Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Penantian Regulasi Zat Adiktif Produk Tembakau Melalui PP Pelaksana UU Kesehatan
12 Oktober 2023 6:27 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Nugroho Nurani Azhar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kebiasaan merokok merupakan salah satu faktor risiko utama terjadinya berbagai penyakit tidak menular seperti penyakit jantung koroner, stroke, kanker, penyakit paru kronik dan diabetes mellitus dan merupakan penyebab kematian utama di dunia, termasuk di negara kita tercinta. Parahnya lagi dengan mengonsumsi rokok dapat membunuh satu orang setiap detiknya. Menurut penelitian epidemiolog tembakau dunia, menunjukkan jika tembakau dapat membunuh lebih dari lima juta orang setiap tahunnya. Jika hal ini terus berlanjut, diperkirakan terjadi puluhan juta kematian di tahun mendatang.
ADVERTISEMENT
Untuk itulah Indonesia Institute for Social Development (IISD) kembali mendesak pemerintah untuk memperketat kembali pengaturan tentang Zat Adiktif berupa produk tembakau melalui PP (Peraturan Pemerintah) pelaksana Undang-Undang Kesehatan.
Sebagaimana kita ketahui bersama, pemerintah tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menjadi mandat dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang telah resmi disahkan dan diundangkan menjadi Nomor 17 Tahun 2023 pada tanggal 8 Agustus 2023.
Salah satu bagian Rancangan Peraturan Pemerintah yang sedang disusun adalah pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau sebagaimana mandat Pasal 152 UU 17/2023 tentang Kesehatan.
Dalam dokumen draf RPP yang beredar di publik, produk tembakau diatur dalam beberapa pasal, antara lain mengatur ketentuan rokok elektrik, larangan iklan, KTR (Kawasan Tanpa Rokok), display produk hingga larangan penjualan eceran (rokok ketengan).
ADVERTISEMENT
Program Director IISD, Bapak Ahmad Fanani kepada awak media di Jakarta, pada Senin (25/9), menegaskan bahwa draf RPP bagian zat adiktif sudah relatif bagus, pemerintah jangan sampai ada keraguan lagi, sebaiknya disahkan saja sesegera mungkin. Jangan mudah goyah dan terpengaruh khususnya dari dorongan atau desakan manuver-manuver kepentingan industri.
Sebagai informasi, pemerintah telah menggelar Uji Publik Revisi Peraturan Pemerintah (RPP) 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau, pada Rabu (27/07/2022). Kegiatan yang dilaksanakan di ruang Heritage, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, tersebut dihadiri antara lain oleh Wamenkes, Deputi Kemenko PMK, perwakilan industri rokok, petani tembakau, dan beberapa masyarakat sipil pegiat pengendalian tembakau.
Menurut beliau pengaturan keberadaan zat adiktif dibawah rezim PP 109/2012 dianggap gagal total. Selama 10 tahun rezim PP 109/2012 darurat rokok tidak juga memperlihatkan perbaikan, justru perokok anak terus meningkat. Hal yang paling mencemaskan adalah 80% perokok mulai merokok di usia anak atau di bawah usia 18 tahun.
ADVERTISEMENT
Pak Ahmad menekankan, jangan ada lagi tipu daya atau muslihat yang ingin membenturkan upaya untuk memperkuat regulasi zat adiktif dengan alasan klise yaitu seperti adanya kepentingan ekonomi atau memikirkan nasib petani. Padahal kenyataannya, selama 20 tahun terakhir industri bertumbuh secara signifikan tetapi nasib petani belum juga berubah lho.
Data Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2022 yang dikeluarkan Kementerian Pertanian Republik Indonesia, menunjukkan jumlah petani di lima wilayah perkebunan tembakau terbesar di Indonesia malah mengalami penurunan, dengan total jumlah petani tembakau pada 2021 mencapai 597.966 petani, menurun jadi 520.539 petani pada tahun 2022.
Sebaliknya, berdasarkan laporan keuangan tahunan industri rokok, penjualan rokok cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Beberapa perusahaan rokok terbesar di Indonesia mencatatkan penjualan (laba bersihnya) yang semakin meningkat selama 20 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Menurut Pak Fanani bukan berarti tidak perlu dikalkulasikan secara ekonomis. Tapi sebagai negara yang dibangun di atas visi keadilan sosial, kalkulasi ekonomi dan industri tidak boleh lagi mengesampingkan kepentingan kesehatan yang merupakan hak dasar bagi setiap warga negara, dan faktor terpenting untuk menentukan arah masa depan bangsa.
Tidak ada gunanya Sumber Daya Manusia yang unggul dan berdaya saing, tanpa didukung kesehatan optimal yang merupakan bantalan vital produktivitas. Pandemi Covid semestinya semakin membukakan mata hati agar kita sadar betapa mahal harga yang harus dibayar dari sebuah pandemi ataupun bencana kesehatan lain yang terjadi.
Predikat sebagai Negara yang Ramah Candu Rokok
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia merupakan salah satu pasar rokok terbesar dunia. Berdasarkan data WHO, pasar rokok Indonesia menempati urutan ketiga setelah Tiongkok dan India (147 juta). Di tengah kondisi global di mana konsumsi rokok terus mengalami tren penurunan, justru mirisnya negara kita malah mengalami semacam anomali.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Kemenkeu, 323,88 Miliar batang rokok diproduksi pada tahun 2022, meningkat lebih dari 100 Miliar batang dibanding tahun 2005 yang hanya 222 Miliar batang. Menurutnya, sudah lama negara kita terlalu ramah akan candu rokok. Sikap negara yang toleran terhadap candu itulah menjadi cerminan pada pengaturan zat adiktif berupa produk tembakau dalam Undang-Undang yang disahkan dalam tempo yang teramat singkat dan seperti membelakangi derasnya gelombang aspirasi publik tersebut.
Sudah dua kali target penurunan perokok anak pada RPJMN belum sesuai target yang diharapkan. Negara dianggap gagal dikarenakan sudah RPJMN sebanyak 2 kali namun belum juga ada hasil yang signifikan untuk memperbaiki keadaan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menargetkan penurunan prevalensi perokok anak dari baseline 9,1 persen menjadi 8,7 persen di tahun 2024. Sebelumnya, pada RPJMN 2015-2019 pemerintah juga gagal mewujudkan target prevalensi perokok anak.
ADVERTISEMENT
RPJMN 2015-2019 memasang target prevalensi perokok anak pada angka 5,4% di tahun 2019, tetapi mirisnya yang terjadi justru mengalami kenaikan sebanyak 9,1%. Berbagai data mengindikasikan target RPJMN 2019-2024 untuk menurunkan prevalensi perokok anak pada angka 8,7 persen teramat sulit terwujud. Hasil Survei Outlook Perokok Pelajar yang dilaksanakan Indonesia Institute for Social Development (IISD) pada 2022, dengan mengambil responden pelajar dari kalangan SMP-SMA, usia 11-19 tahun, sebanyak 27,76% yang pernah merokok dan sebanyak 10,67% menjadi perokok harian.
Tidak dapat dipungkiri akhirnya prevalensi perokok meningkat. Merujuk pada SUSENAS BPS, data agregasi keseluruhan populasi (usia 5 tahun ke atas) terjadi kenaikan prevalensi perokok dari 21,50 persen pada 2015 menjadi 23,25 persen pada 2022. Data dari GATS juga merekam pertumbuhan jumlah perokok yang bertambah 8,8 juta orang, dari 60,3 pada tahun 2011 menjadi 69,1 pada 2021.
ADVERTISEMENT
Nah, yang terjadi di lapangan, angka prevalensi perokok anak juga ikut naik. Survei BPS juga merekam kenaikan prevalensi perokok anak (usia 18 tahun ke bawah). Pada tahun 2016 prevalensi perokok anak berkisar 3,39 persen, naik tipis menjadi 3,44 pada 2022.
Bapak Hanani berujar bahwa kegagalan pencapaian target RPJMN disebabkan oleh pemerintah yang belum juga menerapkan rekomendasi RPJMN yang berkali-kali mengamanahkan penguatan regulasi pengendalian tembakau sebagaimana telah tercantum dalam rekomendasi 3.4.
Menurutnya, lemahnya pengaturan zat adiktif produk tembakau membuat masa depan generasi muda kita jadi rentan. Tingginya konsumsi rokok menempatkan negara ini pada risiko yang tinggi pula terhadap masalah kesehatan.
Berbagai data menunjukkan bagaimana merosotnya indikator-indikator kesehatan. Pada tahun 2022, sebanyak 23,38 persen pemuda mengakui memiliki keluhan kesehatan dalam sebulan terakhir. Angka tersebut lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam kurun tujuh tahun terakhir tercatat kenaikan sekitar 34 persen.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu demi masa depan, pengendalian produksi, distribusi, dan konsumsi rokok harus semakian diperkuat dan diperketat. Jika kita masih lengah, kita harus bersiap menghadapi bencana katastropik kesehatan yang mempunyai daya perusak yang lebih dahsyat di masa depan.