Konten dari Pengguna

Paradoks Lulusan SMK: Mengapa Pendidikan Vokasi Belum Menjamin Lapangan Kerja?

Salwa Aprilia Khalishah
Salwa Aprilia Khalishah, mahasiswa Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
12 Desember 2024 15:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
82
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Salwa Aprilia Khalishah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber : Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia, termasuk di wilayah industri seperti Kota Tangerang, menghadapi tantangan serius dalam memasuki dunia kerja. Padahal, SMK dirancang khusus untuk mempersiapkan siswa dengan keterampilan teknis yang siap diterapkan di lapangan, sesuai dengan kebutuhan industri. Namun, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan SMK di tahun 2022 mencapai 10,38%, angka yang lebih tinggi dibandingkan lulusan SMA dan perguruan tinggi. Fakta ini memunculkan pertanyaan besar: Mengapa lulusan SMK, yang seharusnya sudah terlatih dan siap kerja, masih kesulitan mendapatkan pekerjaan? Masalah ini menggarisbawahi perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pendidikan vokasi di Indonesia, terutama dalam hal relevansi dan daya serap tenaga kerja di sektor-sektor industri yang menjadi target utama lulusan SMK.
ADVERTISEMENT
Salah satu penyebab utama dari kesenjangan antara lulusan SMK dan kebutuhan industri adalah ketidaksesuaian antara kurikulum yang diajarkan di sekolah dengan keterampilan yang dibutuhkan di lapangan. Meskipun kurikulum SMK dirancang untuk mempersiapkan siswa secara langsung memasuki dunia kerja, sering kali terdapat perbedaan signifikan antara apa yang dipelajari di sekolah dengan tuntutan nyata dari industri, yang terus berkembang dengan cepat. Misalnya, perkembangan teknologi industri yang pesat di bidang manufaktur, otomotif, dan teknologi informasi tidak selalu tercermin dalam materi pelajaran yang diterima siswa di SMK. Pembaruan kurikulum yang lambat dan tidak fleksibel membuat lulusan SMK kekurangan keterampilan teknis yang up-to-date dan diminati perusahaan. Akibatnya, lulusan SMK sering kali dianggap tidak siap untuk langsung berkontribusi dalam operasi industri yang menuntut keterampilan khusus, sehingga mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak atau sesuai dengan bidang keahlian yang telah dipelajari selama di sekolah.
ADVERTISEMENT
Selain ketidaksesuaian kurikulum, kualitas tenaga pengajar di SMK juga menjadi isu yang signifikan. Banyak pengajar SMK, meskipun memiliki latar belakang akademis yang baik, tidak selalu memiliki pengalaman praktis yang mendalam di industri terkait. Hal ini berakibat pada kurangnya pemahaman kontekstual dalam mengajarkan keterampilan teknis yang relevan dengan tuntutan dunia kerja saat ini. Guru-guru yang seharusnya menjadi jembatan antara teori di kelas dan aplikasi praktis di lapangan sering kali kesulitan memberikan pengajaran yang sesuai dengan standar industri karena minimnya pengalaman lapangan. Hal ini semakin diperparah oleh keterbatasan fasilitas praktik di banyak SMK, yang sering kali tidak memadai atau ketinggalan zaman. Dengan keterbatasan sumber daya ini, siswa tidak mendapatkan pengalaman praktis yang memadai untuk bersaing di pasar tenaga kerja yang kompetitif. Kondisi ini menyebabkan lulusan SMK tidak cukup siap menghadapi tantangan industri yang menuntut keahlian tingkat tinggi.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, tantangan bagi lulusan SMK juga muncul dari minimnya keterlibatan dunia industri dalam proses pendidikan vokasi itu sendiri. Meski pemerintah telah mengupayakan kebijakan "link and match" antara sekolah vokasi dan industri, implementasinya masih jauh dari harapan. Idealnya, industri harus terlibat langsung dalam merancang kurikulum, memberikan pelatihan, dan menyediakan program magang bagi siswa SMK. Namun, dalam praktiknya, keterlibatan ini masih sangat terbatas. Banyak perusahaan belum melihat kemitraan dengan SMK sebagai investasi jangka panjang yang menguntungkan, sehingga mereka enggan menyediakan sumber daya untuk program magang atau pelatihan. Padahal, jika dunia industri lebih aktif dalam mendukung pendidikan vokasi, lulusan SMK akan memiliki keterampilan yang lebih relevan dan siap digunakan begitu mereka lulus. Selain itu, program magang yang efektif juga dapat menjadi pintu masuk bagi lulusan SMK untuk langsung diterima bekerja di perusahaan tempat mereka berlatih.
ADVERTISEMENT
Penelitian yang dilakukan untuk meneliti faktor-faktor pengangguran lulusan SMK di Kota Tangerang ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi kepada pemerintah, sekolah, dan industri untuk memperkuat kolaborasi dalam meningkatkan keterampilan lulusan. Reformasi kurikulum, peningkatan kualitas tenaga pengajar, dan memperkuat keterlibatan dunia industri menjadi beberapa solusi yang diharapkan dapat membantu lulusan SMK lebih mudah terserap di dunia kerja. Sebagai upaya jangka panjang, kebijakan yang lebih proaktif dalam menciptakan link and match antara SMK dan dunia usaha menjadi krusial untuk memastikan bahwa lulusan SMK tidak hanya terampil, tetapi juga siap menghadapi tantangan pasar tenaga kerja yang terus berubah.