Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Dampak Proxy War di Suriah : Amerika Serikat vs Rusia
24 Oktober 2022 9:07 WIB
Tulisan dari Salwa Salsabila Azzahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah berakhirnya perang dingin, negara-negara mulai mengganti bentuk kekuatannya yang semula berpusat pada kekuatan militer, menjadi menyebar pada kekuatan-kekuatan lain seperti ekonomi, sosial, politik, budaya dan juga teknologi. Kepentingan nasional negara-negara menjadi beragam. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka negara-negara mulai berinisiatif untuk membuat aliansi-aliansi yang bertujuan untuk mencapai kepentingan bersama serta berlomba-lomba untuk menunjukkan kekuatannya di dunia internasional. Tidak jarang kegiatan ini melibatkan suatu wilayah atau negara lain yang strategis sebagai tempat ajang untuk bersaing. Tidak jauh berbeda dari era Perang Dingin, bentuk persinggungan antara kedua negara ini bisa digambarkan seperti “lethal injection” tampak lebih halus namun mematikan. Racunnya adalah Proxy war. Singkatnya Proxy war adalah peran pihak ketiga bagi dua negara yang memiliki kepentingan masing-masing tanpa mau terlibat secara langsung dalam perang berdarah dan mengeluarkan biaya mahal yang menyebabkan negara yang berperan sebagai pihak ketiga menanggung kerugiannya (Mumford, 2013). Mengapa ini kemudian dipermasalahkan? Tentu saja karena dampak yang ditimbulkannya. Dampak yang ditimbulkan oleh Proxy war terhadap Negara pihak ketiga sangat besar dan mematikan.
ADVERTISEMENT
Negara-negara pihak ketiga yang dipilih sebagai arena unjuk kekuatan ini sering sekali merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam dan mempunyai konflik internal, salah satunya adalah Suriah. Konflik Suriah bermula ketika muncul pergolakan sosial pada Maret 2011. Pergolakan ini merupakan gerakan anti pemerintah yang terinspirasi dari peristiwa ‘Arab Spring’ yang sedang terjadi di Timur Tengah. Gerakan pemberontakan ini menuntut agar rezim pemerintahan yang dipimpin oleh Bashar Al-Assad segera digulingkan agar tercipta pemerintahan yang lebih demokratis (Mudore & Safitri, 2019). Rezim Assad melawan gerakan ini. Ketika perlawanan makin intens dan memanas, rezim Assad mulai melancarkan serangan militer untuk mempertahankan pemerintahannya. Saat itu, ada empat kelompok yang terlibat dalam konflik Suriah, yaitu: rezim pemerintahan Assad sendiri, pihak oposisi, jihadis, dan yang tidak kalah penting adalah intervensi dari luar yaitu Amerika Serikat dan Rusia beserta sekutunya. Kelompok oposisi pemerintah, terdiri dari faksi-faksi Islam seperti Ahrar al-Sham dan Faylaq Alsham dan jihadis Front Fateh Al-Sham (sebelumnya Front Al-Nusra, berafiliasi dengan Al-Qaeda) yang bersatu ke dalam sebuah kelompok ‘The Army Conquest’ (Mudore & Safitri, 2019).
ADVERTISEMENT
Konflik ini diperparah oleh intervensi negara asing yaitu Amerika Serikat dan Rusia yang sama-sama memiliki kepentingan. Dengan dalih menentang rezim Assad yang diklaim semena-mena terhadap kekuatan militernya melawan oposisi sehingga menimbulkan korban sipil, Amerika Serikat maju menentang pemerintah Suriah yang sah. Namun di sisi lain, Rusia beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh rezim Assad dalam mempertahankan pemerintahannya sudahlah tepat (Finaldin, 2019). Seperti yang kita ketahui, Rusia dan Suriah sudah lama menjalin hubungan bilateral yang kuat. Kedua negara memiliki bisnis perdagangan senjata sejak tahun 1972 dan Suriah juga memberikan izin kepada Rusia untuk mendirikan pangkalan militer di daerah Pesisir Tartus yang dimanfaatkan oleh Suriah untuk menangkis serangan militer dari pihak oposisi. Atas dasar kepentingan inilah Rusia bersama sekutunya membela pemerintahan Suriah (Mudore & Safitri, 2019).
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Amerika Serikat bersama sekutunya yaitu negara-negara aliansi NATO dan Arab Saudi mendukung pihak gerakan oposisi dari rezim Assad. Amerika menganggap serangan balik dari rezim Assad sudah memakan banyak korban sehingga melanggar HAM. Amerika Serikat bersama sekutunya kemudian berusaha untuk membawa kasus ini ke pengadilan internasional. Namun Rusia menggunakan hak vetonya di dewan keamanan PBB dengan alasan agar pemerintahan Rusia tidak jatuh ketangan para oposisi (Finaldin, 2019). Jika dibandingkan antara Rusia dan Amerika, Rusia sebenarnya lebih banyak memiliki kepentingan di Suriah. Ada setidaknya dua alasan Amerika melakukan intervensi terhadap Suriah. Pertama, Amerika ingin tetap mendapatkan suplai minyak murah dari Timur Tengah di mana Suriah memiliki peranan penting di Timur Tengah. Kedua, seperti yang selalu dilakukan Amerika dan aliansinya NATO, mereka ingin memperluas pengaruhnya di Timur Tengah karena wilayah ini sangat strategis dan kaya akan sumber daya alamnya. Rusia yang sudah dari dahulu berseberangan dengan NATO, tidak menyukai perluasan pengaruh ini sehingga mereka gencar untuk mempertahankan pemerintahan Suriah sekuat mungkin. Posisi Suriah sebagai negara ketiga atau medan proxy war, banyak mengalami dampak kerugian, diantaranya sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
1. Ekonomi
Konflik berkepanjangan membuat Suriah harus menghadapi kenyataan bahwa output ekonomi dan kebebasan berekonomi mereka terancam. Menurut data yang diakses dari 2022 Index of Economic Freedom, biaya ekonomi dari konflik Suriah melebihi $1 triliun, termasuk PDB agregat yang hilang karena konflik dan biaya rekonstruksi di masa depan. Sebelum adanya perang, angka kemiskinan menyentuh angka 28%, setelah terjadinya perang angka kemiskinan di Suriah meningkat drastis menjadi 80% secara keseluruhan. Selain itu, menurut pihak berwenang Suriah, sektor minyak dan gas sejak 2011 kehilangan sekitar US$ 74 miliar (Rp 1,014 triliun). Lebih lanjut PBB memperkirakan biaya kerusakan keseluruhan hampir US$ 400 miliar (Rp 5,482 triliun) (Arbar, 2020). Dampak sosial dan ekonomi dari konflik ini juga besar dan terus bertambah. Kurangnya akses berkelanjutan ke perawatan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan makanan telah memperburuk dampak konflik dan mendorong jutaan orang ke dalam pengangguran dan kemiskinan (worldbank, 2021).
ADVERTISEMENT
2. Pendidikan
Krisis di Suriah telah berdampak buruk pada pendidikan, lebih dari 7.000 sekolah rusak atau hancur dan sekitar 2 juta anak putus sekolah. Banyak dari anak-anak ini adalah yang paling rentan, termasuk mereka yang baru mengungsi karena ketidakamanan. Menurut UNICEF ada tantangan bagi mereka dalam mengusahakan pendidikan bagi anak-anak yang terdampak konflik Suriah. Pertama, Semakin banyak generasi anak-anak yang tidak pernah bersekolah dan akan menghadapi kesulitan dalam mendaftar dan menyesuaikan diri di sekolah formal seiring bertambahnya usia. Kedua, kenaekaragaman pengungsi, kurangnya ruang belajar, kesulitan ekonomi dan masalah perlindungan tetap menjadi kendala dan hambatan bagi pemenuhan hak atas pendidikan bagi anak-anak di Suriah. Ketiga, mereka yang bersekolah menghadapi tantangan sehari-hari berupa ruang kelas yang penuh sesak, luka psikologis akibat pengalaman traumatis, kemungkinan masalah kurikulum dan bahasa, kualitas pengajaran yang tidak memadai dan kurangnya bahan pembelajaran. Faktor-faktor ini meningkatkan resiko putus sekolah. Keempat, kurangnya transportasi umum bagi guru dari lokasi atau tempat penampungan mereka ke sekolah tempat mereka mengajar (UNICEF, 2018). Banyak keluarga Suriah menganggap bahwa berinvestasi dalam pendidikan untuk anak-anak mereka tidaklah praktis, kurangnya kohesi di sektor ini akan memperburuk kondisi. Keluarga akan semakin beralih ke pekerja anak dan pernikahan dini untuk stabilitas keuangan (Bradbury, 2020).
ADVERTISEMENT
3. Krisis Kemanusiaan
Sejak konflik Suriah secara resmi dimulai pada 15 Maret 2011, keluarga-keluarga di Suriah telah menderita di bawah konflik brutal yang telah menewaskan ratusan ribu orang, menghancurkan infrastruktur Negara, dan menghancurkan standar hidup yang sudah ada selama beberapa dekade. Hampir 13,000 telah terbunuh dan cedera sejak konflik dimulai. Sejauh ini, setelah sebelas tahun konflik, kebutuhan kemanusiaan warga Suriah terus mencapai rekor tertinggi. Lebih dari satu dekade, konflik dan pengungsian diperparah oleh dampak COVID-19, kekeringan yang menghancurkan, dan sekarang ekonomi yang runtuh membuat jutaan warga Suriah rentan berjuang untuk bertahan hidup. Situasi ekonomi telah berkontribusi pada mencatat tingkat kerawanan pangan, 60% dari populasi sekarang menghadapi kerawanan pangan.
ADVERTISEMENT