Sampahmu Sampahku: Kritik terhadap Budaya Membuang Sampah di Indonesia

Samarthya Lykamanuella
Mahasiswa program studi S1 Fisika Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Konten dari Pengguna
4 Mei 2024 13:26 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Samarthya Lykamanuella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Relevansi kebersihan lingkungan di tengah maraknya kemajuan industri 4.0

Ilustrasi: jalanan yang penuh dengan sampah yang berserakan. (Foto dihasilkan menggunakan kecerdasan buatan oleh Pete Linforth dari Pixabay.)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: jalanan yang penuh dengan sampah yang berserakan. (Foto dihasilkan menggunakan kecerdasan buatan oleh Pete Linforth dari Pixabay.)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mengapa Indonesia masih menjadi salah satu negara terkumuh di dunia terus menjadi pertanyaan besar. The Wall Street Journal menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara kedua penghasil sampah plastik terbesar di dunia, yang sebagian besar terbawa oleh aliran sungai dan mengotori air laut (Robert Lee Hotz, 2015). Beberapa orang mengaitkan tingkat pencemaran lingkungan di Indonesia dengan kesadaran lingkungan dari masyarakatnya yang rendah. Yang lain mengatakan bahwa tingkat pendidikan dan literasi masyarakat Indonesia yang masih jongkok membuat kesadaran lingkungan orang-orangnya juga dangkal. Ada pula yang malah tidak tahu-menahu soal kesadaran lingkungan.
ADVERTISEMENT
Tidak dapat dimungkiri, semua penduduk Indonesia pernah membuang sampah di tempat yang tidak semestinya. Perilaku ini dilakukan dari siswa taman kanak-kanak sampai orang dewasa, baik secara khilaf maupun disengaja. Kita tahu membuang sampah sembarangan itu buruk—salah satu agama di Indonesia bahkan menekankan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan bagi iman para pemeluknya. Akan tetapi, banyak orang akhir-akhir ini semakin acuh tak acuh terhadap perilaku "tidak beriman" ini. Mereka bukan tidak peduli. Hanya saja, masyarakat kini mulai teralihkan dengan isu-isu yang lebih cemerlang dan fantastis: industri 4.0, kecerdasan buatan, mata uang kripto, perang silikon, dan masih banyak hal lain.
Mengapa para praktisi pendidikan di Indonesia terus menggaungkan kiat-kiat menguasai teknologi dan bertarung di era digital saat ini, namun lupa untuk mengingatkan betapa krusialnya budaya membuang sampah pada tempatnya? Sudah tidak relevankah menjaga kebersihan lingkungan sekitar di zaman yang serba otomatis ini?
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, memang demikianlah pola pikir yang telah tertanam dalam insan-insan Indonesia sejak lama: membuang sampah sembarangan adalah bagian dari budaya Indonesia. Seseorang yang bertindak di luar kebiasaan budaya dari suatu lingkup sosial akan dikucilkan. Bukankah orang yang senang memungut sampah saat mendaki gunung akan dicap suka merepotkan diri sendiri dan kurang kerjaan (Nirmala, 2019) oleh sesama warga Indonesia yang melihatnya? Bukankah mereka yang membuang sampah makanan dan minuman mereka di tempat sampah sehabis film selesai ditayangkan di bioskop akan dirundung oleh warganet di media sosial (BBC Indonesia, 2018)? Bahkan, pemulung dan petugas sampah sering kali dipandang sebelah mata oleh masyarakat kelas menengah dan menengah ke atas di Indonesia. Padahal, kontribusi mereka terhadap kebersihan lingkungan sangatlah besar.
ADVERTISEMENT
Bukti lain dari sangat minimnya kesadaran masyarakat Indonesia akan kebersihan lingkungan juga nampak dari jalan raya. Masih banyak pengemudi sepeda motor atau mobil yang menjatuhkan puntung rokok, melempar sampah plastik, atau bahkan meludah di jalan raya sembari berkendara. Di samping mengotori lingkungan, perilaku tersebut juga dapat membahayakan pengguna jalan lain.
Permasalahannya adalah bukan karena masing-masing individu di tanah air tidak mempunyai kerinduan untuk menciptakan lingkungan hidup yang bersih dari sampah. Setiap orang tentunya merasa tentram jika lingkungan tempat mereka hidup bersih dan indah. Hanya saja, perilaku yang dimunculkan bertolak belakang dari apa yang ideal karena buaian contoh buruk orang lain dan lingkungan yang terlanjur berserakan sampah.
Penulis sering mendengar seseorang berkata, "Di trotoar sudah ada timbunan botol plastik bekas. Tidak apa-apalah membuang sampah di sini." Yang lain terang-terangan membuang sampah di lapangan kampus dengan alasan, "Tempat sampah jauh." Bahkan, seorang kerabat dekat penulis juga pernah mengatakan, "Ah, nanti ada petugas yang akan mengambil sampah kita. Mereka sudah dibayar untuk membersihkan tempat ini."
ADVERTISEMENT
Secara etis, tidak ada salahnya meringankan tanggung jawab petugas kebersihan dengan membuang sampah pada tempatnya. Memang mereka dibayar atas pekerjaan mereka membersihkan lingkungan. Akan tetapi, apa salahnya membantu? Apa salahnya menghargai pekerjaan mereka dengan mengurus sampah kita sendiri? Apa salahnya berterima kasih kepada mereka dengan tidak menambah sampah yang harus mereka bersihkan? Walau dengan membuang sampah pada tempat sampah tak membuat kita lantas mendapatkan uang, sekurang-kurangnya kita telah berbuat kebaikan kepada mereka yang harus membersihkan sampah kita.
Inilah pola pikir yang harus dimiliki oleh masyarakat Indonesia: kebersihan lingkungan merupakan tanggung jawab kita bersama sebagai manusia, bukan hanya orang-orang yang dibayar untuk membersihkan lingkungan. Tidak semua hal harus diukur dengan uang. Keindahan lingkungan hidup dan tempat tinggal yang bebas dari sampah merupakan estetika yang patut kita syukuri. Hal tersebut lebih berharga dan bermakna daripada uang. Pemandangan mata dari lingkungan yang elok karena tiadanya sampah merupakan ganjaran bagi orang-orang yang tetap "beriman" di tengah-tengah budaya menyampah saat ini.
Menjaga kebersihan lingkungan merupakan tanggung jawab kita bersama, bukan hanya orang-orang yang dibayar untuk membersihkan lingkungan. (Foto oleh OCG Saving The Ocean dari Unsplash.)
Selain itu, jika negara Indonesia hendak menjadi salah satu negara adidaya pada tahun 2045 mendatang, memiliki lingkungan hidup yang bersih dari sampah domestik yang dibuang sembarang merupakan salah satu syarat kunci. Pasalnya, karena satu dan lain hal, negara-negara maju di dunia cenderung memiliki lingkungan yang lebih bersih daripada negara-negara yang sedang berkembang (Akan et al., 2023). Kita mungkin dapat mengelak dengan mengatakan bahwa pabrik-pabrik dan industri modern di Indonesia menghasilkan lebih banyak limbah dari yang masyarakat buang secara sembarangan di tepi jalan raya. Akan tetapi, seperti peribahasa sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, sampah domestik dapat menjadi masalah serius jika tidak dikelola dengan baik dalam waktu yang panjang—sampah domestik mencangkup sisa makanan, kertas, kaca, logam, plastik, dan bahan tekstil (Karri et al., 2021). Demi kemajuan bangsa Indonesia, baik masyarakat maupun pemilik industri perlu mengimplementasikan praktik-praktik pengelolaan sampah yang berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Telah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menangani permasalahan sampah, baik melalui edukasi, regulasi undang-undang, maupun penegakan hukum. Menariknya, dalam forum G20 di tahun 2022 yang lalu, pemerintah Indonesia mengakui pentingnya peran pengelolaan sampah dalam menanggulangi perubahan iklim global (Sudoyo, 2022). Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Sekjen KLHK) pada saat itu, Bambang Hendroyono, mengungkapkan bahwa 3R (recycle, reduce, reuse), pemilahan sampah, dan ekonomi sirkular (memanfaatkan limbah menjadi barang yang berguna) akan dijadikan strategi utama dalam mewujudkan Indonesia yang minim gas rumah kaca (GRK). Jika rancangan ini diterapkan dengan baik, boleh jadi Indonesia, salah satu negara dengan ekonomi terkuat di dunia, akan mencapai nol emisi karbon (net zero emission) di tahun 2045 mendatang.
ADVERTISEMENT
Rancangan jangka panjang pemerintah Indonesia ini seyogianya mendapatkan dukungan dari masyarakat Indonesia. Bagaimana mungkin pemilahan sampah dapat terwujud jika sisa makanan dan botol sekali pakai masih berserakan dan saling bercampur di jalan-jalan raya? Bagaimana mungkin pemerintah dapat mendaur ulang plastik jika masyarakatnya enggan memasukkan sampah plastik ke dalam kotak dengan tulisan "anorganik" pada tutupnya? Bagaimana keuntungan ekonomi dapat diraup dari pengelolaan limbah jika masyarakat Indonesia merasa jijik dan tak mau memungut sampah yang berserakan di lingkungan sekitar?
Kita perlu menanamkan kerangka berpikir bahwa permasalahan sampah bukan hanya merupakan deskripsi pekerjaan (job description) Dinas Lingkungan Hidup (DLH) saja, melainkan tanggung jawab kita semua. Kita tidak boleh hanya membebankan kebersihan lingkungan pada juru sapu dan petugas kebersihan. Namun, kita juga perlu turut berperan aktif dalam memperelok lingkungan sekitar. Hal tersebut tidak harus dilakukan dengan hal-hal besar, seperti menggabungkan diri ke dalam organisasi pencinta lingkungan atau mengikuti kampanye pembangunan berkelanjutan. Menjaga kebersihan cukup dilakukan dengan memindahkan sampah, terutama sampah plastik, dari bangku jalan dan taman kota ke dalam tempat sampah terdekat setiap kali kita melihatnya.
ADVERTISEMENT
Jangan merasa jijik atau najis dengan sampah—bukankah hal tersebutlah yang kita hasilkan setiap hari? Kita tidak akan bisa membenahi bangsa Indonesia sebelum kita terlebih dahulu membenahi lingkungan penuh sampah di sekitar kita. Atau jika kita enggan mengurus sampah yang dibuang sembarangan oleh orang lain, setidaknya, jangan malah ikut-ikutan menjadi pengotor. Buanglah sampah di tempat sampah sesuai klasifikasi yang tepat setiap kali kita selesai makan, minum, dan melakukan aktivitas lain. Untuk mencapai lingkungan Indonesia yang bersih dari sampah, tidak ada banyak jalan pintas menuju Roma—kita harus mau dan berkomitmen untuk membuang sampah pada tempatnya.
REFERENSI
Akan, T., Gündüz, Halil İbrahim, Vanlı, T., Zeren, A. B., Işık, A. H., & Mashadihasanli, T. (2023). Why are some countries cleaner than others? New evidence from macroeconomic governance. Environment, Development and Sustainability, 25(7), 6167–6223. https://doi.org/10.1007/s10668022022983
ADVERTISEMENT
BBC Indonesia. (2018, July 1). Haruskah kita membersihkan sampah sendiri dan masalah etika lainnya. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-44674032
Karri, R., R Gobinath, & Mohammad Hadi Dehghani. (2021). Soft Computing Techniques in Solid Waste and Wastewater Management. Elsevier. https://doi.org/10.1016/C2020-0-01696-8
Nirmala, S. (2019). Zero Waste Adventure (D. Putri, Ed.). PT Elex Media Komputindo.
Robert Lee Hotz. (2015, February 12). Which Countries Create the Most Ocean Trash? WSJ; Wall Street Journal. https://www.wsj.com/articles/which-countries-create-the-most-ocean-trash-1423767676
Sudoyo, W. (2022, February 26). Indonesia Usung Isu Pengelolaan Sampah Berkelanjutan di Forum G20. Portal Berita InfoPublik; Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. https://www.infopublik.id/kategori/g20/610168/index.html