Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Emotional Eating: Mengapa Stres dan Sedih Membuat Kita Ingin Terus Makan?
2 Desember 2024 16:54 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Saly Afwa Ramadhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda ingin makan hanya untuk mencari kenyamanan saat sedang stres atau sedih? Nah, fenomena ini disebut emotional eating, loh! Banyak orang yang mengalami hal ini tanpa menyadarinya. Padahal, hal tersebut dapat memengaruhi kesehatan fisik dan mental. Lalu, bagaimana siklus emotional eating itu terjadi? Yuk, simak artikel ini selengkapnya.

Emotional eating adalah suatu kebiasaan makan yang dipicu oleh emosi, bukan karena rasa lapar fisik. Biasanya, seseorang makan untuk meredakan perasaan stres, kesedihan, atau kecemasan. Fenomena ini menjadi perhatian masyarakat karena sering kali melibatkan konsumsi makanan tinggi gula atau lemak yang memberikan rasa nyaman sesaat.
ADVERTISEMENT
Menurut penelitian, emotional eating sering muncul sebagai respons adaptif terhadap tekanan psikologis, meskipun dampaknya cenderung merugikan dalam jangka panjang (Van Strien, 2018). Selain itu, emotional eating juga dapat dipengaruhi oleh faktor biologis seperti hormon kortisol yang dilepaskan tubuh saat stres. Hal ini dapat meningkatkan keinginan untuk mengonsumsi makanan tertentu.
Menggunakan makanan sebagai hadiah atau cara merayakan sesuatu sebenarnya bukanlah hal yang buruk. Namun, jika makan menjadi mekanisme utama untuk menghadapi emosi misalnya, setiap kali merasa stres, kesal, marah, kesepian, lelah, atau bosan Anda langsung membuka kulkas, hal ini dapat menjadi siklus yang tidak sehat. Dalam situasi seperti ini, perasaan atau masalah yang mendasari sering kali tidak pernah benar-benar terselesaikan.
Rasa lapar emosional tidak akan terpuaskan dengan makanan. Memang, makan mungkin memberikan kenyamanan sesaat, tetapi emosi yang memicunya akan tetap ada. Lebih parahnya, Anda mungkin justru merasa lebih buruk setelahnya, karena menyadari telah mengonsumsi kalori yang sebenarnya tidak diperlukan. Rasa bersalah akibat merasa kurang disiplin atau tidak memiliki kemauan yang kuat sering kali muncul, yang justru memperburuk keadaan.
ADVERTISEMENT
Masalah ini juga dapat berdampak lebih jauh seperti, Anda menjadi sulit menemukan cara yang lebih sehat untuk menghadapi emosi, kesulitan mengendalikan berat badan, dan merasa semakin tidak berdaya terhadap makanan maupun perasaan Anda sendiri. Meski begitu, kondisi ini bukan berarti tidak bisa diubah. Anda tetap memiliki kesempatan untuk melakukan perubahan positif. Anda bisa keluar dari siklus emotional eating ini dengan belajar menghadapi emosi secara lebih sehat, menghindari pemicu, mengelola keinginan, dan memahami diri sendiri.
Penyebab Emotional Eating
Emosi negatif seperti stres, kesedihan, atau frustrasi sering kali menjadi faktor utama emotional eating. Makanan dianggap sebagai mekanisme pelarian untuk meredakan perasaan ini. Namun, solusi ini hanya sementara dan sering kali memperburuk situasi emosional seseorang.
ADVERTISEMENT
Hormon seperti dopamin dan kortisol berperan penting dalam pola emotional eating. Ketika stres, tubuh melepaskan kortisol yang dapat meningkatkan nafsu makan, terutama terhadap makanan yang tinggi gula dan lemak. Makanan ini memicu pelepasan dopamin di otak, memberikan rasa nyaman yang instan tetapi hanya sesaat.
Tekanan sosial juga dapat memengaruhi emotional eating. Dalam beberapa budaya, makanan digunakan sebagai coping mechanism atau hadiah. Kebiasaan masa kecil, seperti menerima makanan sebagai bentuk penghargaan, dapat membentuk pola emotional eating di kemudian hari.
Dampak Emotional Eating
Emotional eating memiliki dampak serius pada kesehatan fisik dan mental. Dalam jangka pendek, perilaku emotional eating sering kali menyebabkan rasa bersalah atau penyesalan pada seseorang setelah makan secara berlebihan. Selain itu, makanan yang tidak sehat dapat menyebabkan penurunan energi dan mood swing yang memperburuk kondisi emosional. Sedangkan dalam jangka panjang, emotional eating berkontribusi pada risiko obesitas dan berbagai penyakit kronis seperti diabetes tipe 2 dan hipertensi. Kondisi ini juga dapat menyebabkan gangguan psikologis seperti masalah citra tubuh dan binge eating disorder. Dengan gaya hidup modern yang penuh tekanan, memahami emotional eating menjadi relevan untuk menciptakan gaya hidup yang lebih sehat.
ADVERTISEMENT
Cara Mengatasi Emotional Eating
Tahap pertama untuk mengatasi emotional eating adalah mengenali pemicu emosional dan pola makan yang terkait. Dengan kesadaran ini, seseorang dapat mulai mengontrol kebiasaan makan mereka.
Melakukan aktivitas seperti olahraga atau menjalani hobi juga efektif dalam mengurangi dorongan untuk makan akibat emosi. Hal ini dilakukan sebagai pengganti makan dengan teknik relaksasi seperti meditasi atau pernapasan dalam dapat membantu pengalihan emosi.
Menyusun jadwal makan yang teratur dan memilih makanan yang bernutrisi agar mendukung kesehatan mental dan fisik. Fokus pada pola makan yang seimbang dapat mengurangi kecenderungan emotional eating.
Konseling atau terapi dapat menjadi solusi efektif bagi sebagian orang. Dukungan dari teman, keluarga, atau komunitas juga membantu dalam menghadapi emotional eating.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Emotional eating adalah kebiasaan makan yang dipicu oleh emosi, bukan rasa lapar fisik. Kebiasaan ini sering muncul sebagai respons terhadap emosi negatif, seperti stres atau kesedihan, dan melibatkan makanan tinggi gula atau lemak yang memberikan kenyamanan sementara. Namun, emotional eating dapat berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental, seperti risiko obesitas, gangguan citra tubuh, dan penyakit kronis. Untuk mengatasi emotional eating, diperlukan kesadaran diri, pengembangan mekanisme pengalihan yang sehat, pola makan teratur, dan dukungan dari lingkungan atau profesional. Dengan langkah-langkah ini, seseorang dapat keluar dari siklus emotional eating sehingga dapat mengutamakan kesehatan mental dan fisik sebagai investasi penting untuk kualitas hidup yang lebih baik.
Saly Afwa Ramadhani, Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
ADVERTISEMENT