Konten dari Pengguna

Ekonomi di Balik Fenomena Boneka Labubu: Analisis Permintaan dan Penawaran

Salwa Aulia
Mahasiswi aktif UIN Syarif Hidayatullah Jakarta fakultas Ekonomi dan Bisnis prodi Ekonomi Pembangunan
17 Oktober 2024 19:50 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Salwa Aulia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Boneka Labubu. Kredit foto: Salwa Aulia
zoom-in-whitePerbesar
Boneka Labubu. Kredit foto: Salwa Aulia
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Boneka Labubu adalah fenomena mainan yang sangat populer saat ini, terutama dikalangan para kolektor. Boneka yang dijual melalui perusahaan Pop Mart ini didirikan oleh miliarder muda Wang Ning. Boneka ini dikenal dengan desainnya yang khas, dengan bentuk kepala besar, mata bulat dan ekspresi wajah yang beragam. Labubu ini memiliki karakter dan cerita tersendiri yang menambah daya tariknya.
ADVERTISEMENT
Strategi penjualan boneka Labubu yang inovatif seperti "blind box" juga melibatkan rasa minat di kalangan konsumen. Fenomena ini tidak hanya mendorong permintaan, tetapi juga menciptakan efek domino. Semakin banyak orang yang memiliki dan memamerkan koleksi mereka, semakin banyak pula yang tertarik untuk memilikinya karena rasa ekslusivitasnya, menjadi buruan para kolektor.
Dari sisi ekonomi, tren ini mencerminkan kekuatan pemasaran berbasis FOMO (Fear of Missing Out), kepopuleran boneka karakter ini meledak saat Lisa BLACKPINK mengunggah di instagram pribadinya pada April 2024. Postingan tersebut menarik perhatian banyak orang khususnya di Thailand hingga secara bertahap kepopulerannya menyebar ke Indonesia, Singapura, Malaysia dan negara Asia lainnya.
Pada tren boneka Labubu ini, FOMO memainkan peran yang sangat penting dalam mendorong popularitas. Dengan menciptakan rasa ekslusivitas, memanfaatkan pengaruh media sosial, dan memberikan elemen kejutan, produsen berhasil memicu Emotional Buying di mana konsumen membeli produk berdasarkan dorongan emosional, bukan tentang kebutuhan untuk memiliki boneka tersebut. Bagi konsumen, FOMO dapat menjadi motivasi untuk membeli, namun juga menimbulkan stress dan kecemasan jika tidak terkendali.
ADVERTISEMENT
Teknik pemasaran boneka Labubu yang memanfaatkan kelangkaan produk atau Scarcity Marketing untuk meningkatkan daya tarik menjadi kunci dalam strategi pemasaran boneka Labubu. Hal ini dilakukan Pop Mart sebagai Official Shop untuk memproduksi dan mendistribusikan Labubu dalam jumlah terbatas yang menciptakan rasa urgen bagi penggemar untuk membelinya. Rasa urgen yang diciptakan membuat penggemar rela antri berjam-jam untuk mendapatkan boneka tersebut.
Ketersediaan boneka Labubu yang tebatas dengan tingginya permintaan menyebabkan harga melonjak naik. Produk yang cenderung langka dianggap lebih berharga dan eksklusif. Ini membuat konsumen bersedia membayar lebih untuk mendapatkan produk tersebut, karena mereka merasa memiliki sesuatu yang unik dan tidak dimiliki oleh banyak orang.
Namun, pada akhirnya kekhawatiran terkait konsumerisme yang berlebihan di mana pembelian tidak didasarkan pada kebutuhan nyata melainkan keinginan untuk terlihat relevan secara sosial yang selanjut akan menciptakan konsumen yang impulsive dan compulsive buying. Impulsive buying yaitu suatu kebiasaan membeli tanpa memikirkan manfaat dan kebutuhan sebenarnya, sedangkan compulsive buying yaitu kecenderungan membeli barang untuk mendapatkan pengakuan.
ADVERTISEMENT