perlow, L., & Porter, J. (2020). The burnout paradox: How excessive work culture reduces productivity. Journal of Work and Health, 33(2), 45-58. From https://www.journals.sagepub.com
ADVERTISEMENT
Sociology Learners. (n.d.). Marx theory of alienation. From https://www.sociologylearners.com/marx-theory-of-alienation
World Health Organization. (2021). Long working hours and its effects on health. WHO Press. From https://www.paho.org/en/news/17-5-2021-long-working-hours-increasing-deaths-heart-disease-and-stroke-who-ilo
Sociology Learners. (n.d.). Marx theory of alienation. From https://www.sociologylearners.com/marx-theory-of-alienation