Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cerpen: Penyesalan Hidup
18 Desember 2021 13:36 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Salwa Rulla Darmawan Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Namaku Ainan. Orang-orang mengenal aku sebagai pemilik pribadi yang ceria. Ternyata tidak begitu. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada hidup aku atau aku yang harus berjuang di tengah rasa sesal yang terus menyerang hidupku. Entahlah rasanya aku ingin menyerah. Tapi jika menyerah sama saja aku kalah. Kalah dari kehidupan yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan.
ADVERTISEMENT
Sekarang aku ingin membagikan sama kalian tentang penyesalan aku. Agar kalian tidak merasakan hal yang sama. Inilah kisahku.
“Kamu itu jangan jajan mulu. Ayah perhatikan kamu sering sekali beli barang-barang tidak berguna dan berakhir di tempat sampah. Daripada kamu jajan-jajan tidak jelas, lebih baik uang itu ditabung lewat ayah.”
“Nabung ke ayah? Ayah mau merampok aku secara tidak langsung?”
“Kamu itu selalu saja bantah omongan ayah. Kalau ibu kamu yang minta uang saja, tanpa mikir lagi pasti kamu langsung kasih.”
Aku hanya bisa mendengus. Hatiku sudah tertutup awan hitam. Kelakuan ayah selama ini sudah membuatku buta dan menganggap ayah itu jahat. Dengan segala kekesalan aku memandang tajam ayah, “kalau ayah mau uang itu bilang saja. Jangan malah bawa-bawa ibu.”
ADVERTISEMENT
Ayah balik mendengus kemudian menatap aku tajam, “mungkin selama ini sikap ayah salah sama kamu. Jadi maafin ayah tapi ayah harap kamu nggak memendam rasa benci itu terlalu dalam untuk ayah. Kalau selama ini kamu juga terganggu dengan sikap ayah, sekali lagi ayah minta maaf. Ayah tidak bermaksud begitu.”
“Memang. Aku benar-benar terganggu sama sikap ayah.”
“Ainan,” suara bundanya menyadarkan aku. Seolah memberi tahu perempuan itu untuk diam.
Namun aku menutup telinga dan balik menatap tajam tubuh ringkih ayah, “sudah cukup yah. Aku cape. Lebih baik aku kerja di luar kota daripada harus lihat ayah marah-marah terus."
"Nak."
Aku menarik napas dalam dan meninggalkan ayah begitu saja.
***
Setelah perseteruan terakhir itu, aku tidak pernah mendengar lagi kabar ayahku. Aku memilih pergi keluar kota tanpa izin ayahku. Tiga tahun lamanya, aku bekerja di luar kota tanpa pulang ke rumah. Entah aku sampai lupa berapa kali ibu dan ayahku terus menelepon dan berakhir aku diamkan sampai telepon itu mati sendiri. Aku tidak pernah memikirkan banyak hal, yang aku rasakan aku hanya hidup bahagia saja tanpa kehadiran orang tuaku.
ADVERTISEMENT
Sampai suatu hari, aku terserang demam hebat. Berkunjung ke dokter juga tidak kunjung membaik, “apa aku pulang saja?” pikirku dalam suatu malam.
Akhirnya dengan menyewa mobil dan sopir aku memantapkan hati
untuk pulang ke rumah. Berharap mendapat maaf dari ayah dan ibu.
“Bagaimana kalau ayah tidak memaafkanku? Bagaimana kalau ayah merasa kurang dengan uang kiriman aku setiap bulannya dan jadi marah saat nanti lihat aku?” Aku terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan menimpaku.
Dua jam lamanya aku berada di antara kerumunan mobil-mobil, sampai akhirnya aku tiba di sebuah rumah yang sangat aku rindukan. Sebuah rumah yang menciptakan kenangan indah maupun buruk. Sebuah rumah yang menjadi saksi tumbuh kembang hidupku.
Dengan rasa haru yang luar biasa aku memasuki rumah, namun gelap. Seperti tidak ada kehidupan di dalam rumah. Dengan kepanikan yang luar biasa aku memasuki semua kamar dan akhirnya menarik napas lega saat mendapati ibu meringkuk di balik selimut.
ADVERTISEMENT
“Ibu?”
Ibu berbalik dan tersenyum lirih. Tubuh ringkihnya menggapaiku membuat aku menghampur kepelukan ibu, “kenapa baru pulang sekarang nak? Setelah ayahmu sudah pergi,” ucapnya lirih. Benar-benar lirih. Sampai aku harus bertanya lagi, tapi jawaban ibu membuat pelukanku mengendur dan perlahan jalan mundur.
“Maksud ibu apa?”
Ibu tidak menjawab, tapi mengambil sebuah kertas di bawah bantal. “Mungkin ayahmu terlalu keras mendidikmu. Tapi percayalah, semua itu demi kebaikan kamu. Kalian hanya berselisih paham.”
“Ibu bohong kan?” Tanyaku masih tidak percaya.
“Kamu baca saja surat itu dan buka buku tabungan yang ayahmu titipkan ke ibu untukmu. Setelah kamu tenang ibu akan ajak kamu ke makam ayahmu,” aku masih diam. Tidak tahu harus menjawab apa, namun ucapan ibu membuat aku menangis dengan kencang, “bahkan ayahmu menghembuskan napas terakhir setelah mengatakan rindu padamu.”
ADVERTISEMENT
***
Untuk anak ayah tersayang,
Bagaimana kabar kamu nak? kamu baik-baik saja kan? sejujurnya ayah khawatir sama kamu karena tidak pernah mendengar kabar kamu sama sekali. Ingin rasanya ayah mendatangi tempat tinggalmu, tapi ayah tidak mau lagi menyusahkan kamu.
Oh iya nak, maaf kalau kamu merasa ayah cuman beban untuk hidupmu. Tapi yakinlah kalau semua perbuatan ayah itu untuk kebaikanmu juga. Ayah tidak mau kamu berakhir seperti kakak kamu yang harus terpaksa menikah muda karena pergaulan bebas.
Ayah tidak bermaksud membuat kamu membenci ayah. Ayah juga tidak bermaksud untuk membuat kamu hidup dengan kekangan ayah. Sudahlah, ayah tidak mau melihat kebelakang lagi. Karena ayah rasa kamu sudah hidup bahagia saat ini. Semoga kamu akan dan selalu hidup bahagia ada ataupun tidak adanya ayah.
ADVERTISEMENT
Ayah tidak mau cerita panjang lagi, karena jujur saja untuk menulis tangan ayah sudah gemetar. Dada ayah sakit. Ingin rasanya sebelum dibawa Tuhan ayah bertemu dengan kamu dulu. Namun kamu tidak mau mengangkat panggilan ayah. Setidaknya kamu tidak usah melihat ayah, kamu berbincang saja sama ibumu, kasihan dia. Tiap harinya harus memendam rindu padamu.
Oh iya, ayah ingin memberimu buku tabungan. Itu semua uang untukmu. Ayah sengaja menyimpan semua kirimanmu dan ayah akan kembalikan untukmu lagi. Ayah tidak butuh uang kamu, yang ayah butuhkan hanya pelukanmu. Sudah ya, nak. Ayah sudah tidak sanggup lagi menulis. Bahagia terus anak ayah tersayang.
Dari ayahmu yang terus merindukan anak bungsunya
Seketika air mata turun dari mataku, dengan mata kabur aku membuka buku tabungan. Jumlah uang yang besar menyapa mataku, membuat aku semakin menangis. Rasanya aku ingin menyalahkan diriku sendiri. Rasanya aku ingin memarahi diriku sendiri.
ADVERTISEMENT
Sekarang aku menyesal, benar-benar menyesal akan sikapku yang jahat pada ayahku. Ingin rasanya mengulang hidup kembali. Namun tidak mungkin. Aku hanya ingin mengatakan pada semua orang kalau kita harus tetap baik bagaimanapun orang tua bersikap. Karena kita tidak tahu alasan di balik perbuatan orang tua.
Hidup dengan penuh penyesalan sangatlah tidak menyenangkan. Jadi, sekali lagi aku ingatkan agar kalian semua dapat menyayangi orang tua kalian bagaimanapun sikap mereka.