Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Hubungan Upah Minimum dan Migrasi Kaum Urban di Jakarta
29 Januari 2024 7:53 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Syamsul Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Studi tentang upah minimum dan migrasi kaum urban di Jakarta, umumnya berfokus pada dampak terhadap pekerjaan dan upah. Model neoklasik mendalilkan bahwa pada pasar tenaga kerja kompetitif dengan tenaga kerja homogen, upah minimum akan mengurangi jumlah pekerja dan meningkatkan pengangguran (Stigler 1946).
ADVERTISEMENT
Penerapan upah minimum menjadikan permintaan tenaga kerja menurun, sebaliknya penawaran tenaga kerja meningkat. Ukuran efek terhadap permintaan dan penawaran tenaga kerja bergantung pada elastisitasnya. Permintaan dan penawaran tenaga kerja yang lebih elastis terhadap perubahan upah dapat ditunjukkan dengan kurva yang semakin datar. Zavodny (2014) menggambarkan pengaruh dari upah minimum dan migrasi pada pasar tenaga kerja kompetitif.
Pengaruh Upah Minimum dan Migrasi terhadap Pasar Tenaga kerja Sumber: Zavodny 2014 Dengan asumsi pasar kompetitif dan tenaga kerja homogen, model neoklasik juga memprediksi migrasi menyebabkan menurunnya upah pekerja. Dampak peningkatan pasokan tenaga kerja akibat migrasi masuk. Misalkan kondisi awal tidak ada migran, semua tenaga kerja dipasok oleh penduduk asli. Penetapan upah minimum mengurangi dampak negatif migrasi masuk terhadap upah, namun meningkatkan efek negatif terhadap pengangguran (Zavodny 2014).
ADVERTISEMENT
Hubungan kebijakan upah minimum dan migrasi tenaga kerja, pertama kali dihipotesiskan oleh Harris Todaro (1970) dalam konteks negara-negara berkembang, di mana upah minimum diperkirakan menjelaskan tingginya tingkat pengangguran di perkotaan.
Aspek kunci yang menjadi kerangka kerja adalah asumsi Todaro (1969) bahwa individu yang berencana untuk migrasi dari daerah perdesaan ke perkotaan terlebih dahulu membuat keputusan berdasarkan perbandingan besarnya penghasilan yang diharapkan di perkotaan dengan rata-rata pendapatan yang diperoleh di desa.
Model Harris Todaro memprediksi migrasi terus mengalir dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan sampai pada titik di mana upah minimum yang diharapkan di daerah perkotaan setara dengan pendapatan aktual yang dapat dicapai di sektor perdesaan.
Berdasarkan data BPS bahwa penduduk kota Jakarta 10.679.951 jiwa di tahun 2023, sepertiganya yakni 3.788.603 jiwa merupakan kaum migran dari berbagai daerah di Indonesia dan akhirnya meningkatkan populasi penduduk di Jakarta karena menetap, menikah dan meningkatkan tingkat kelahiran di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian kenaikan Upah Minimum di Jakarta yang hampir dipastikan kenaikannya cukup signifikan setiap tahunnya menjadi magnet tersendiri bagi penduduk desa yang ingin berkompetisi di kota besar dengan lahan pekerjaan yang lebih banyak dibandingkan di desa.
Oleh karenanya, penduduk perkotaan setiap tahunnya terus bertambah di kisaran 200.000-300.000 jiwa, dengan demikian beban kota semakin berat untuk hunian yang pada akhirnya banyak kaum urban yang rela tinggal di kota satelit di luar kota Jakarta seperti Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang, Tangerang Selatan, dan mereka setiap harinya masuk ke kota Jakarta untuk bekerja.
Diharapkan pemerintah yang berada di daerah asal migran untuk bisa berinovasi lagi untuk membuat warganya merasa betah tinggal di daerah sendiri, mungkin dengan melakukan pendampingan untuk para warga yang ingin membuka UKM, meningkatkan keunggulan komparatif daerah tersebut sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat setempat, dengan demikian maka bukan tidak mungkin warga mengurungkan niat untuk bermigrasi ke kota lain. Dan juga diharapkan fasilitas pendidikan dan kesehatan di kota asal migran perlu ditingkatkan serta ketersediaan barang dan jasa.
ADVERTISEMENT